Mohon tunggu...
Ghiyats Fawwaz
Ghiyats Fawwaz Mohon Tunggu... -

Darussalam Gontor

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gontor, Itu Saja

9 April 2019   13:55 Diperbarui: 9 April 2019   14:22 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillah.

Buatku, Gontor lebih dari sekedar sekolah dan tempat menuntut ilmu. Lebih dari sekedar sebuah pesantren dengan gedung-gedung megah yang bertingkat. Juga lebih dari sekedar (kata orang awam) sebuah tempat dimana agama diajarkan lebih intensif. Bahkan kalau lebih parah, tempat pembuangan anak-anak nakal yang sulit diatur, dan punya track record kurang baik di lingkungannya. Tapi tidak, Gontor bukan itu.

Untuk orang yang hanya sekedar melihat Gontor dari luar, dari kulitnya saja, akan punya pikiran kalau Gontor itu sekolah, pondok yang 'mewah', 'mahal', 'ketat'. Dan memang, Gontor memang begitu. Ini adalah pondok yang 'mewah' filsafat, panca jiwa, dan motto pondoknya. 'Mahal' pendidikannya, disiplinnya, dan kehidupan dinamis yang selalu ada didalamnya. Gontor juga 'ketat' seleksi alamnya, mereka yang tak punya nyali, mental kuat dan azimah, akan terpental. Oleh pondok, ataupun hilang sendirinya. Ini adalah surga, inilah sepotong 'Darussalam' di bumi.

Pondok ini adalah miniatur kehidupan. Kita hidup dalam tingkatan sosial yang begitu majemuk, complicated, tapi harmonis dan penuh rasa ukhuwwah. Lihat saja, tak banyak dalam kehidupan nyata orang-orang hidup dalam sosial yang se-majemuk Gontor. Cobalah tengok kamar-kamar, mereka yang tinggal ditiap kamar, berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia. Tak ada ceritanya orang sedaerah duduk bersama, tinggal bersama dalam satu kamar. Kalaupun ada, paling hanya 2-3 orang saja. Tapi nyatanya, tak ada cekcok, selisih antara santri. Tak ada sentimen kedaerahan, golongan ataupun ras disini. Disini hanya ada satu rasa, yang tertanam dalam pikiran, hati dan langkah kita: Rasa Gontory. Rasa yang membuat kita begitu mudah saling memahami teman, saling merangkul kawan, meski berbeda. Betapa luarbiasanya anak Gontor yang punya banyak teman dari berbagai daerah.

90 tahun lebih Gontor berdiri. Kalaulah dia manusia, Gontor bagaikan seorang kakek yang penuh dengan sejarah. Goresan tinta emas, ukiran ornamen prestasi begitu banyak ditorehkan lewat 'anak-cucu'-nya. Anak-anak Gontor yang mampu hidup dan bermanfaat di masyarakat, anak-anak Gontor yang mampu memberikah perubahan di tanah dimana ia berpijak, anak-anak Gontor yang kata orang, 'berbeda' dan mampu membuat perubahan, meski tak semua. Hal itu memberikan kebanggaan tersendiri, bahwa Gontor, selama 90 tahun selalu berusaha untuk membantu masyarakat, ummat, dan bangsa ini. Bukan dengan perang, bukan dengan politik, dan bukan dengan demo. Gontor ber-jihad fisabilillah dari hal paling esensial dan mendasar, yang kadang ummat lupakan saat ini: pendidikan.

Pendidikan Gontor-lah yang membentuk orang-orang besar, kader-kader ummat, calon-calon pemimpin di masa depan. Kita harus ingat, bukan gubernur, menteri, ataupun presiden yang menjadi orang besar menurut Gontor. Orang besar adalah orang yang mau mengajar, walaupun di surau kecil, dengan tulus dan ikhlas, bermanfaat bagi orang disekitarnya. Itu jiwa yang ditanamkan Gontor. Keikhlasan, qana'ah, berbesar hati, bukan mengejar ambisi. Tapi, dari hal kecil inilah, lahir manusia-manusia yang hati dan jiwanya besar, daya juang dan jihadnya bagai tak ada habisnya, di tiap lini kehidupan, sesuai dengan 'ukuran' dan 'maqam'-nya masing-masing.

Ah, begitu banyak yang harus aku tulis kalau ingin bercerita tentang Gontor. Tak cukup satu-dua lembar, butuh berbuku-buku untuk menguraikannya. butuh berbulan-bulan untuk menuliskannya, bahkan mungkin bertahun-tahun. Nanti di note-note selanjutnya akan kutulis lagi. Inshaallah.

Tapi mungkin, ini bisa menjelaskan: Gontor adalah pondok kehidupan, itu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun