Dapatlah dikatakan ihwal sejarah agama-agama, mulai dari masyarakat primitive sampai modern dibentuk oleh sejumlah besar hierophany (sesuatu yang sacral menunjukan dirinya pada kita) sekaligus manisfestafi dari realitas yang sakral. Konon, dari hierophanny yang paling mendasar misalnya manisfestasi sakral dalam objek keseharian hadir di sebuah batu, pohon. Untuk hierophany yang tinggi, seperti pada doktrin Kristen adalah penjelmaan Tuhan dalam Yesus. Semuanya terdapat kontiunitas yang terus bersambung. Ingat bagi manusia tradisional (homo religious) kehidupan ini selalu terbuka untuk memandang dunia sebagai pengalaman yang sakral. Namun berbeda dengan orang moderent (Barat) yang berkeyakinan soal manusia hanya dapat membangun dirinya secara utuh ketika ia mendesakralisasikan dirinya dan dunia yang sakral menjadi profan. Pelbagai kesulitan dalam menghadapi penjelmaan yang sakral saat mewujud dalam batu, pepohonan tak dapat diterima kalangan modern ini. Malahan melahirkan pertanyaan; Benarkah mereka tengah melakukan pemujaan terhadap batu, pepohonan? Jawaban orang tradisional tidak. Pasalnya mereka menyambah hierophany yang menunjukan kesucian dan keabadian. Sakralitas Mari kita coba belajar arti dan pentingnya sakralitas dalam kehidupan kita dari manusia yang hidup di masyarakat arkais (archais) cenderung untuk hidup sebisa mungkin dalam kesakralan atau dekat dengan objek suci. Tendensi ini sepenuhnya dapat dipahami karena bagi orang primitif kesakralan sama artinya dengan kekuasaan (kekuatan). Yang sakral identik dengan ada (being). Kekuatan sakral menunjukan realitas dan pada saat yang sama keabadian dan efektivtas tindakkan. Sakral erat kaitanya dengan profan. Oposisi ini sering ditunjukan sebagai oposisi antara yang nyata dan tidak (palsu). Dengan demikian, kesakralan selalu memanisfestasikan dirinya sebagai sebuahh realitas yang secara keseluruhannya dari realitas-realitas alami. (Mircea Eliade,2002:2-8 dan 213) Menurut Daniel L Pals (2001:275) Sakral adalah supernatural yang luar biasa, mengesankan dan penting; abadi yang penuh dengan subtansi dan relitas; keteraturan dan kesempurnaan (cosmos), rumah para leluhur, pahlawan dan para Dewa. Profan merupakan wilayah urusan setiap hari yang biasa, tidak disengaja dan pada umumnya tidak penting; yang menghilang dan mudah pecah, penuh banyang-banyang; urusan manusia, yang berubah dan sering kacau (chaos). Perlu dibedakan sakral Mircea Eliade dengan Emile Durkheim dan Rudolf Otto. Bagi Durkheim yang sacral memiliki arti bagi klan. Profan hanya memiliki arti individu. Berkenaan dengan pemujaan terhadap klan ini dimata Eliade jelas-jelas bukan yang ia pikirkan. Pasalnya, agama menurutnya bersifat supernatural yang jelas, sederhana dan berpusat pada yang sakral. Bagi Otto yang sacral tidak diterapkan untuk kebutuhan masyarakat. Sebaliknya ia menulis suatu jenis pengalaman manusia individual yang dramatis dan khas. Ihwal pemujaan dengan yang sacral ini Eliade menjelaskan tentang orang-orang yang merasa bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat di luar duniawi. Mereka berasa telah bersentuhan dengan sebuah realitas. Pusat kebudayaan yang sacral ini ditandai dengan sebuah tiang, pilar atau objek vertical yang menancapkan ke tanah dan menghadap kelangit untuk menyatuka tiga wilayah alam (langit, bumi, alam bawah/neraka). Gejala ini disebut Axis Mundi (tempat berputarnya seluruh dunia). Ungkapan “Suatu nostalgia yang dalam akan sugra” merupakan sikap mereka yang khas dari masyarakat yang sacral dengan selogan Kerinduan untuk dekat dengan Dewa. Keinginan untuk kembali ia wilayah supernatural (Daniel L Pals, 2001:275-284) Ketiadaan pemahaman yang sacral dalam kehidupan manusia dikeluhkan oleh Clive Erricker, sebab kebudayaan sebelumnya telah memasukannya ke dalam way of life dan perspektif mereka tentang realitas. Sesungguhnya, pernyataan ini menandakan perlunya peradaban modern melaih kembali apa yang telah hilang di tengah upaya kita untuk pencarian kemajuan yang tak kunjung usai. Ini merupakan pesan kenabian untuk menentuka kembali sifat dasar yang benar. Dalam The Sacred and Profane (1959:13) Concent utama kami adalah menunjukan bagaimana orang realigius berupaya tetap berada dalam dunia sacral dan oleh karenanya pengalam kehidupan totalnya terbukti bila dibandingkan dengan pengalam orang tanpa rasa keagamaan yang hidup atau ingin hidup dalam suatu dunia yang telah terdesakralisasikan. Untuk mencapai tujuan kami cukuplah sekedar mengamati bahwa desakralisasi merasuk dalam seluruh pengalamn manusia nonreligius dalam masyarakat modern, konsekuensinya dia menghadapai kesulitan untuk menemukan kembali dimensi eksistensial manusia yang terdapat dalam masyarakat kuno. (Peter Connolly [ed], 2002:121) Sakralitas akan selalu mewujud pada; Pertama, Ruang. Setiap ruang sakral menandakan adanya hirofani. Kehadiran yang sacral membuat terpisah dari lingkungan kosmik yang melingkupinya secara qualitatif. Manusi religious berusaha hidup sedapat mungkin untuk dekat dengan pusat dunia. Dengan demikian, manusia tradisional hanya dapat hidup dalam komunikasi dengan dunia lain, transedental secara ritual. Mari kita tengok proses sakralitas pada ruang yang terjadi dalam pembangunan rumah (bangunan, tempat ibadah). Bagi masyarakat primitif rumah merupakan manispestasi dari kosmos. Sebelum para tukang meletakan batu pertama seorang ahli astronomi akan menunjukan pada mereka tempat dimana batu harus diletakkan dan tempat ini dianggap terletak di atas ular yang menyokong dunia. Sang pembuat rumah meruncingkan sebuah tiang panjang dan mengarahkannya ke tanah yang telah ditunjuk oleh ahli astronomi untuk memaku kepal ular. Dalam keyakinan mereka ular menyimbolkan kekacauan, ketiadaan bentuk, yang tak terwujud. Memotong kepalanya sama dengan tindakan penciptaan keadaan dari yang maya dan tak berbentuk menuju keadaan yang punya bentuk. Walhasil, rumaha bukanlah sebuah objek “mesin untuk ditinggali”. Melaninkan jagat raya yang dibangun manusia untuk dirinya sendiri dengan meniru penciptaan paradigmatic dari dewa-dewa kosmogini. Untuk orang yang beragama ruang sakral ini hadir dalam Kuil, Bisilika dan Katedral. Pasalnya, kesucian kuil merupakan bukti melawan segala kerusakan duniawi berdasarkan bukti-bukti perencanaan arsitektur para dewa yang berada di surga. Pun Bisilika dan Katedral pada Kristen yang mengambil alih sekaligus meneruskan simbolisme kosmik. Satu sisi gereja dipahami sebagai tiruan dari Jerusalem surgawi sejak zaman patristic. Lain sisi gereja adalah perwujudan kerajaan Allah (surga). (Mircea Eliade, 2002: 13-58) Kedua, Waktu. Pada dasarnya waktu sakral dapat diulang-balik. Yakni penghadiran kembali waktu mitos (mythical time) primordial. Setiap perayaan keagamaan, waktu peribadatan, reaktualisasi kejadian-kejadian sacral yang terjadi pada zaman mitos “pada permulaan”. Partisipasi religious dalam perayaan menandakan perpindahan dari duraasi temporal yang biasa dan penyatuan dengan waktu mitos yang direaktualisasika dalam perayaan. Dengan kata lain, peserta perayaan menemukan dalam pesta itu kelahiran pertama dari waktu sakral. Upaya mereaktualisai kosmogoni hadir dalam tahun baru. Pasalnya meindikasikan waktu diulang lagi mulai dari awal, yakni retsorsi waktu primordial, murni ada pada saat penciptaan. Inilah menjadi alasan tahun baru merupakan kesempatan untuk pemurnian untuk penghapusan dosa, pengusiran setan, sekedar penghapusan dosa. Pengalaman sakralitas ruang, waktu menunjukkan keinginan untuk bersatu kembali dengan situasi permulaan saat para dewa-dewa dan leluhur mitos hadir guna menciptakan dunia, mengaturnya dan menunjukkan fondasi peradaban manusia. Manusia berkehendaka memperbarui kehadiran aktif para dewa-dewa, leluhur dan berkeinginan untuk hidup di dunia ini. (Mircea Eliade, 2002: 65-86) Mengenai Alam. Bagi manusia religious alam tidak hanya sesuatu yang alami, tetapi alam selalu penuh dengan nilai religious. Hal ini mudah dipahami karena kosmos merupakan penciptaan illahi; berasal dari kekuasaan dewa-dewa, dunia dipenuhi kesakralan. Ingat, dunia bukan hanya sakralitas yang dikomunikasikan oleh dewa-dewa dan mentasbihkan kehadiran ilahiah. Dewa-dewa bertindak memanisfestikan beragama modalitas dari yang sacral ke dalam setiap struktur dunia dan fenomena kosmik. Bila posisi Tuhan (Dewa Zeus, Jupiter, Taranis, Perkunnas, Perun, Tien, Ahura Mazda, Yahweh) selalu menunjukkan ke arah langit, tinggi dan jauh, maka orang primitif menjauh dari dewa langit yang transdental karena perhatiannya terhadap hierofani kehidupan melalui penemuan kesuburan tanah yang sakral dan melalui penemuan dirinya sendiri yang ditampakkan pada pengalam religious yang lebih kongkrit. Salah satunya terra mater (ibunda bumi). Seorang nabi Indian, Smohalla ketua suku Wanapun menolak untuk bercocok tanam. Pasalnya ia berkeyakinan sangat berdosa bila kita melukai dan meneteskan air mata bumi, ibu segala benda. Ia berkata kamu memintaku membajak tanah? Akankah saya mengambil pisau dan menyogok payudara ibuku? Ketika saya meninggal, saya tidak dapat masuk ke dalam tubuhnya untuk dilahirkan kembali. Kamu meminta saya memotong rumput dan membuat jerami kering dan menjualnya, hingga menjadi kaya seperti orang-orang putih. Namun bagaimana saya berani memotong rambut ibuku? Pemahaman ini sering disebut hylogeni, yakni satu keyakinan yang menggap manusia dilahirkan dari air. Harus diakui, segala kerusakan yang ada di bumi ini, seperti banjir, longsor, bencana, tsunami merupakan satu bukti nyata dari segala kerakusan kita dalam mengeksploitasi alam untuk kepentingan sesaat. Proses desakralisasi alam cikal bakalnya pelbagai bencana yang seakan-akan enggal lepas dari kehidupan keseharian kita. Kiranya, kita harus belajar kepada masyarakat tradisional yang menggapa alam masih memamerkan keramahan, misteri, keagungan. Untuk itu, menjaga, melestarika alam harus kita pupuk dari sejak dini. (Mircea Eliade, 2002: 117-133) Mengenai sejarah agama-agama Mircea Eliade memberikan sumbangan yang besar atas khazanah studi agama-agama. Pasalnya, ia menetapkan ilmu sejarah agama sebagai cabang pengetahuan. Semula yang giat mengkampanyekan ilmu agama-agama, studi perbandingan agama hanyalah Max Muller. Atas ikhtiar Eliade sejarah agama-agama mendapat ruang. Kecintaanya terhadap pengetahuan ini melahirkan maha karya Encycloaedia of Religion and Ethic (13 vol. Eninburgh, 1908-1923) Kongres internasional pertama tentang ilmu agama-agama digelar pada tahun 1897 di Stockholm. Baru pada tahun 1900 Congres d'Histoire des Religions dibuka di Paris dengan tidak menyertakan teologi dan filsafat agama dalam Studi Agama-agama. Baginya sejarawan agama dibagi kedalam dua wilayah dengan mengunakan orientasi metodologi yang saling melengkapi. Pertama, Kelompok yang memusatkan perhatianya kepada karakteristik struktur fenomena agama-agama dan berusaha memahami esensi gama. Kedua, Golongan yang memilih meneliti konteks historisnya dan berusaha menamukan sekaligus mengkomunikasikan sejarahnya. Menurut Mircea Eliade agama merupakan suatu sistem yang timbul dari sesuatu yang disakralkan (sakral) dan harus dijelaskan sesuai bahasanya sendiri serta diposisikan yang kostan . Ini terlihat di masyarakat Arkais yang berusaha untuk hidup sedapat mungkin dalam kesakralan atau dekat dengan objek suci. Pasalnya, kesakralan identik dengan kekuasaan, kekuatan, dan realitas (being). Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (terjemah). (Yogyakarta: Qalam, 2001) Peter Connolly (ed.), Approachhes to the Study of Religion, Imam Khoiri (terjemah) (Yogyakarta: LKiS, 2002) Mircea Eliade. The Sacred and The Profane, Nuwanto (terjemah). (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 2002)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H