Mohon tunggu...
Ghofar Ismoyo Aji
Ghofar Ismoyo Aji Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah satu tanda bahwa manusia masih berpikir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Harus Menjadi Pelopor Dalam Membangun Budaya Positif di Sekolah

28 Juli 2023   13:58 Diperbarui: 28 Juli 2023   15:07 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi: guru sedang melakukan dialog kepada siswa

Membangun budaya positif adalah sebuah keharusan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan khususnya sekolah, sekolah sebagai tempat dimana siswa belajar dan mendapat pendidikan harus dapat memastikan bahwa siswa ditempat itu benar-benar belajar dan mendapat pendidikan hal-hal positif. Apa jadinya jika sekolah dengan guru-gurunya tidak dapat memastikan terjadinya hal tersebut?

Maka untuk membangun budaya positif di sekolah seharusnya guru menjadi pihak pertama yang harus berubah dan berbenah. Bagaimana akan hadir budaya positif di sekolah jika gurunya masih mengadopsi hal-hal negatif? Sistem kontrol yang diamini masih tipe penghukum dan pembuat perasaan bersalah yang memiliki relasi negatif? Masih suka membentak dan bermain fisik dengan siswa? Aktivitas-aktivitasnya masih berbasis reward-punisment? Masih kaku dalam menjalankan aturan atas nama disiplin tanpa melihat latarbelakang atau alasan siswa ketika melakukan kesalahan? Hal diatas jika diteruskan akan berdampak pada berkembangnya generasi-generasi yang negatif juga.

 Guru seharusnya mulai merefleksi diri, mau tidak mau guru adalah orang yang seharusnya patut untuk di gugu dan di tiru. Harus mampu menghadirkan budaya positif itu di setiap sudut sekolah dan ruang-ruang kelas dimana guru memberikan pendidikan dan pembelajaran. Jika guru tetap mengadopsi budaya negatif yang ada mana mungkin akan muncul generasi yang gemilang kedepannya?

Data KemenPPPA mencatat bahwa pada rentang Januari-April 2023 saja sudah terdapat sebanyak 251 anak yang berusia 6-12 tahun yang menjadi korban kekerasan di sekolah, dan terdapat 208 anak usia 13-17 tahun yang mendapat kekerasan. Kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, penelantaran dan kekerasan lainya. Bayangkan di suatu tempat yang disebut sekolah tempat dimana untuk mendidik dan belajar seolah menjadi tempat untuk menghardik dan menghajar. Siapakah yang harus bertanggungjawab atas kejadian seperti ini di sekolah? Jika kejadian tersebut di sekolah maka porsi terbesar penyumbang kesalahan adalah guru, guru terasa tidak mampu memberikan perlindungan dan pengayoman kepada peserta didik, bahkan dibeberapa kasus justru oknum guru ikut andil dalam melakukan kekerasan kepada siswa. Ini sangat miris dan seharusnya tidak terjadi.

Membangun budaya positif seharusnya dimulai dari guru, guru harus memandang bahwa siswa itu juga manusia seperti dirinya yang memiliki kompleksitas dan alasan ketika melakukan sesuatu hal. Sebelum menilai dan melakukan judgement kepada siswa ketika mereka berbuat salah hendaknya guru menggali dulu mengapa siswa bertingkah atau berperilaku seperti itu. Gali dan selami serta bantu dia untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka alami. 

Cara yang bisa ditempuh yaitu dengan melakukan pendekatan melalui segitiga restitusi. Langkah-langkahnya yaitu 1) Menstabilkan Identitas, 2) Validasi tindakan yang salah, 3) Menanyakan keyakinan. Jika langkah-langkah itu ditempuh diharapkan anak mampu menemukan alternatif jawaban atas kesalahan yang mereka perbuat. Untuk mempermudah menjalankan segitiga restitusi itu hendaknya guru membentuk keyakinan kelas dengan melibatkan siswa, sehingga mereka mampu menyusun sendiri nilai yang mereka yakini baik untuk menjadi kontrol bagi dirinya. Karena bagaimanapun sejatinya siswa itu memiliki potensi menjadi anak yang baik, maka lingkungan yang positif hendaknya juga dibentuk untuk menumbuhkan potensi baik mereka. 

Sebagaimana yang disampaiakan Ki Hajar Dewantara bahwa anak yang lahir sejatinya seperti kertas yang sudah dipenuhi banyak tulisan namun masih samar-samar baik itu tulisan yang baik ataupun buruk, tulisan yang baik atau buruk yang akan menebal tergantung dari lingkungan yang mengantarkan anak tersebut menuju kemana. Hal ini seharusnya menjadi dasar bagi guru untuk menerapkan budaya positif di sekolah.

Membangun budaya positif di sekolah adalah satu usaha untuk melakukan perbaikan dalam dunia pendidikan. Karena begitu kompleksnya masalah pendidikan akan sedikit terurai jika setiap guru berusaha untuk mewujudkan budaya positif di sekolah dan di kelas tempat dia mengajar.

Tetap semangat bapak-ibu guru hebat semuanya. Semangat berubah dan berbenah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun