[caption id="attachment_110388" align="alignleft" width="300" caption="www.kompas.com"][/caption] Harus diakui, banjir bandang dan tanah longsor yang mendera 5 kecamatan di Garut Selatan; Cikelet, Pameungpeuk, Cisompet, Mekarmukti dan Cibalong dengan menelan korban jiwa 10 orang meninggal, 3 orang hilang, dan 6 orang luka-luka merupakan bukti nyata atas ulah lalim perbuatan manusia. Pasalnya, sikap serakah dan perilaku jahil yang tertanam dalam sanubari kita membuat alam murka sekaligus unjuk kekuatan. Betapa tidak, tibanya musim penghujan malah menjadi petaka yang tak bisa terelakan. Karena kita seriang alfa mensyukuri segala pemberian (anugrah) dari Tuhan ini. Ironis memang. Saking prihatin terhadap tragedi banjir bandang dan tanah longsor, Daud Muhammad Komar, keturunan masyarakat adat Kampung Dukuh menuturkan “Apalah artinya kami menjaga dan memelihara kelestarian Gunung Padukuhan, jika hutan di lokasi lainnya tidak dipedulikan bahkan dirambah serta dialihfungsikan, “ tegasnya (Garut News, 10/5) Rupaya, kearifan lokal untuk menjag, melestarika alam, hutan, lingkungan sekitar yang diwariskan secara turun-temurun tak dipegang. Malahan keberadaan Leuweung Sancang yang terkenal angker dengan mitos Prabu Siliwangi sebagai salah seorang Raja Sunda yang menonjol itu, ternyata tidak mempan untuk dijadikan penangkal pengrusakan, penggindulan, perampasan hutan yang dilakukan masyarakat. Haruskah upaya ngamumule alam di tanah Parahyangan ini hanya lestari pada legenda-legenda semata? Sejatinya, kehadiran Waisak (2555 BE) yang jatuh pada tanggal 17 Mei 2011 ini tidak hanya sekedar merayakan Tri Suci Waisak Puja (kelahiran, pencapaian Penerangan Sempurna, dan parinirwana; meninggal dunia), tapi harus memberikan keselarasan, keseimbangan, keharmonisan antara manusia dengan alam supaya lebih arif dan bijaksana? Berkah Waisak Umat Buddhis menyakini berkah terdalam dari adanya detik-detik Waisak (17 Mei 2011-Pukul 18.08.23 WIB) adalah membersihakn hati, pikiran, menebar sikap welas asih untuk tetap mendorong sekaligus menjaga keselarasan, keharmonisan, kelestarian kehudupan, alam dan manusia. Menurut Parwati Soepangat, upaya melestarikan ini diperlukanlah; Pertama, Mengikuti hukum universal supaya kehidupanya selaras dan tidak menyimpang dari hukum yang mengatur semesta dan isinya. Yakni melalui jalan; hukum karma (sebab-akibat), hukum paticca samuppada (sebab musabab yang bergantungan), hukum anicca (sementara, tidak kekal, berubah) dan hukum majimma patipada (keseimbangan, jalan tengah, tidak ikut yang ekstrim). Kedua, Keselarasan dari semua kehidupan (manusia, alam, binatang, makhluk lain). Semuanya harus bersumber pada lima hukum yang mendasari kehidupan sebagaimana yang tertera dalam Dhammasangani; Utu Niyama (hukum tentang energi), Bija Niyama (hukum yang berkaitan dengan botani), Kamma Niyama (hukum tentang sebab akibat), Cita Niyama (hukum tentang bekerjanya pikiran), Dhamma Niyama (hukum tentang segala apa yang tidak diatur keempat Niyama). Dengan membawa keselarasan dalam semesta pada aturan hukum yang berlaku, maka diharapkan segala macam musibah dapat dicegah. Ketiga, Tidak merusak atau menghamcurkan kehidupan dan bantu kelestarian. Buddha mengajarkan pelestarian sebagaimana termaktum pada Brahmajala Sutta; "Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan"; "Tidak membunuh makhluk, Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh makhluk. Ia telah membuang alat pemukul dan pedang. Ia tidak melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang, dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk" Keempat, Mengingkatkan tanggungjawab bersama dan kurangi keserakahan. Mari kita renungkan Anguttara Nikaya (1.60) Hujan yang turun di satu daerah pada suatu waktu akan berkurang ketika masyarakat berada di bawah kuasa keinginan yang menyesatkan, keserakahan tanpa alasan dan mengikuti pengertian nilai salah. Cuaca kering menyebakan kelaparan sebagai akibat peningkatan laju kelahiran. Akibat keserakahan manusi akan kemewahan, kekayaan dan kekuasaan telah menyebabkan berdirinya pabrik, mall yang dapat menimbulkan masalah polusi udara, air, tanah, suara, cuaca yang mempengaruhi flora, pauna dan alam sekitar. Dengan menumbuhkan kesadaran ini dapat membuah lingkungan saling berinteraksi dalm kehidupan dan menimbulkan tanggungjawab bersama pada lingkungan untuk dipelihara, dilestarika. (Parwati Soepangat,2002:85-88) Keselarasan Alam Pentingnya menjaga keselarasan dengan alam sering dinamai ahimsa, seperti ditulis Dian Maya Safitri dengan merujuk kepada Ian Harris, Professor bidang Kajian Buddha (Buddhist Studies) di Universitas Cumbria dalam buku Ecological Buddhism? (2003) mengemukakan Konsep tentang ahimsa (keharmonisan, tanpa kekerasan, tidak merusak) terhadap dunia tumbuhan sebagai bagian penting dari dhamma (ajaran Buddha) yang akan menentukan jalan menuju nibbana (pembebasan), telah menginspirasi anggota sangha (komunitas Biksu) dan orang awam untuk berbuat baik terhadap alam. (Kompas, 31/12/2010) Dalam kontek Jawa Barat upaya menciptakan Tanah Sunda sebagai green province dengan agenda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat perlu keterlibatan semua komponen untuk menjaga alam ini. Tanpa menitik beratkan terhadap Pemerintah. Ingat, para karuhun urang selalu memberikan dongeng-dongeng untuk tetap menjaga keberadaan hutan, alam sekitar supaya dijaga, dipelihara, dilestarikan dan mendapatkan perhatian lebih sekaligus larangan (pamali) untuk tidak merusaknya. Mari kita tengok dari beberapa cerita-cerita; macan putih Sancang (Garut), Cipatujah (Tasikmalaya) Badak Cihea dan Bojonglarang (Cianjur), Banteng Cikepuh (Sukabumi) dan Lebak Siliwangi (Bandung) supaya menumbuhkan kecintaan kita terhadap alam sekitar. Kiranya, petuah Buddha Gotama di khotbah terakhir di Hutan Sala milik Suku Malla, di antara Pohon Sala besar di dekat Kusinara perlu kita renungkan sejenak untuk mempengingati Waisak ini. "Ajaranku yang terpenting adalah: Anda harus bisa menaklukkan diri sendiri. Jauhkan keserakahan dan nafsu keinginan. Berjalan di tempat yang benar menjalankan hidup suci. Dengan kejujuran dan kebenaran. Selalu mengingat: Kehidupan dan tubuh ini sangat singkat dan semtara. Bilamana dapat merenungkan sedemikan rupa Anda akan bisa menjaukan keserakahan dan nafsu keinginan, dendam dan amanah. Anda bisa menjauhkan kejahatan." (pasal 4) "Para siswaku: Sewaktu Anda mengetahui diri sendiri telah terangsang oleh keserakahan dan nafsu keinginan. Anda harus berjuang keras untuk mengendalikannya. Anda dapat menjadi majikan bagi diri Anda sendiri. Jangan sampai diperbudak oleh nafsu keinginan" (pasal 6) Semoga tibanya Dharmasanti 2555 ini dapat menyelamatkan hutan, lingkungan, alam Pasundan dengan berangkat dari kebiasaan memelihara kearifan dan keharmonisan alam. Sebab ajaran Buddha membabarkan pentingnya menjaga kelestarian, keharmonisa alam supaya bisa menyelaraskan manusia sebagai petanda orang dewasa. Selamat Hari Raya Waisak 2555. Sabbe satta bhavantu sukhitata. Semua mahkluk berbahagia. Sadha, sadha, sadha. IBN GHIFARIE, Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung Program Religious Studies Sumber Podium Tribun Jabar edisi 16 Mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H