[caption id="attachment_108760" align="alignleft" width="260" caption="www.mardetymardinsyah.com"][/caption] Ibarat di musim hujan benih-benih radikalisme tumbuh subur di kalangan anak muda. Ini merupakan hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang radikalisme di kalangan pelajar se-Jabodetabek. Parahnya, hampir 50 persen pelajar menyetujui tindakan radikal atas nama agama. Beberapa pengamat terorisme dan intelijen melihat reaksi kaum muda tersebut sebagai benih-benih pemikiran yang bisa mengarah pada tindakan terorisme. Dalam catatan intelijen Wawan Purwanto menjelaskan, Pada tahun 2007, dua orang remaja yaitu Isa Anshori (16) dan Nur Fauzan (19) ditangkap Densus 88 karena diduga ikut terlibat dalam menyembunyikan Taufik Kondang, salah seorang anggota jaringan teroris komplotan Abu Dujana. Tahun 2009 (17 Juli 2009) pelaku bom di JW Marriot adalah Dani Dwi Permana (18) dan Ritz Charlton Nana Ikhwan Maulana (28) Tahun 2011 (25 Januari 2011), Arga Wiratama (17), Joko Lelono, Nugroho Budi, Tri Budi Santoso, Yuda Anggoro. Roki Apris Dianto dibekuk oleh Densus 88 bersama ketujuh orang lainnya dalam kasus teror bom di wilayah Klaten, Sleman, dan Yogyakarta. (detikNews, 28/4) Tinjau PAI Munculnya pelaku teroris, bom bunuh diri dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan pemuda yang berusia di bawah 30 tahun menunjukan menunjukkan adanya kegagalan Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam menumbuhkan sikap kebhinekaan siswa sehingga tingkat persetujuan atas aksi radikal tinggi, mencapai 48,9 persen. (Hasil survei LaKIP), seperti ditulis M. Bambang pranowo, Direktur LaKIP, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat Wilayah Jabodetabek yang menjadi sampelnya. Ihwal radikalisme dan toleransi muslim terhadap nonmuslim (Oktober 2010-Januari 2011) dengan responden 590 guru dari 1.639 guru pendidikan agama Islam dan 993 siswa (sekolah menengah pertama kelas VIII dan IX serta sekolah menengah atas semua kelas) dari 611.678 siswa menunjukkan hasil yang membenarkan besarnya kecenderungan radikal dan intoleran. Dalam kasus radikalisme, misalnya, untuk tingkat pengenalan dan kesetujuan terhadap organisasi radikal, rata-rata persentase guru dan siswa masing-masing 66,4 persen dan 26,7 persen (pengenalan) serta 23,6 persen dan 12,1 persen (kesetujuan). Untuk tingkat pengenalan dan kesetujuan terhadap tokoh-tokoh radikal, rata-rata persentase guru dan siswa: 69,2 persen dan 26,6 persen (pengenalan) serta 23,8 persen dan 13,4 persen (kesetujuan). Dari temuan Lakip itu, jelas sekali guru dan siswa di Jabodetabek mengenal organisasi dan tokoh radikal serta sebagian dari mereka menyetujui tindakan organisasi dan tokoh tersebut. Radikalisme erat kaitannya dengan sikap intoleransi. Betapa tidak, laporan survei Lakip menunjukan; 62,7 persen guru dan 40,7 persen siswa menolak berdirinya tempat ibadah non-Islam di lingkungan mereka. Guru (57,1 persen) dan siswa (36,9 persen) juga menolak bertoleransi dalam perayaan keagamaan di lingkungan mereka. Lebih jauh lagi, dari hasil survei itu juga ditemukan fakta yang menarik: 21,1 persen guru dan 25,8 persen siswa menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai ideologi negara. Guru dan siswa pun menganggap persoalan bangsa akan teratasi bila syariat Islam diterapkan di Indonesia (65 persen). (Koran Tempo, 29/4) Anak Muda Radikal Wajar Membaca hasil penelitian LaKIP seakan-akan kita tercengang. Pasalnya, gerakan radikalisme telah menyusut anak muda muslim. Padahal penelitian serupa telah dilakukan oleh Martin van Bruinessen, peneliti asal Belanda dalam tulisan Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosio-Budaya Timbulnya pemahaman agama yang radikal di kalangan anak muda sebetulnya wajar dan sendirinya bukan sesuatu yang dihawatirkan. Sebuah umat yang hanya terdiri dari satu ortodoksi yang monolitik mudah kehilangan dinamika dan semangat hidup. Dalam sejarah gereja di dunia Barat sekte-sekte radikak sering--telah berfungsi sebagai hati nurani umat, dapat dilihat di sejarah umat Islam. Gerakan sempalan radikal mendorong ortodoksi untuk setiap saat memikirkan kembali relevansi ajaran agama dalam masyarakat kontemporet dan untuk menjawab atas masalah dan tantangan baru yang terus timbul. Baru muncul bahaya kalau komunikasi antar ortodoksi dan gerakan sempalan terputus dan mereka terasingkan karena kurang pengalaman hidup dan pengetahuan agama, mereka dengan sangat mudah bisa dimanipulir dan atau diarahkan kepada kegiatan yang tidak sesuai dengan kepentingan umat. Sebagai akibat urbanisasi dan moneterisasi ekonomi banyak ikatan sosial yang tradisional semakin longgar atau terputus. Dalam desa tradisional, setiap oarang adalah angggota sebuah komunitas cukup intim dengan kontrol sosial yang tetat, tetapi juga dengan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Jaringan keluarga yang luas melibatkan setiap individu dalm sebuah sisitem hak dan kewajiban yang sampai batas tertentu kesejahteraannya. Pada masyarakat kota modern sebaliknya, setiap orang berhubungan dengan jauh lebih banyak orang lain, tetapi hubungan ini sangat dangkal dan tidak mendorong tanggungjawab yang berarti. Dalam suasan ini, aliran agama sering bisa memenuhi kekosongan yang telah terjadi karena menghilangkanya komunitas keluarga besar dan desa. Namun, untuk dapat berfungsi sebagai komunitas aliran ini mestinya bisa saling mengenal karena cukup kecil anggotanya. Aspel komunitas dan solidaritas antara sesama anggota diperkuat lagi kalau alira ini membedakan diri dengan tajam dari dunia sekitarnya. (Jurnal Ulumul Quran, Volume III No I Th 1992:25) Menurut Ahmad Syafii Maarif, menuturkan aksi tetorisme yang melibatkan sekelompok (kalangan muda) amat kecil muslim harus dibaca dari kacamata ketidakberdayaan atau keputusasaan dalam menghadapi realitas dan kekinian yang mereka rasakan sangat kelam dan menghimpit. (Ahmad Syafii Maarif, 2005:56) Galakan GM3 Berhubung penyemaian benih-benih radikalisme biasanya dilakukan secara sistematis, halus, dan tertutup. Aktivitas semacam ini mesti dilawan seluruh elemen masyarakat, seperti pengajar agama, guru, dan setiap keluarga. Masyarakatlah yang paling awal tahu setiap kejanggalan yang muncul di lingkungannya--termasuk yang muncul di kalangan pemuda. Tak perlu mencari jauh-jauh, benih-benih terorisme itu sangat mungkin berada di sekitar kita. (Tempo, 19/4) Sejatinya, Program Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji (GM3) yang digalakan Kementerian Agama perlu digalakan dan didukung semua kalangan supaya mesjid tidak menjadi benih-benih islam radikal, seperti hasil penelitian Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, antara tahun 2008-2009 tentang “Pemetaan Ideologi Masjid di DKI Jakarta” dan “Pemetaan Ideologi Masjid di Solo”. Mudah-mudahan ikhtiar Institute for Study of Islam, Cultural, and Public Affairs (ISRCP-a) Program Pascasarjana UIN SGD Bandung dalam mewujudkan masjid sebagai milik "kita" dan di mesjid kita damai terwujud. Semoga. [Ibn Ghifarie]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H