Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Kesimpulan tentang Status Gunung Kerinci, Menanggapi Artikel Hafiful Hadi Sunliensyar

21 Februari 2018   19:43 Diperbarui: 21 Februari 2018   20:03 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karena artikel Saudara Hafiful Hadi Sunliensyar yang berjilid-jilid dengan topik "Menyikapi Klaim Sumbar dan Jambi Mengenai Status Gunung Kerinci" telah sampai pada artikelnya yang terakhir dan mengingat bahwa apapun artikel tanggapan dari saya ataupun pada kenyataan pertanyaan saya yang dahulu dalam tanggapan yang pertama tersebut tidak akan ditanggapi oleh saudara Hafiful, maka saya turunkan pula sarahan saya yang terakhir ini atas semua artikel tersebut sekaligus kesimpulan bagi saya secara pribadi dan semoga ada manfaatnya bagi Encik - Encik dan Tuan - Tuan sidang pembaca yang budiman. 

Kesemua tulisan-tulisan saya tiada lain tiada bukan dimaksudkan untuk memberikan perspektif baru atas artikel Saudara Hafiful Hadi Sunliensyar dan memberi perimbangan bahwa apapun jenis karya tulis haruslah pula berdiri tegak diatas objektivitas dan tahan uji tahan tapo.

Saya berharap kiranya ada yang berkenan membaca tulisan - tulisan saya ini dari awal hingga akhirnya hendaknya sehingga didapati pulalah apa yang menjadi maksud dan tujuan saya atas tanggapan atas artikel tersebut. Terlebih terkurang saya sampaikan permohonan maaf atas segala kekeliruan yang mungkin timbul selama beberapa hari terakhir.

I. Kesimpulan Saya terhadap penamaan Gunung Kerinci dahulu kala

Dalam pada kenyataan artikel saudara Hafiful yang pertama itu (Lihat Disini) telah kita dapati kenyataan bahwa pendapat yang mengatakan nama Gunung Kerinci iyalah "Gunung Berapi" dahulu kala oleh penulis bersumberkan kepada dua buah celak Piagam ( jika di Aceh kita bisa melihatnya dalam pada sarakata dan di Minangkabau kita bisa melihatnya pada Ciba/JIB)  yang dikeluarkan oleh Kesultanan Jambi beristana di Tanah Pilih yang membawahi wilayah-wilayah sejak dari Tanjung Simalidu ke hilir sejak dari Kaki Gunung Berapi sampai ke tepi laut. 

Surat Celak Piagam yang disampaikan kepada pembesar - pembesar Alam Kerinci khususnya Depati Tanah Sekudung oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga tersebut sebagaimana yang telah dialih aksarakan oleh Voorhoeve (1941) sebagai dasar yang diajukan Saudara penulis atas penamaan "Gunung Berapi" dengan nomor Tambo Kerinci 161 dan Tambo Kerinci 173 (Lihat Disini) telah saya terima dan tidak saya bantah sejak dari artikel sarahan saya yang pertama sampai yang penghabisan.

Saudara penulis menambahkan dalam catatanya yang kedua (Lihat Disini) dan ketiga (Lihat Disini) bahwa penamaan "Gunung Berapi" juga tercatat dalam Laporan dari kontrouler van Indrapura W.C. Hoogkamer tertanggal 31 Desember 1876 dalam Verhandelingen van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten En Wetenschappen. Deel XXXIX.

Senada dengan Saudara Hafiful Hadi Sunliensyar, dalam laporan Belanda berjudul Oost Indisch Legger Westkust Van Sumatra 1816-1845 oleh Lange (1852) yang lebih awal dari laporan Hoogkamer tersebut tentang penamaan "Gunung Berapi" dapat pula kita temukan. Lebih jelasnya, dalam peta wilayah barat Sumatera dalam halaman 501 laporan tersebut Gunung Kerinci sekarang juga disebut sebagai Gunung Berapi.

Lebih lanjut, dalam sumber-sumber Kerinci sendiri yakni dalam Tambo Kerinci (1941) nomor 7 pusaka Datoek Singarapi Soelah Dusun Ampeh Sungai Penoeh, nomor 143 dan nomor 144 pusaka Depati Penawar Radjo Doesoen Air Angat, nomor 169 pusaka Depati Moedo Doesoen Kota Tengah, nomor 175 pusaka Depati Intan Moearo Masoemai Doesoen Sioelak Moekai juga ditemukan kata-kata "Gunung Berapi" yang merujuk kepada Gunung Kerinci sekarang.

Mengenai pendapat saya akan nama lain dari "Gunung Berapi" tersebut yakni "Gunung Berapi Hilir" saya sumberkan sendiri kepada Tambo Kerinci (1941) No. 171 yang disimpan oleh Depati Mangkoe Boemi Toeo Soetan Nanggalo di Dusun Siulak Gedang. Selain daripada itu, didapati pula penamaan Gunung Berapi hilir dalam Nurana dkk (1992) yang berbunyi "Laras Koto Piliang iyalah sehingga Tanjung Padang Mudik, hinggak guguk sikaladi mudik, hingga lawik nan sedidih, hingga gunung berapi hilir".

Dalam Sri Guritno dkk (1993) tertulis "Silanggundi hilir, sahingga lautan nan sadikit sahinggo Gunung berapi hilir, kuliling gunung samuanya, sahedaran Batang Bangkawas, salihit gunung Berapi laras Koto Piliang namanya". Hal yang sama dapat pula kita temukan dalam Edward Djamaris (1991) sebagai berikut "Adapun Laras Koto Piliang nan hing- gan Tanjung Gadang mudik, nan hinggan Sikaladi mudik, nan hing- gan laut nan sadidih, nan hinggan Gunung Berapi hilir, kelilingnya Gunung Berapi semuhanya,". 

Lebih lanjut dalam naskah Disertasi Malay Seal Inscriptions: A Study in Islamic Epigraphy from Southeast Asia oleh Dr. Annabel Teh Gallop (2002) dalam cap mohor bernomor #659 dan bernomor #661 sebagaimana yang saya tulis dalam tulisan pertama ditambah dengan Cap Mohor Pusaka Yang Dipertuan Raja Adat Buo (Dr. Annabel Teh Gallop telah melihat cap mohor ini pada tahun 2012). 

Informasi-informasi dari sumber di atas juga menyebutkan kata-kata "Gunung Berapi Hilir" yang mana setelah saya perhatikan secara menyeluruh teks-teks tersebut merujuk kepada Gunung Kerinci sekarang, sebagaimana didapati pula dalam sumber-sumber saya yang lainya di atas. Frasa Gunung Berapi Hilir dalam sumber-sumber tersebut saya pahami sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan setelah memperhatikan karakter dan tata penulisan dari beberapa teks tersebut. 

Sebagaimana lazimnya sebuah interpretasi, pendapat Saudara Hafiful Hadi Sunliensyar yang berpendapat bahwa "Gunung Berapi Hilir" dimaknai sebagai "Gunung Berapi (ke)hilir(nya)" maupun pendapat mengenai kata-kata "tersekut" dalam tulisan sebelumnya yang dimaknai sebagai "menyeluruh" menurut bahasa Kerinci  jelas membutuhkan konfirmasi dan literatur lebih lanjut, karena terang itu baru pendapat awal dari Saudara Hafiful yang sangat dan layak dipertimbangkan.

Sebagaimana juga pendapat saya tentang "Gunung Berapi Hilir" adalah sebuah satu kesatuan dan "tersekut" menurut bahasa Minangkabau dan perandaian melayu "tersekut di kerongkongan" adalah sesuatu yang tertahan/tertumbuk juga butuh pembuktian lebih lanjut pula. Perbedaan pendapat antara saya dan saudara Hafiful Hadi Sunliensyar saya anggap hal yang biasa saja karena kedua pendapat itu berdiri di atas argumentasi dan dasar masing - masing. 

Selain daripada "Gunung Berapi" dan "Gunung Berapi Hilir" tersebut saya hanya menemukan sedikit dari sumber-sumber yang menyebut nama lain daripada Gunung Kerinci sekarang sebagai "Gunuang Gadang". Hal ini dapat kita lihat pada Syamsudin Sutan Rajo Endah (1965), penamaan lain daripada Gunung Kerinci selain dari yang tersebut di atas belumlah dapat saya jumpai sampai sekarang.

Kesimpulan saya, nama Gunung Kerinci tidak hanya satu saja yaitu "Gunung Berapi" begitu pula dengan nama Gunung Berapi dalam sumber - sumber lain juga tidak hanya merujuk kepada Gunung kerinci saja, hal ini akan saya terangkan lebih lanjut dalam pembahasan yang lain di bawah. 

II. Nama Gunung Berapi yang tidak merujuk kepada Gunung Kerinci

Sebagaimana dalam Tambo Kerintji yang telah dialih aksarakan oleh Voorhoeve (1941) dengan nomor 112 pusaka Datoek Dementi Depati Gajo Doesoen Koeto Simpai sebagai sebuah Credential Letter / Surat Cap dari Daulat Yang Dipertuan Pagaruyung kepada Sultan Palembang yang berbunyi sebagai berikut " 25) yang menaruh emas jatah jati......dalak pedagangan ialah sultan yang menaruh emas...........(26) menteri jadi sendirinya ialah sultan yang menaruh gunung surga tempat segala aulia Allah jadi (27) sendirinya ialah sultan yang menaruhkan gunung berapi bertatahkan cempaka biru2 berbunga (28)kan bunga seri menyeri jadi sendirinya ialah sultan yang menaruh kuda semberani jadi (29) sendirinya ialah sultan yang menaruh buluh perindu itulah tempat segala burung ber(30)mati sendirinya sikurniakan Allah ta'ala. Amma ba'du, kemudian daripada itu setamat yang ta'zim dan takrim serta (31) tahkim dan taslim dan suka hati dan putih hati daripada nenda yang dipertuwan tembo (?) pesa (?) (32) jangan diperbula-bula apabila diperbula2 dimakan bisa kawi daripada berkat daulat yang dipertuwan (33) dan barang ma'lum kiranya cucunda akan hal nenda sudah mengurniakan kebesaran nenda telah sudah kami (34) sukakan kepada cucu kami sultan Palembang barang ditinggikan Allah kiranya 'amalnya dan imannya (35) min dar al dunia ila dar al-akhirat amin summa amin".

Sumber kedua dalam Credential Letter/Surat Cap untuk Haji Abdul Gani di Kerinci dari Daulat Yang Dipertuan Pagaruyung dalam Tambo Kerintji (1941) nomor 142 pusaka Depati Moedo Doesoen Kemantan Barat yang dapat dikutip sebagai berikut "ialah sultan yang menaruhkan keris pijaran gidang, ialah sultan yang menaruh kerbau benua sati, ialah sultan yang menaruh ayam biring sangka nani, ialah sultan yang menaruh kuda sengberani, ialah sultan yang menaruh gunung berapi sendirinya, ialah sultan yang menaruh laut tawar sehari pelayaran, ialah sultan yang menaruh perindu tempat segala burung lekar mata, ialah sultan yang menaruh bunga seri menceri, ialah sultan yang menaruh bunga cempaka kembang biru, ialah sultan yang menaruh tiang balai teras jelatang, ialah sultan yang menaruh bukit kembak lantai batu, ialah sultan yang menaruh gunung besi tempat raja mi'raj ke gunung berapi, ialah sultan yang menaruh lapik daun ilalang, ialah sultan yang menaruh sungai mas airnya bunga, ialah sultan yang menaruh lenggundi hitam, ialah sultan yang menaruh samar kantang amin ya rabba-l 'alamin.

Itulah kebesaran dan kemuliaan turun temurun kepada anak cucunya sekarang kini ada jua. 'Alamat surat titah daulat Yang dipertuan setia minal wajhi al'aliyulkarim, ialah anak cucu di dalam daerah alam Kerinci adanya. Amma ba'du, adapun kemudian daripada itu akan keadaan titah kami, ialah hendak memberi kurnia izin yang mutalak dunia akhirat adanya seperti katanya wakil kami Haji Abdulgani yang bebetulan syara ' hendaklah di 'amalkan dengan kerapatan segala orang besar2 kami laki2 dengan perempuan semuanya".

Sumber ketiga dalam Tambo Kerintji (1941) nomor 143 pusaka Depati Penawar radjo Doesoen Air Hangat yang tertulis sebagai berikut " Bab inilah fasal pada menyatakan turun nenek Indar Bayang, turun dari negeri Koto Batu bapagaruyung, ia hendak menjalang luak Kunci (maksudnya: Kincai = Kerinci) Sungai Kunci, maka didaki gunung Senggalang, lepas dari gunong itu didaki pula gunung Berapi, lepas dari gunung itu didaki pula gunung Saga, tetapat di Pariang Padang Panjang.

Maka dia tempuh Pariang Padang Panjang, maka dia ruang rimba yang dalam, dia turun pematang panjang, tetapat di rojung tanjung babunga mas, dia hendak naki pula gunung Jelatang, maka dia daki gunung Jelatang, berapa lama, dua kali tujuh hari, maka sampailah di puncak gunung Jelatang, maka bertemu bidadari, turun datang langit yang ketujuh.

Muka dia bawa balik kerujung tanjung babunga mas maka nikah nenek Indar Bayang dengan bidadari, maka bergelar Dayang Seti Penghulu 'Alam. Maka beranak empat orang, pertama dayang Seti Malin 'Alam, dua Bujang Pariang, tiga Bujang Hiang, empat Seteri Mato, yaitu Bujang Hiang balik ke batang Bunga, bertempat di tanah abang, Bujang Pariang di Iyang, Seteri Mato".

Selanjutnya dalam Credential Letter dari Yang Dipertuan Pagaruyung untuk Kaampek Suku (Raja Nan Barampek Sungai Pagu,pen) dalam Kerajaan Sungai Pagu yang disimpan oleh Tuanku Rajo Bagindo pucuk pimpinan Kampai nan 24 di Balun dapat pula kita kutip sebagai berikut "iyolah sultan yang menaruh pohon nagotaran (pohon tataran nago,pen) dikaruniakan Allah, iyolah sultan yang manaruah ameh sijato jati patah diliuak pandagangnyo, iyolah sultan yang manaruah curiak cumandang giri sumbiang saratuih sambilan puluah pamancuang sikatimuno, Iyolah sultan yang manaruah lambiang lambuhari batataran sagar jantan, iyolah sultan yang manaruah sewah paduko jati, iyolah sultan yang mampunyoigunuang berapi sandirinyo bakayakan bungo cimpago biru batambahkan bungo sari manjari disitu buluh perindu tampek sagalo burung liar mati". 

Seterusnya dalam Credential Letter/Surat Cap untuk Orang Kaya Ma' Penghulu koleksi Leiden University Library Cod.Or 5825 dari Yang Dipertuan Pagaruyung sebagaimana yang dapat kita lihat dalam Katalog Teuku Iskandar sebagai berikut "12 yang manaruah pohon nagotaran ialah sultan yang menaruhkan surik simandanggiri memancungkan sandirinyo pamancung sikati muno sumbing seratus Sembilan puluh ialah sultan 13. yang menaruah lambing Lambahari bertatarankan sagar jantan, iyalah sultan yang menaroh sewah  paduko jati bilang pandai ialauh sultan yang menaroh kuda samburani iyalah sultan yang menaruah 14.

Gunung Berapi sendirinya iyalah sultan yang menaruah bunga cempaka kembang biru, ialah sultan yang menaruah bunga sari manjari, ialah sultan yang menaroh buluh 15.perindu tempat segala burung  liar mati semuanya kesana. Ialah sultan yang menaruahh gendang saliguri tabuh pulut pulut bergatang jangat tumo, iyalah sulthan yang menaroh tiang taras jelatang".

Selanjutnya dalam Credential Letter/Surat Cap untuk sicaya koleksi Leiden University Library Cod.Or 4818 A IV "ialah Sultan yang menaruhkan emas Jata Jati Patah diliuk pandagangnya, ialah Sultan yang menaruhkan pohon tataran nago yang bertahtakan sri ratna mutu manikam ialah sultan yang menaruhkan Siriah Pinang Kepala Baru hingga tafakur sendirinya dengan takdir Allah taala, ialah sultan yang menaruhkan Curik Cumandang Giri Sumbing Seratus Sembilan puluh pamancuang sikatimuno pandai mamancungkan sendirinya, ialah Sultan manaruahkan Gunung Bungsu tempat segala wali Allah diam, ialah Sultan yang menaruhkan Gunung Berapibuluh Perindu dibatasi dengan tempat burung liar berhimpun mati, ialah Sultan yang menaruhkan bukik Gombak Sati, ialah Sultan yang menaruhkan Balai batu Lantai batu, ialah Sultan yang menaruhkan sungai emas airnya bunga, ialah sultan yang menaruhkan lembing lambuhari nan bertataran sagar jantan saruangnya kayu gaharu tulisnya Tilawatil Quran". 

Hal yang sama dapat pula kita temui di Credential Letter/Surat Cap Kerajaan Padang Laweh dharmasraya yang saya kutip sebagai berikut "Iyalah Sultan yang mempunyai balai dalam nagari sumpur kudus yang amat indah, tempat ia bermain pada bulan zulhijjah menghadap segala alam dan muazhim, fakih, maulana, kari dan pandita. Berpersembahkan istihar serta memuja Allah.. dst.. Iyalah sultan yang menaruah gunung berapi dan bukit siguntang-guntang, iyalah sultan yang empunya candi mati".

Oleh karena berdasarkan dari tujuh sumber di atas, menemui kenyataan bahwa di dataran tinggi sumatera terdapat dua istilah yakni "Gunung Berapi" yang sama-sama merujuk kepada Gunung Kerinci dan Gunung Merapi sekarang. Saya tidak paham dan tidak bisa menemukan sumber-sumber yang layak unutk menjelaskan bagaimana pembedaan kedua "Gunung berapi" ini di masa yang lampau. Asumsi saya, berangkat dari inilah istilah "Gunung berapi hilir" itu lahir untuk membedakan kedua gunung tersebut. Wallahu'alam.

III. Tentang Batas Sebelah Utara Gunung Kerinci

Dikatakan di dalam artikel saudara Hafiful Hadi Suliensyar tersebut bahwa "Namun, wilayah di sebelah Utara Gunung Berapi sudah termasuk wilayah adat lain yaitu wilayah Kerajaan Sungai Pagu-- yang menjadi cikal bakal Kabupaten Solok Selatan--". Pada tulisan saya yang pertama telah saya mintakan dasar dari pendapat saudara Hafiful Hadi Sunliensyar tersebut, beliau menjawab bahwa "Rantau XII Koto memang tidak familiar dalam telinga masyarakat adat Kerinci, sehingga batas-batas di Utara Wilayah Kerinci selalu disebutkan berwatas dengan Yang dipatuan Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah diam (berkedudukan) di Lekuk (lembah) Sungai Pagu". 

Jawaban kedua yang disampaikan oleh saudara Hafiful tersebut tidak dicantumkan sitasinya sehingga saya mintakan pula kejelasanya pada balasan tulisan saya yang kedua. Namun, sumber dari pernyataan tersebut baru disampaikan pada tulisan beliau yang terakhir sebagai berikut "Pendapat saya tentang YDP Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah berkedudukan di lekuk Sungai Pagu memang berdasarkan tambo tutur lisan (bukan piagam) di Kerinci seperti berikut "Tersekut Gunung Berapi (ke arah Utara), terus ka Gunung Tirai Embun, lepas ka Bukit Amparan Kain, lalu Ka Gunung Kuduk Jawi, lepas ka Batu Sigai Kambing, bertemu dengan Yang Dipatuan Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Mirah diam di lekuk Sungai Pagu, Kalu Sehinggo itu Mudik ingatkan dio nian, kalo Sehinggo itu hilir ingatkan kito yang Tigo Luhah". Saya sejatinya tidak memaparkan Tambo lisan ini dari awal karena sifatnya yang subjektif, makanya saya kemukakan naskah piagam yang lebih valid".

Artinya tulisan Saudara hafiful yang pertama "sehingga batas-batas di Utara Wilayah Kerinci selalu disebutkan berwatas dengan Yang dipatuan Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah diam (berkedudukan) di Lekuk (lembah) Sungai Pagu" jelas berdasarkan satu-satunya sumber tuturan lisan yang tidak dijelaskan siapa yang menuturkanya kepada siapa tuturan itu disampaikan. Dalam Kumpulan Tambo Kerintji yang dialih tulis oleh Voorhoeve (1941) tidak ditemukan sepatah katapun yang memuat pernyataan "YDP Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah berkedudukan di lekuk Sungai Pagu" sehingga kata "selalu" yang disematkan dalam tulisan pertama itu menjadi bias dan tidak kredibel. 

Selanjutnya dalam persoalan batas sebelah utara Gunung Kerinci tersebut saudara Hafiful Hadi Sunliensyar dalam tulisanya yang kedua menuliskan sebagai berikut "Bagi saya, persoalan di mana kedudukan YDP Marajo Bungsu dalam permasalahan pemilik Gunung Kerinci ini tidak begitu penting. Yang jadi soal adalah adakah Gunung Kerinci ataupun Gunung Berapi disebut-sebut dalam batas-batas wilayah adat mereka".

Hal ini bertolak belakang dengan pendapat saya menyangkut beberapa hal mendasar yang amat sangat penting untuk dijelaskan. Pertama, karena hanya berdasarkan "tuturan lisan" yang saudara Hafiful Hadi Sunliensyar tuliskan "sehingga batas-batas di Utara Wilayah Kerinci selalu disebutkan berwatas dengan Yang dipatuan Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah diam (berkedudukan) di Lekuk (lembah) Sungai Pagu" saudara Hafiful Hadi telah keliru mengidentifikasi dua orang dan dua gelar yang berbeda dalam satu kali sebut dan helaan nafas.

Pertama, berdasarkan daftar raja-raja sungai pagu yang berada di Istana Daulat yang Dipertuan tidak ada satupun yang bergelar "Yang Dipertuan Maharajo Bungsu", gelar Bagombak Putih Bajanggut Merah jelas adalah gelar raja-raja Sungai Pagu yang terdahulu. Kedua, berdasarkan tuturan lisan yang disampaikan kepada saya oleh YDP Maharajo Bungsu juga tidak ada satupun Maharaja Bungsu terdahulu bergelar "Bagombak Putih Bajanggut Merah".

Ketiga, antara YDP Maharaja Bungsu dan Tuanku Sultan Besar di Sembah Sungai Pagu jelas memiliki ulayat dan wilayah kekuasaan masing-masing sehingga amatlah diperlukan kejelasan perbedaan keduanya dalam mengidentifikasi geopolitik wilayah ini di masa lampau dan tentu saja masa sekarang. Keempat, hal ini beradasarkan hak asal usul, bagaimana mungkin hanya karena tuturan lisan lalu mengatakan bahwa wilayah kerinci batasnya (lantak sempadan) hanya dengan Tuanku Disembah Sungai Pagu saja, kita tentu harus melihat kenyataanya di lapangan sekarang. Hemat saya, inilah pentingnya untuk melihat lansung sebuah kenyataan di lapangan yang oleh saudara Hafiful dalam artikelnya yang terakhir dituliskan "Sementara saya tidak punya keperluan dan niat untuk meneliti ke sana". 

Padahal jelas sekali, semua artikel dan argumentasinya amat bersinggungan dengan Rantau XII Koto dan Sungai Pagu serta Inderapura. Artikel saudara Hafiful tersebut jelas berimplikasi besar dikemudian hari bagi masyarakat Adat di wilayah-wilayah itu terlebih tugas dan tanggung jawab "Intelektual" bagi pelajar dan akademisi adalah melakukan diseminasi informasi dan ilmu pengetahuan yang benar kepada masyarakat luas.

Menurut saya, untuk mendukung argumentasi saudara Hafiful yang menyampaikan bahwa "keseluruhan Gunung Kerinci sebagai hanya milik masyarakat Adat Kabupaten Kerinci" saja maka kunjungan kelapangan terutama Sungai Pagu, Inderapura dan Rantau XII Koto itu amat sangat diperlukan. Oleh karena itu saya sangat mendukung jika saudara Hafiful berkenan meneruskan risetnya tentang status Gunung Kerinci itu dengan juga melakukan visitasi lansung dan mendapatkan sumber-sumber primer di XII Koto, Sungai Pagu dan Inderapura selain hanya kepada sumber-sumber primer Kerinci saja. 

Itulah maksud dan tujuan saya dalam memberikan 4 pertanyaan kritis sejak tanggapan saya yang pertama dan tidak kunjung mendapat Jawaban sampai artikel Saudara Hafiful yang terakhir. Untuk itulah amat beralasan dan tepat kiranya dalam rangka menentukan sejauh mana kondisi dan realitas di lapangan berkesesuaian dengan Artikel saudara Hafiful tersebut tersebut.

Saya tidak masalah dan mendukung jika dikemudian hari ternyata setelah riset yang komprehensif dan kredibel melibatkan semua pihak saudara Hafiful memang menemukan kenyataan bahwa keseluruhan Gunung Kerinci itu memang milik masyarakat Adat Kabupaten Kerinci saja, tentu perbaikan-perbaikan akan diperlukan setelah itu mengenai status dan batas-batas wilayah.

Lain halnya bila nasah artikel itu hanya disuratkan di tapak tangan (Istilah lama sebagai menulis di kertas) saja tanpa turun ke lapangan tentu hal ini bertentangan sama sekali dengan apa yang kita ketahui sebagai sebuah standar yang baik dalam karya tulis. 

Oleh karena Saudara Hafiful meminta saya menjelaskan mengenai asal usul Yang Dipertuan Maharajo Bungsu secara lugas saya menyampaikan permohonan maaf mengenai beberapa hal yang tidak mungkin bisa disampaikan secara luas ke publik mengingat saya bukan ahli waris dari Kerajaan tersebut dan beberapa hal yang juga tidak mungkin dituliskan.

Namun untuk sekilas, tatkala masa dahulunya telah turun Puti Intan Jori keluarga dari Daulat yang Dipertuan Pagaruyung dengan Niniak Sutan Bandaro melalui Bukit Siguntang-guntang menuju pesisir barat Minangkabau naik kembali kearah gunung Kerinci menepat di Gunung Nilam Ijau terus ke Balai Duo dan turun ke Koto Tuo dan terakhir turun ke Pasimpai (Lubuk Gadang sekarang). Semua daerah-daerah mulai dari Gunung Nilam Ijau sampai ke Pasimpai sekarang berada di wilayah rantau XII koto, hal ini sekaligus mengklrafikasi tulisan saudara Hafiful yang menghubungkan Koto Tuo banuaran melalui informasi yang beliau temukan di link online tersebut dengan Koto Tuo yang ada dalam salinan Naskah Veth yang jelas sekali berbeda. Kalau kita dalami betul, sangat banyak nama wilayah koto tuo itu sekarang sehingga menghubungkanya perlu kehati-hatian.

Beberapa lamanya kemudian setelah itu maka diutuslah oleh Yang Dipertuan itu 12 orang dari Pagaruyung. Kedua belas orang tersebut adalah Dt. Bandaharo Putiah, Tuan Gadang Batipuah, Tuan Makhudum di Sumaniak, Tuan Kadi Padang Gantiang, Tuan Indomo di Saruaso, Niniak Bandaro Putiah, Niniak Rajo Labiah, Niniak Malepoh Nan Sati, Niniak Payuang Putiah, Niniak Tambun Tahie, Niniak Rajo Putiah, Niniak Intan Putiah.

Lama berjalan akhirnya rombongan itu berjumpa dengan Puti Intan Jori itu di daerah Ambun Dalam. Karena Puti Intan Jori tidak ingin kembali ke Pagaruyung maka datanglah Yang Dipertuan itu untuk tinggal di rantau XII koto dan beroleh anak bungsu maso itu yang kelak menjadi Yang Dipertuan Maharajo Bungsu. Lima orang dari rombongan itu kembali ke pagaruyung dan tujuh orang memutuskan tinggal pula di patah rantau tersebut.

Maka bernamalah maso itu Rantau XII Koto untuk mengingat 12 orang tersebut dan berdiri pula rajanya YDP Maharajo Bungsu, tujuh yang tinggal di patah rantau tersebut menjadi Tiang panjang dengan Tantua Rajo Sahian pucuk pimpinanya. Sampai sekarang jabatan Raja dan Tiang Panjang itu masih ada dan dapat ditemukan di rantau XII Koto. 

Ini adalah akhir dari catatan saya. Untuk menyingkatnya seluruhnya, tanpa panjang-panjang, keempat artikel dan tanggapan saya itu sebenarnya hanya bertanya satu hal saja : 

Seberapa kuat dan relevan dua naskah piagam yang diambil sebagai landasan yang menyatakan batas tigo luhah tanah sekudung itu dengan situasi dan kondisi di zaman sekarang serta situasi dan kondisi riil tentang status kepemilikan tanah ulayat di jurai Gunung Kerinci tersebut ?

Berikut saya tuliskan kembali keempat pertanyaan-pertanyaan saya tersebut agar dapat dipahami oleh pembaca yang budiman.   1. Pertanyaan pertama yang harus dijawab sebagai konklusi atas pernyataan beliau adalah di manakah tanah terakhir yang dimiliki oleh kelebu2 atau katakanlah Depati2 di Alam Kerinci yang watasnya lansung dengan tanah2 kaum ulayat tinggi masyarakat adat Rantau XII koto ? ( di dalam kawasan gunung kerincikah atau sudah "tersekut" jauh ke dalam lubuk gadang sangir ?)

2. Pertanyaan kedua apakah tidak ada satupun penghulu2 adat orang negeri Rantau XII koto yang punya ulayat di lekuk2 (lereng dan lembah) Gunung Kerinci sekarang ini ?

3. Pertanyaan ketiga, apakah dalam penyelesaian sengketa adat selama ini, katakanlah sengketa pengelolaan hasil bumi dan hutan di Kawasan gunung kerinci hanya diselesaikan oleh depati bertiga di tanah sekudung atau juga diselesaikan oleh yang patuan di lubuk gadang sangir ?

4. Pertanyaan keempat, apakah dahulu kala pernah terjadi tukar guling penguasaan tanah ulayat di sekitar Gunung Kerinci sebagai akibat rapat - rapat adat / buah kerapatan penghulu besar2 / buah dari pengadilan adat semacam bangun dan pampeh ?

Tamat kalam 

21 Februari 2017

 Referensi

Voorhoeve, P. 1941, Tambo Kerintji: Disalin dari Toelisan Djawa Koeno, Toelisan Rentjong dan Toelisan Melajoe jang Terdapat pada Tandoek Kerbau, Daoen Lontar, Boeloeh dan Kertas dan Koelit Kajoe, Poesaka Simpanan Orang Kerintji, P.Voorhoeve, dengan pertolongan R.Ng.Dr. Poerbatjaraka, toean H.Veldkamp, controleur B.B., njonja M.C.J. Voorhoeve, Bernelot Moens, goeroe A. Hamid

Hasselt, A. L. (1881). De talen en letterkunde van Midden-Sumatra, door A.L. van Hasselt. Leiden: E.J. Brill.

Teuku Iskandar (1999)Catalogue of Malay, Minangkabau, and South Sumatran manuscripts in the Netherlands. 2 vols., xiv, 1095 pp. Leiden: Documentatiebureau Islam-Christendom Nurana, dkk (1992). Undang - Undang Minangkabau. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sri Guritno, dkk (1993). Tambo Minang. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Edwar djamaris (1991).  Tambo Minangkabau: suntingan teks disertai analisis struktur. Universitas Indonesia

Gallop, A. Teh. (2002). Malay seal inscriptions: a study in Islamic epigraphy from Southeast Asia.

Overzichtskaart van de Afdeeling Koerintji der Residentie Djambi, 1907 diakses 19 Februari 2018 dari RUL

H.M Lange (1852) Oost Indisch Legger Westkust Van Sumatra 1816-1845

Naskah Tambo Alam Sungai Pagu fotocopy ada pada penulis

Naskah Cod.Or 4818 A IV fotocopy ada pada penulis

Naskah Cod.Or 5825 fotocopy ada pada penulis Naskah Tambo Kerajaan Padang Laweh fotocopy ada pada penulis

Daftar Raja - Raja Sungai Pagu Koleksi Istana Sungai Pagu 2018

Wawancara dengan Daulat yang Dipertuan Maharadja Bungsu 08 Januari 2018

Wawancara dengan Puti Ros Dewi Balun 07 Januari 2018 19 Februari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun