Mohon tunggu...
GHINA KHAIRUNNAJAH
GHINA KHAIRUNNAJAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA| PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010167

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG Universitas Mercu Buana Meruya Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna

20 November 2024   18:38 Diperbarui: 20 November 2024   18:38 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dalam teori fraud triangle yang dikembangkan oleh Jack Bologna, korupsi besar di Indonesia dapat dijelaskan melalui tiga elemen utama: tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Tekanan mengacu pada faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Di Indonesia, tekanan sering kali berasal dari kebutuhan finansial yang tinggi, tuntutan politik untuk mengumpulkan dana kampanye, atau harapan sosial dari keluarga dan komunitas. Peluang muncul karena kelemahan dalam pengawasan, seperti lemahnya mekanisme audit, monopoli kekuasaan oleh pejabat tertentu, atau kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran. Rasionalisasi adalah proses di mana pelaku membenarkan tindakannya, misalnya dengan alasan "semua orang melakukannya," atau "saya berhak mendapat kompensasi." Ketiga elemen ini sering berinteraksi, menciptakan kondisi yang memungkinkan korupsi tumbuh subur.

Mengapa tekanan politik dan sosial sering menjadi pendorong utama korupsi dalam kasus besar di Indonesia?

Menggabungkan pendekatan Klitgaard dan Bologna dalam merumuskan kebijakan antikorupsi di Indonesia sangat penting karena kedua teori ini memberikan pemahaman yang lebih lengkap dan menyeluruh mengenai penyebab korupsi. Pendekatan Klitgaard menekankan pada faktor-faktor struktural dalam sistem pemerintahan, seperti adanya monopoli kekuasaan, keleluasaan dalam pengambilan keputusan tanpa pengawasan yang memadai, serta lemahnya akuntabilitas. Hal ini menggambarkan bagaimana sistem yang tidak transparan dan kurangnya kontrol memberikan ruang bagi praktik korupsi. Sementara itu, fraud triangle yang dikembangkan oleh Bologna memberikan penjelasan tentang motivasi individu yang terlibat dalam korupsi, dengan menyoroti tiga elemen penting: tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Tekanan bisa datang dari faktor ekonomi atau sosial, sementara peluang muncul karena lemahnya sistem pengawasan, dan rasionalisasi terjadi ketika pelaku membenarkan tindakan korupsi mereka.

Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, kebijakan antikorupsi dapat dirancang dengan lebih efektif karena mampu mengatasi masalah korupsi dari dua sisi---baik dari aspek sistemik maupun perilaku individu. Pendekatan ini tidak hanya fokus pada perubahan struktural dalam sistem pemerintahan, tetapi juga mengakui pentingnya pemahaman terhadap motivasi pribadi yang dapat mendorong seseorang melakukan korupsi. Oleh karena itu, kebijakan yang dihasilkan akan lebih komprehensif, mencakup perbaikan sistem pemerintahan serta upaya untuk mengubah perilaku individu agar lebih akuntabel dan transparan. Dengan demikian, penggabungan kedua pendekatan ini dapat menciptakan kerangka kerja yang lebih holistik dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia.

Bagaimana sistem hukum Indonesia dapat diperkuat untuk mengatasi kelemahan struktural yang ditemukan dalam formula korupsi Klitgaard?

Untuk memperkuat sistem hukum Indonesia dan mengatasi kelemahan struktural yang ditemukan dalam formula korupsi Klitgaard, sejumlah langkah strategis perlu dilakukan yang mencakup perbaikan tata kelola pemerintahan, penguatan mekanisme pengawasan, serta peningkatan akuntabilitas. Dalam teori Klitgaard, korupsi sering terjadi karena tiga faktor utama, yaitu monopoli (kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu pihak), keleluasaan (kemampuan untuk membuat keputusan tanpa pengawasan yang ketat), dan kurangnya akuntabilitas (tidak adanya pertanggungjawaban atas tindakan atau keputusan). Oleh karena itu, penguatan sistem hukum harus mampu mengatasi ketiga faktor ini secara komprehensif untuk menciptakan lingkungan yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi.

  • Mengurangi Monopoli Kekuasaan

Salah satu kelemahan struktural utama yang sering kali mengarah pada korupsi adalah adanya monopoli kekuasaan. Di Indonesia, banyak posisi atau jabatan publik yang memiliki otoritas besar tanpa adanya pembagian wewenang yang jelas, yang berpotensi menciptakan peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan. Untuk mengatasi masalah ini, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperkuat prinsip checks and balances di dalam sistem pemerintahan. Salah satu cara yang efektif adalah dengan memastikan bahwa tidak ada satu lembaga atau individu yang memegang terlalu banyak kekuasaan tanpa ada pengawasan dari lembaga lain. Pembagian kewenangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus diperjelas dan diberdayakan sesuai dengan prinsip demokrasi.

Penerapan prinsip desentralisasi juga penting untuk mengurangi kekuasaan yang terpusat pada satu pihak. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dapat menciptakan sistem pemerintahan yang lebih transparan dan partisipatif, sekaligus mengurangi peluang untuk terjadinya korupsi di tingkat pusat. Pembagian kewenangan ini juga dapat meningkatkan efisiensi birokrasi dan mendekatkan pengambilan keputusan dengan masyarakat yang lebih membutuhkan, sehingga mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan terpusat.

  • Mengurangi Keleluasaan Pengambilan Keputusan

Faktor berikutnya yang memengaruhi terjadinya korupsi adalah keleluasaan dalam pengambilan keputusan. Keleluasaan yang dimaksud di sini adalah kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan tanpa pengawasan yang ketat, yang sering kali membuka celah bagi tindakan korupsi. Di Indonesia, masih banyak kasus di mana pejabat publik memiliki otoritas yang sangat besar dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan tanpa adanya pengawasan yang efektif. Oleh karena itu, langkah penting yang harus diambil adalah menerapkan sistem transparansi yang lebih ketat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan anggaran negara.

Salah satu solusinya adalah dengan memperkenalkan sistem audit yang lebih ketat dan rutin oleh lembaga-lembaga independen, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga pengawasan lainnya. Selain itu, penerapan e-government dan digitalisasi data juga dapat meningkatkan transparansi dan mempermudah pengawasan, sehingga keputusan-keputusan penting dapat dipantau oleh publik dan lembaga terkait. Semua data anggaran dan laporan keuangan pemerintah harus dipublikasikan secara terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat, sehingga meminimalkan ruang untuk penyalahgunaan wewenang.

  • Meningkatkan Akuntabilitas Pemerintah

Peningkatan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan Indonesia juga merupakan kunci untuk mengurangi korupsi. Akuntabilitas yang dimaksud adalah kemampuan pemerintah dan pejabat publik untuk memberikan pertanggungjawaban yang jelas atas keputusan yang mereka ambil dan tindakan yang mereka lakukan. Dalam hal ini, penting untuk memperkenalkan mekanisme pelaporan yang lebih transparan dan mengikat, serta memperkuat kewenangan lembaga-lembaga pengawas untuk memeriksa dan mengevaluasi kinerja pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun