Penulis Artikel : Dina Shabila Kurnia, Ghina Rahma, Giffari Ramdhani, Tenny Sudjatnika
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang mulia, yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Pada keduanya, dianugerahi kecenderungan untuk mencintai. Allah juga memberikan sarana untuk mengekspresikan rasa cinta tersebut yaitu pernikahan. Pernikahan laki-laki dan perempuan yang memiliki latar belakang berbeda menjadi salah satu isu yang sensitif di kalangan umat islam. Dalam Al-Qur'an, model pernikahan lintas agama diatur dalam surah Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Maidah ayat 5. Dijelaskan bahwa pernikahan seorang muslim, baik laki-laki maupun perempuan dengan komunitas musyrik dilarang secara mutlak.
Dalam prakteknya, pernikahan lintas agama, terutama seorang muslim dengan penganut agama lain, masih menjadi perdebatan panjang di kalangan ahli hukum Islam. Isu utama yang menjadi perdebatan di kalangan ulama, terutama menyangkut kedua ayat di atas, adalah perbedaan terminologis mengenai kategori musyrik dan ahl al-kitab, apalagi jika kedua term tersebut disematkan pada pemeluk agama tertentu secara institusional. Sebagian ulama, misalnya, membatasi ahl al-kitab  pada agama-agama yang memiliki kitab samawi sebelum Islam, Yahudi, dan Nasrani, sedangkan sebagian lainnya, terutama beberapa ulama kontemporer, menyebut penganut agama lainnya seperti Hindu, Buddha, dan Konghuchu.
Rasulullah SAW menekankan agar kualitas agama menjadi prioritas pilihan di dalam menentukan pasangan ke jenjang pernikahan. Dijelaskan dalam sebuah hadist: "Wanita dinikahi berdasarkan empat hal : karena hartanya, kecantikannya, keturunannya, dan agamanya. Utamakanlah kualitas agamanya agar kamu tidak celaka" (riwayat Bukhari-Muslim). Pesan hadist ini menegaskan supaya memilih pasangan dalam pernikahan dengan yang seagama. Namum realitanya, pernikahan beda agama tetap berjalan di tengah masyarakat Indonesia.
Dikatakan Ahmad Nurcholis, salah satu pelaku pernikahan beda agama dan penulis buku "Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama" sejak tahun 2004 hingga 2012 tercatat ada 1.109 pasangan yang melakukan pernikahan beda agama, dengan jumlah terbesar adalah pasangan antara Islam dan Kristen, lalu Islam dan Katolik, kemudian Islam dan Hindu, selanjutnya Islam dan Buddha.
Dengan melihat fenomena di atas, artikel ini akan menelusuri secara historis pernikahan antar agama dalam perspektif hadist. Kajian ini akan berguna untuk melihat bagaimana Nabi SAW dan generasi Islam awal memahami dan mempraktekan ajaran-ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan pernikahan beda agama.
Sebelum membahas lebih lanjut, kita harus mengetahui pengertian dari muslim dan non-muslim itu sendiri. Istilah "muslim" tidak bisa dilepaskan dari kata "islam". Islam (al-islam) artinya berserah diri kepada Tuhan dan islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari satu seperempat miliar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah Kristen. Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman, yang berarti menyerahkan diri kepada Allah secara totalitas atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Allah). Â Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seseorang yang tunduk kepada Tuhan" atau lebih tepatnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah telah menurunkana firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah. Islam juga mengajarkan untuk menghormati atau menyayangi satu sama lain sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Isra : 70.
Di sisi lain kita mengenal juga yang namanya Non-Muslim. Secara harfiah, Non-Muslim biasa dikenal juga Ahl al-Kitab berarti yang mempunyai kitab, ialah konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama di luar Islam yang memiliki kitab suci. Istilah ini bermaksud memberikan pengakuan sebatas hak masing-masing untuk bereksistensi dengan kebebasan menjalankan agama mereka masing-masing. Term Ahl al-Kitab adalah sebuah sebutan yang dipakai Al-Quran untuk menunjuk dua komunitas pemeluk agama samawi sebelum Islam yaitu Yahudi dan Nasrani. Ahl al-Kitab tidak tergolong kaum muslimin, karena mereka tidak  mengakui dan  menentang kenabian dan kerasulan Muhammad serta ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam Al-Qur'an mereka disebut "kafir" yakni yang menentang atau yang menolak ajaran yang dibawa Rasulullah. Para ulama telah sepakat bahwa Yahudi dan Nasrani adalah Ahl al-Kitab. Akan tetapi cakupan makna Ahl al-Kitab itu tidak tertuju pada komunitas Yahudi dan Nasrani saja akan tetapi juga berlaku kepada agama-agama selainnya yang mempunyai kitab suci.
Sebagai landasan hukum untuk menetapkan hukum perkawinan beda agama di Indonesia antara seorang muslim dengan non-muslim dapat merujuk kepada firman Allah dalam Q.S al-Maidah ayat 5. Ayat ini secara jelas dan tegas menghalalkan atau membolehkan kita sebagai umat muslim untuk memakan sembelihan Ahl al-Kitab dan juga dihalalkan untuk menikahi wanita baik-baik dari kalangan mereka. Meskipun ayat ini secara tekstual sudah tegas memperbolehkan, namun beberapa persoalan masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan sahabat dan para ulama, seperti siapa itu Ahl al-Kitab dan kedudukan ayat ini apakah masih (muhkam) Â ataukan sudah dihapuskan/dibatalkan hukumnya (dinasakhkan).
Pernikahan beda agama dapat dikelompokkan kepada dua macam, yaitu (1) Perkawinan antara wanita Islam dengan laki-laki bukan Islam; dan (2) Perkawinan antara laki-laki Islam dengan wanita bukan Islam. Terhadap jenis perkawinan yang pertama, ulama sepakat mengharamkannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah (2):221 Â :
Terjemahannya : "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya, budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu."