Pada 7 Oktober 2023, konflik berkelanjutan antara Palestina maupun Israel, yang melibatkan kelompok milisi, yaitu Hamas, terlihat kembali mengalami eskalasi. Berbagai macam laporan media menyebutkan korban tewas dan terluka mencapai ratusan orang. Akan tetapi, konflik ini hanya merupakan sebagian kecil dari masalah yang lebih kompleks dan politis yang terkait dengan Palestina.Â
Seperti yang dijelaskan oleh Edward W. Said, Palestina merupakan isu yang masih belum terpecahkan dan terus menjadi proyek yang dipertentangkan. Palestina bukan hanya tentang kekerasan dan penderitaan warga sipil yang sering terjadi, melainkan juga merupakan masalah hak yang telah dicabut oleh Israel yang menerapkan rezim apartheid modern. Pembentukan negara Israel pada 1948 dan pengusiran penduduk Palestina dari tanah mereka adalah tindakan politis dan diskursif yang mencerminkan orientalisme.Â
Orientalisme adalah cara Barat memahami dan merepresentasikan dunia Timur, sering kali menciptakan perbedaan antara Barat yang dianggap rasional dan superior dengan Timur yang dipandang lemah dan inferior. Ini terkait dengan masa kolonialisme dan imperialisme Barat di Timur, serta pola imperialisme Amerika saat ini di Timur Tengah (KumparanNEWS, 2024).
Awalnya, orientalisme erat kaitannya dengan gagasan bahwa kecerdasan Barat menandai superioritasnya, termasuk dalam kemampuannya untuk menggambarkan masyarakat dan kepercayaan agama di wilayah Timur. Hal ini termanifestasi dalam karya-karya yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh terkenal seperti Victor Hugo, Dante Alighieri, maupun hingga Karl Marx. Orientalisme merupakan strategi penggabungan antara pengetahuan dan kekuasaan yang dimanfaatkan untuk meyakinkan penguasaan kolonial di wilayah Timur sepanjang abad ke – 19 dan ke – 20.Â
Said (1978) berpendapat bahwa orientalisme memiliki peran penting dalam memfasilitasi keberhasilan Eropa dalam menjajah lebih dari 85% wilayah dunia, terutama wilayah yang dikuasai oleh Inggris dan Prancis pada periode tersebut. Dampak dari orientalisme tidak cukup hanya terbatas pada era permulaan modernitas, namun juga berlanjut hingga abad ke – 21. Sebagai ilustrasi, ketika gerakan Zionis mendirikan negara Israel dan menerapkan sistem diskriminasi rasial di Palestina, dan juga ketika Amerika melakukan invasi ke Irak dengan dalih politik. Edward W. Said menekankan keterkaitan erat antara orientalisme, kolonialisasi di Palestina, dan ekspansi Barat ke sejumlah negara Muslim.
Mengapa Zionis sangat bersemangat untuk mengambil alih Palestina? Para Zionis memegang keyakinan spiritual dalam ajaran Yahudi ortodoks yang menyatakan bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan bagi umat Yahudi yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Tujuan gerakan Zionis adalah kembali ke negara Israel dengan misi menghancurkan identitas dari Arab Palestina dahulu, selanjutnya mengusir para penduduk asli dari negara Palestina secara perlahan dari tanah mereka sendiri.Â
Akan tetapi, dalam pandangan Said dan beberapa ahli agama lainnya, zionisme tidak dapat dipandang dengan konsep yang bertujuan membebaskan kaum Yahudi. Sebaliknya, ia dipandang sebagai pandangan kolonial dan imperialistik. Hal ini karena prinsip-prinsip fundamental dalam tradisi Yahudi sebenarnya merupakan bagian dari warisan yang juga ada dalam sejarah agama-agama Abrahamic lainnya, seperti Kristen maupun Islam.
Zionisme merupakan gerakan politik yang, pada saat mengambil alih Palestina, meminta bantuan Inggris dengan dukungan dari keluarga Rothschild. Inilah yang menyebabkan terbitnya Deklarasi Balfour yang sangat berpolitik, pada tanggal 18 Juli 1917, melalui memorandum, ditegaskan prinsip bahwa Palestina harus dipulihkan sebagai tanah air nasional bagi bangsa Yahudi. Selain itu, Barat berencana menjadikan Palestina sebagai tanah air bagi orang Yahudi.Â
Pada tahun 1895, pendiri Zionisme, Theodor Herzl, membuat rencana strategis untuk secara bertahap menggeser penduduk asli Palestina. Ia mencari cara dengan memberikan mereka pekerjaan di beberapa negara singgahan, sementara tidak memberikan kesempatan kerja bagi warga Palestina di negara Israel. Herzl memandang bahwa penyerobotan wilayah dan pemindahan warga miskin Palestina harus dilakukan dengan hati-hati dan kecermatan yang luar biasa.
Edward W. Said bersama dengan beberapa pemikir kritis lain, termasuk Ilan Pappe, mengajukan argumen bahwa tidak ada alasan yang membenarkan negara mana pun untuk menginvasi dan menjajah bangsa serta wilayah Palestina yang memiliki warisan sejarah yang berharga. Palestina, menurut penjelasan Said (1979), telah ada selama berabad-abad dan telah dikuasai oleh bangsa Arab Islam sejak abad ke-7. Pada abad ke–10, Palestina mulai tercatat dalam beberapa dokumen sejarah. Tepat pada tahun 1515, wilayah ini resmi menjadi bagian dari Kekaisaran Utsmaniyah.Â
Lonjakan imigrasi komunitas Yahudi kemudian terjadi, mencapai puncaknya sejak tahun 1882. Saat gerakan Zionis mengambil alih Palestina pada tahun 1948, daerah tersebut telah dihuni oleh komunitas Muslim Arab dan Kristen. Berbagai kampung ada di mana penduduknya bergantung pada pertanian sebagai mata pencaharian utama. Konsekuensi dari pembentukan negara Israel secara paksa pada tahun 1948 menyebabkan hilangnya ratusan kampung dan ribuan orang Palestina terpaksa menjadi pengungsi, termasuk tokoh terkenal seperti Edward W. Said.Â