Mendengar ocehan warga saat mus dan Monang melewatinya tak sengaja mendengarkan, Monang dan Mus segera menghampiri ibu-ibu paruh baya dan pedagang bakso.
''Maaf bu, pak sebelumnya saya hanya saran saja, jika ibu bapak pilih yang paling banyak kasih bahan pokok, apakah dia akan seperti itu seterusnya setelah ini? Dan kenapa pilihannya golput? Dengar baik-baik yah pak, satu suara itu sangat berarti dalam pemilu. Dan satu lagi, harus memilih dengan profesional, jangan termakan sogokan geli itu. Suara rakyat bukan untuk dibeli.'' Monang dengan tegas berbicara. Mus hanya manggut-manggut seakan-akan ia juga paham atas pembicaraan Monang.
TPS yang sangat ramai membuat Monang dan Mus penat dan jengah rasanya. Mereka berdua memutuskan untuk sekadar ngopi di warung. Dan melanjutkan perbincangan tentang partisipasi politik warga ini.
 ''Ada bermacam-macam lho manusia berpartisipasi seperti apa. Salah satunya yang bikin gue gondok yaitu golput, tahu Lo golput? Nah ini nih manusia yang tidak punya pendirian,eh tapi bisa aja sih goput adalah pendiriannya hehe. ngapain Lo ikut nyumbangin hak suara Lo kalo semua pasangan Lo colok, atau gak ada yang dicolok sama sekali. Golongan ini tuh disebutnya apatis.''
 ''Ngaku sama gue kalo Lo pernah jadi orang yang apatis dalam berpartisipasi memilih calon pasangan.'' tanya Monang mengintimidasi.
''Lah gue kan kaga pernah nyoblos, ktp qja baru jadi.''Â
''Ya disekolah kan ada nyoblos ketua osis oncom. Golput kan lho? Orang kaya lo kaga ada pendirian.''
''Iya gue golput, dan kata siapa gue gak ada pendirian? Golput itu pendirian gue dong haha.''
''Huh dasar APATIS!''
''Waduh dek, masih kecil kaya udah paham perpolitikan aja.'' kata ibu warung saat memberikan kopi pesanan Monang dan Mus.
Dalam benak monang berkata, Bisa-bisanya ibu warung ini berkata seperti itu, saya bukannya sok tahu tapi menurut pandangan dan pemikiran saya ya memang seperti itu dan nyatanya gitu kan.