“Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma wa jama’a baina kuma fi khoir,” ucap Radit dari telepon.
“Terima kasih,” jawabku singkat.
Tut.. tut.. tut..! Telepon terputus.
Teman-teman kampusku pernah bilang kalau Radit, si penelpon tadi mencintaiku. Tapi sayang, aku hanya menganggapnya sebagai teman. Aku juga tak percaya karena dia hanya diam tidak segera melamar dan menikahiku. Baginya sudah terlambat, aku sudah menikah dengan Mas Ibrahim, kakak kelasku di SMP dulu. Belum ada sehari kami menikah. Acara ijab-qabul pun baru diikrarkan tadi siang.
Malam ini purnama bersinar terang. Seterang cintaku pada Mas Ibrahim. Malam ini aku masih mencoba mencintai Mas Ibrahim. Dan aku benar-benar mencintainya.
Kulangkahkan kaki memasuki kamar. Semerbak wangi menempel lekat di hidungku. Aku sengaja mempersiapkan pengharum kamar itu untuk malam pertama pernikahanku. Kudapati ada Mas Ibrahim duduk di sisi kasur. Mungkin ia menantiku.
“Dek, kok bengong? Ayo ke sini!” serunya sembari tersenyum.
Sekejap aku mendekat dan memeluknya. “Mas, aku mencintaimu. Aku ingin menjadi istrimu yang taat.”
“Owh… Mas juga mencintai kamu, Dek. Mas juga ingin menjadi suami yang setia sampai Allah memanggil Mas. Dan Mas pesan, kalau Mas pergi tolong jaga diri kamu baik-baik, “ ujarnya sambil mengelus rambutku.
Pikiranku pun penuh tanda tanya. “Memangnya ada apa, Mas? Mas, mau kemana?”
“Tidak ada apa-apa kok, Dek. Mas cuma mau kasih satu cinta di malam hari ini sebelum mas pergi,” katanya lagi sambil mencium keningku. Aku tersenyum dan kembali memeluk erat tubuh Mas Ibrahim.
***
Kriiing…!!!
Jam bekerku berdering. Menunjukkan masuk waktu shalat subuh. Aku bangun, membersihkan dan merapikan diri lalu shalat berjamaah dengan Mas Ibrahim. Selanjutnya, Mas Ibrahim pamit untuk ke belakang sebentar. Baru sampai pintu dapur, ia terbatuk-batuk sambil memegang dada. Semakin lama batuknya semakin menjadi. Ia terjatuh. Sontak aku menghampirinya, kemudian meletakkan kepalanya di atas paha persilaanku.
“Mas! Mas! kenapa, Mas?”
“Dik, sebelumnya mas minta maaf. Sudah saatnya mas harus jujur sama kamu. Mas punya penyakit, Mas sering batuk darah. Keluarga mas pun belum ada yang tau. Hanya kamu orang pertama yang tau. Tolong sampaikan maaf mas kepada mereka. Jaga dirimu baik-baik. Mas sudah tidak kuat lagi, Dek.”
“Istighfar, Mas! Istighfar!”
“As.. Astaghfirullahal.. ‘adzim.”
“Mas..!” teriakku. Mas Ibrahim sudah tak mendengar suaraku lagi. Urat nadinya berhenti berdetak. Aku terdiam dengan air mata berderai. Pandanganku nanar. Mulutku pun hanya terkatup pasrah, “innalillahi wa ‘inna ‘ilaihi rooji’uun.”
Jakarta, September 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H