Menjadi guru pada prinsipnya tidak mengenal gender namun ketika Anda terjun ke lapangan tentu akan menjumpai satu fakta bahwa profesi ini di dominasi oleh perempuan. Bahkan menurut data dari Kemendikbudristek pada Tahun Ajaran 2022/2023 saja jumlah guru perempuan di Indonesia sebanyak 2,36 juta atau 70,84 % sedangkan guru laki-laki sebanyak 972,05 ribu atau 29,16%. Bayangkan ketimpangan gender yang terjadi.
Kondisi ini mungkin bisa dijadikan sebagai indikator bahwa kesetaraan gender di Indonesia sudah mulai terbentuk, terbukti dengan perempuan sudah memiliki akses untuk mengenyam pendidikan tinggi bahkan menjadi guru. Namun yang saya pikirkan, bagaimana nasib guru laki-laki kedepan?
Dengan jumlah yang sangat timpang, guru laki-laki menjadi minoritas ditengah lautan guru perempuan. Di sekolah saya saja hanya ada 8 guru laki-laki dan guru perempuan berjumlah 40-an, (5 kali lipat).Â
Mengapa laki-laki enggan menjadi guru?
Asumsi saya hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain Gaji, gaji guru (honorer) yang tidak menjajikan untuk meraih kehidupan layak dan budaya Indonesia yang masih sangat kental dengan budaya patriarki seolah membuat profesi guru ini menjadi profesi yang tidak menjanjikan untuk menghidupi keluarga, karena dalam budaya patriarki peran laki-laki sangatlah besar/ditekankan dalam memenuhi kehidupan keluarga.Â
Yang kedua, menjadi guru seolah menggugurkan sisi maskulinnya seorang laki-laki; bernyanyi dan bermain serta tidak menonjolkan otot dan fisik menjadikan profesi ini dianggap tempatnya laki-laki "lemah", walau bukti sejarah menyatakan bahwa Panglima Pertama TNI adalah seorang guru bernama "Soedirman"
Apakah ini sebuah ancaman bagi pendidikan?
Bagi saya ini bukan menjadi sebuah ancaman, hanya saja jika dibiarkan lambat laun dikhawatirkan muncul penilaian bahwa jika ada guru laki-laki dianggap sebagai "penyimpangan", maka harapan saya para mahasiswa FKIP laki-laki tetaplah di jalan yang benar.Â
Jalannya para kesatria pendidikan yang siap menguji keilmuan dan mempraktikkan keilmuan yang didapat di kampus dengan jalan menjadi guru, berbanggalah menjadi guru, profesi yang seharusnya diisi oleh kalian para profesional pendidikan yang selama kurang lebih 4 tahun mendiskusikan pendidikan di dalam dinding kampus.
Profesi yang seharusnya tidak boleh diisi oleh sembarang orang, yang berdampak mewabah nya kata "ikhlas" / julukan "pahlawan tanpa tanda jasa" sebagai bayaran yang dianggap setimpal atas aktifitas profesional yang dijalankan kepada siswa, sedang bayaran berupa gaji jauh dari kata manusiawi.
Bagi para guru laki-laki semoga tetap istiqomah, jadikan profesi ini sebagai ladang untuk berkreasi, berinovasi dan mencari maisyah secara sah demi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI