Seni tradisional sering diabaikan di tengah hiruk-pikuk era digital. Salah satu warisan budaya yang kini berada di ambang kepunahan adalah Dames. Kesenian Dames menjadi sebuah seni Islam Nusantara yang menggabungkan elemen tari, musik, dan syair bernapaskan keislaman.Â
Dames, yang dulunya digunakan sebagai media dakwah dan hiburan masyarakat, kini hanya dikenal oleh segelintir orang di pelosok daerah. Kesenian ini dipercaya muncul selama penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Menurut cerita dari leluhur di wilayah sekitar Kabupaten Purbalingga, Tari Dames dipercaya telah diciptakan sejak zaman wali atau abad ke 15-16 masehi. Namun, karena proses regenerasi yang tidak lancar, perjalanan tari Dames sempat terhenti. Tari Dames kembali muncul pada tahun 1980 dengan perbedaan cara penyajian.Â
"Kesenian Dames berasal dari daerah Banjarnegara kemudian berkembang di Purbalingga, seperti di kecamatan Kemangkon dan Padamara." jelas Kartum, salah satu pelaku seni Dames di Kemangkon, Purbalingga.
Kesenian Dames memiliki gerakan ritmis yang lembut dan lirik-lirik Islami, bukan hanya menjadi hiburan tetapi juga sarana pendidikan spiritual. Awal mulanya pada saat syiar agama hanya berupa seni shalawatan. Seni tersebut berbentuk alunan musik yang sayir-syairnya menggunakan syair shalawat dan lagu-lagu yang berasal dari kitab Perjanjen. Lagu tersebut merupakan salah satu seni musik yang bernafaskan Islam dengan perangkat musik terbang.Â
Terdapat persiapan khusus sebelum melakukan pertunjukan. Persiapan biasanya dilakukan dengan berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Pada saat hari baik atau rajaning ndina, para penari melakukan ritual mandi dan keramas. Sebelum pertunjukan dimulai, doa bersama antara para pemain musik dan penari juga menjadi bagian penting untuk memohon kelancaran acara. Â
Sayangnya, perubahan gaya hidup dan modernisasi telah membuat generasi muda lebih tertarik pada hiburan digital daripada seni tradisional seperti Dames.
Kartum mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi pelestarian budaya di era modern ini. "Saat ini makin sedikit remaja yang mau belajar Dames. Padahal, seni ini bukan hanya hiburan, tetapi juga cara untuk mengenalkan nilai-nilai Islam supaya generasi muda juga tidak lupa akan agama," ujarnya.
Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap seni tradisional seperti Dames turut memperburuk kondisinya. Banyak seniman lokal mengungkapkan keprihatinan karena minimnya program pelestarian yang mendukung seni Islam Nusantara seperti Dames. Di sejumlah paguyuban seni seperti Paguyuban Seni Daeng "Tri Budoyo Sekar Arum" terpaksa berusaha mandiri untuk menghidupkan kembali tradisi ini melalui pertunjukan kecil di tingkat desa. Mereka juga berusaha memanfaatkan platform digital untuk memperkenalkan Dames ke khalayak luas dengan mempublikasikan video pertunjukan di YouTube.
Penting bagi kita semua untuk ikut berperan dalam menjaga seni tradisional ini agar tetap hidup. Dames bukan sekadar seni, melainkan identitas budaya yang merekatkan nilai spiritual dan kearifan lokal. Akankah kita membiarkannya terkubur oleh zaman, atau justru membantu seni ini bangkit kembali?