Saya mengucapakan ribuan terima kasih karena artikel tanggapan saya di respon dengan sangat cepat oleh saudara Hafiful Hadi Suliensyar di tengah-tengah kesibukan beliau sehari - hari.Â
Adalah tanggapan kepada artikel saudara Hafiful Hadi Suliensyar yang berjudul "Menyikapi Klaim Sumbar dan Jambi tentang Gunung Kerinci" Oleh karena pembuka dari artikel saudara Hafiful ini dimulai dengan pepatah lama, "gayung bersambut, Andai Bertingkah, kata berjawab" saya tidak paham apa yang dimaksudkan dengan andai bertingkah seperti yang dinukilkan dalam penggalan pepatah di atas. Terus terang, tidak bersua ianya dalam perbendaharaan pepatah lama yang ada di Minangkabau oleh saya. Baiklah, karena da'wa bertimbang jawab saya jawab pula kata-kata pepatah itu dengan perumpamaan lama pula. Â
"Anggang tabang bamangkuto
Rajo Bajalan badaulaik
Alang sariknyo bakato - kato
Tiok kato baalamaik"Â
A. Pertimbangan Gunung Berapi Hilir
Dalam pada artikel tersebut saudara Hafiful menulis sebagai berikut : Â "Pertama, Ghiovani menyebutkan bahwa nama Gunung Kerinci dahulu kala bukan hanya Gunung Berapi tetapi Gunung Berapi Hilir, bahkan disajikan beberapa data hasil alih aksara naskah piagam kaum adat Kerinci oleh Voorhoeve (1941) dan alihaksara cap mohor Sultan Abdul Djalil. Namun, agaknya Ghiovani keliru dalam menginterpretasikan alihaksara teks naskah karena hanya dipenggal beberapa kata saja sehingga lepas dari konteks aslinya. Oleh sebab itu marilah kita tinjau alih aksara teks secara keseluruhan."
Oleh karena saya dianggap keliru menginterpretasikan TK 173 dan TK 171 tersebut maka sebaiknya saya kutip pula Tambo - Tambo itu secara keseluruhan. Â Tambo Kerinci No. 171 yang disimpan oleh Depati Mangkoe Boemi Toeo Soetan Nanggalo di Dusun Siulak Gedang :Â
"(lihat gambar N. B 50) Disertai dua salinan, tulisan Melayu juga, pada kertas Bunyinya:
Cap: Ini cap Pangeran Suta Wijaya