Mu' tazilah tergolong kedalam aliran islam rasionalis dikarenakan ajaran didalamnya adalah suatu pemikiran islam yang merupakan manifestasi dari bercampurnya faham rasional Yunani dengan keadaan khas islam. Pemikiran ini erat kaitannya dengan penggunaan akal dan fikiran sebagai landasan dari segala permasalahan yang akan diselesaikan. Aliran mu'tazilah bberawal saat saat sedang dilaksanakannya  pengajian Imam Hasan Al-Bashri (642-728 M). Terjadi pertentangan antara washil bin atha' dan hasan al-bashri terkait status seorang mukmin yang melakukan dosa besar menjadi kafir atau tetap mukmin. Washil berpendapat bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak tergolong pada kaum mukmin maupun kafir melainkan fasik. Hasil pemikiran dari washil itu selanjutnya dikenal dengan mu'tazilah.
Menurut abu zhahrah, dalam menetapkan akidah, mu'tazilah berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Penyebabnya adalah karena kaum mu'tazilah meneukan kecenderungan keserasian pemikiran mereka dengan filsafat Yunani yang kemudian digunakan sebagai metode berfikir mereka. Dr. shabri soleh anwar dalam bukunya "ilmu kalam" (Dr. shabri soleh anwar 2020:101-106) menyebutkan bahwa ajaran pokok kaum mu'tazilah terbagi menjadi lima, diantaranya adalah:
Nafy al-sifah (peniadaan sifat tuhan)
Ajaran mu'tazilah sangat menekankan pada ajaran tentang transendensi tuhan. Bagi merka pengakuan adanya tuhan selain allah adalah sifat syirik. Karena penekanannya inilah mereka menolak dengan tegas adanya sifat-sifat allah yang kekal sebagai sifat yang berdiri sendiri dan mengakuinya sebagi dzat tuhan itu sendiri. Bagi mereka, allah mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan hidup hanya melalui dzatnya, bukan kerena sifat kekal yang dimilikinya.Â
Keadilan tuhanÂ
Kaum mu'tazilah memegang teguh pada prinsip ajaran keadilan. Menurut mereka keadilan tuhan tidak bisa diakui apabila ia masih menghukum orang yang berbuat buruk bukan atas kemauannya sendiri. Dalam artian, Ketika seseorang melakukan kesalahan namun  bukan atas kemauannya (mendapat paksaan) maka hukuman atau balasan yang terjadi pada orang yang melakukan kesalahan itu bukan cerminan keadilan.
Â
Al-wa'd wa al-wa'idÂ
Ketentuan logis tentang pemikiran diatas menurut kaum mu'tazilah adalah seorang yang berbuat baik akan mendapatkan pahala dan yang berbuat buruk akan mendapat dosa dan siksaan.[2] Pebuatan dosa tidak akan diampuni tanpa adanya pertaubatan, jadi apabila ada seorang mukmin kaum mu'tazilah yang meninggal dalam kondisi melakukan perbuatan buruh maka akan dikenakan siksaan yang kekal dineraka.
Â
Al-manzilah bain al-manzilatainÂ