[caption id="attachment_108056" align="alignleft" width="300" caption="www.kompas.com"][/caption] Membaca jejak pendapat Litbang Kompas edisi Senin 9 Mei 2011 tentang Jalan Memupus Radikalisme dengan mengajukan pertanyaan "Menurut Anda, hal apa yang paling mendorong berkembangnya radikal bernuansa agama di Indonesia?; Setuju atau tidakkah Anda dengan cara-cara yang dipakai kelompok radikal untuk mewujudkan keyakinannya?; Menurut penilaian Anda memadai atau tidak pernan pemerintah mencegah terorisme?" Betapa tidak, tumbuhsuburnya gerakan radikalisme agama ini diakibat; Pertama, Lemahnya penegakan hukum mencapai 28,0%; Kedua, Rendahnya tingkat pendidikan dan lapangan kerja mencapai 25,2 %; Ketiga, Lemahnya pemahaman ideologi Pancasila mencapai 14,6%; Keempat, Kurangnya dialog antarumat beragama mencapai 13,9%; Kelima, Kurangnya pemahaman agama mencapai 4,9%; Keenam, Ketidakpuasan terhadap pemerintah mencapai 2,3%; Ketujuh, Kesenjangan ekonomi mencapai 1,6%; Kedelapan, Lainnya mencapai 3,1%; Kesembilan, Tidak tahu/tidak jawab mencapai 6,4% Memudarnya Pancasila Kemunculan rasa tebang pilih dalam penegakan hukum, memudarnya falsafah pancasila dalam berkehidupan berbangsa, bernegara dan maraknya dialog antarumat beragama hanya bersifat elitis dan tak menyentuh kalangan umat membuat bangsa Indonesia tak jelas arah pijakannya. Ini dikeluhkan oleh Yudi Latif bangsa Indonesia merupakan negeri yang tengah limbung dan berjalan tanpa arah karena meninggalkan warisan nenek moyang dan founding fathers-nya yang paling berharga, yaitu Pancasila. Pasalnya, pancasila adalah penjelmaan falsafah bangsa Indonesia yang paling realistis karena berpijak pada proses perjalanan sejarah pembentukan nusantara itu sendiri. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang melimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus peradaban (Yudi Latif, 2011: 3). Melukai Hati Nurani Dalam konteks umat islam Indonesia meraknya gerakan fundamentalisme, radikalisme, terorisme, aksi bom bunuh diri merupakan ketidakberdayaan, ketidaksiapan pribadi maupun kelompok dalam menghadapi segala persoalan keindonesiaan, kebangsaan dan keislaman yang kian merasuki segala aspek kehidupan. Ini diamini oleh Ahmad Syafii Maarif, mantan Pengurus Pusat Muhammadiyah dalam kata pengantar buku Pray to Kill menuliskan "Islam dan Bahaya Radikalisme Beragama" Ingat, dalam sejarah peradaban umat manusia, radikalisme agama pada umumnya berujung pada atau dengan kegagalan. Apalagi jika filosofi yang digunakan adalah kebencian dan fanatisme. Pendukung radikalisme agama tampaknya tidak mempunyai modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan. Napas yang sesak karena berbagai hantaman sejarah yang datang bertubi-tubi telah menempatkan sebagaian muslim dalam posisi tragis tetapi tak berdaya. Oleh sebab itu mereka menempuh jalan pintas berupa self-defeanting (menghancurkan diri sendiri) atas nama agama yang dipahami dalam suasana jiwa yang sangat rentan dan tertekan. Radikalisme dalam jangka panjang hanyalah akan menjadi iklan yang buruk bagi agama yang dinilai suci oleh para penganutnya. Umat islam adalah di antara yang paling rentan terhadap godaan radikalisme karena posisi mereka yang masih berada di puritan peradaban. Posisi puritan dapat mendorong orang untuk menempuh jalan pintas dalam mencapai tujuan, tetapi dalam jangka panjang pasti akan berujung pada penderitaan, penyesalan dan kegagalan, yang paling repot. Kadang-kadang umat islam dituntut untuk memerangi terorisme, tetapi pada saat yang sama sekaligus dituduh sebagai terorisme. Dengan demikian, radikalisme agama dalam tingkat yang sangat akut dapat menyebabkan orang itu nekad melakukan bom bunuh diri dengan dalih jihad membela islam dan umatnya. "Bagi saya bom bunuh diri sambil membunuh orang lain yang belum tentu bersalah adalah suatu kepiluan kemanusiaan yang sangat melukai nurani kita." Untuk bom bunuh diri jelas berdasarkan konsep teologi yang sangat kacau, sebab tidak ada alasan rasional sama sekali dibelakangnya. Sesungguhnya peraktik serupa juga dilakukan oleh pemeluk Hindu di Indi yang secara radikal telah membunuh Indira Gandhi, di Srilangka oleh gerakan kemerdekaan Harimau Elam Yamil yang melawan kemerdekaanya. Dari macam-macam sebab gerakan bunuh diri itu ada kerjasama penyebab utamanya; frutrasi, marah dan putus asa menghadapi realitas yang dinilai semakin kejam dan tak teratasi. Rupanya peribahasa "Daripada hidup becermin bangkal, lebih baik mati berkarang tanah" menjadi pegangan dalam bertindak (M Haniff Hassan, 2006:XV-XXII) Ketidaksiapan umat beragama dalam menghadapi segala persoalan pernah diutarakan Nurcholish Madjid sambil mengutif Erik Fromm, Pakar Sosiologis-Psikologi Sosial Filsuf Humanis. Cak Nur menuliskan "Persoalanya bukanlah terutama bagaimana mendorong manusia untuk beragama, melainkan bagaimana manusia menemukan atau cara menolak agama dan menghayatinya begitu rupa, sehingga tidak membuatnya malah lumpuh secara keruhanian, melainkan yang akan mengembangkan lebih lanjut nilai kemanusiaanya sedini dan membuat mekar potensi spesipikasi sebagai manusia" (Siti Nadroh, 1998:11) Sejatinya, pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus menjadi harga mati dalam melawan gerakan fundamentalisme, radikalisme, terorisme, aksi bom bunuh diri di bumi nusantara ini. Mudah-mudahan kita merasa bangga dan cinta Indonesia. Semoga. [Ibn Ghifarie]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H