[caption id="attachment_121139" align="alignleft" width="300" caption="www.parisada.org"][/caption] Umat Hindu di Bali bersembahyang dalam peryaan hari raya Galungan di pura Jagatnatha, Denpasar Bali, rabu (6/7). Galungan merupakan perayaan kemenangan kebaikan (dharman) atas ketidakbaikan (adharma) dengan pesan agar manusia lebih mengendalikan diri. (Kompas, 7/7) Sejatinya, kehadiran perayaan Galungan ini harus menjadi momentum awal untuk mengendalikan diri dari segala perbuatan lalim sekaligus keinginan untuk mendapatkan, merampas (harta, hatha, jabatan) milik orang lain. Menurut, I Made Titib asal muasal perayaan Galungan di Bali bersumber pada kitab Usana Bali dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh K.Ginarsa terhadap prasasti-prasasti jaman Bali Kuna maka dapat disimpulkan Galungan telah dirayakan pada jaman Valajaya (Tarunajaya, Jayakasumu) dalam lontar Usana Bali, putra dari raja Bhatara Guru yang memerintah pada tahun saka 1246-1250. Pendeknya usian raja diakibatkan telah melupakan tradisi leluhur untuk tetap merayakan Galungan. Kilas Balik Galungan. Bila kita melihat upacara Sradha, proses penyucian roh sang raja Gunapriya Dharmapatni, permaisuri raja Dharma Udayana Varmadewa yang memerintah Saka 911-929. Pada saat mangkat rohnya disatukan dengan Istadevata-Nya sebagai Durga-mahisa-sura-mardini, yaitu dewi Durga sedang membunuh raksasa dalam wujudnya seekor kerbau. Kini arcanya tersimpan di pura Kedarman, desa Buruan Kutri, Gianyar. Dengan demikian, upacara Durgapuja telah dilaksanakan pada waktu itu. Upacara penyatuan roh yang telah disucikan dengan dewata pujaan (Istadevata) yang mencapai tingkatan Atmasiddhadevata. Ini dapat kita lihat dari pelbagai informasi penyucian roh leluhur raja Hayam Wuruk, (Ratu Gayatri) di pura (candi) Penataran, Blitar, Jawa Timur. Dalam kitab Nagarakrtagama pura ini disebut Hyang I Palah. Ingat, upacara Durgapuja pada saat itu belum disebut Galungan, melainkan "atawuri umah anucyaken pitara" yang berarti upacara selamatan rumah dan penyucian roh (leluhur), sebagaimana bunyi prasasti Suradhipa tahun Saka 1037. Istilah Galungan yang bermakna sama dengan Vijaya (kemenangan) rupanya pertama kali disebut dalam prasasti yang di keluarkan oleh raja Jaya Sakti tahun Saka 1055. Pun sesajen yang bernama Tahapan-stri, persembahan ini ditujukan kepada dewi Durga, sakti Sang Hyang Siva. Pasalnya, Dewi Durgalah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa. Ciri khas persembahan kepada dewi Durga berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala dan Nepal dan rupanya penggunaan daging dan darah babi (yang mewarisi di Bali) adalah tradisi dari upacara Durgapuja itu. Jika kita melihat penanggalan Bali, dalam hitungan hari (Astawara) maka sejak Redite sampai dengan Anggara Wage Dungulan, hari-hari itu bertepatan dengan Kala, karenanya disebut Sang Kala Tiga. Untuk hari Galungan (Buda Kliwon Dungulan) adalah Uma, nama lain dari Durga dalam aspek Santa (damai). Pada saat ini umat Hindu Bali memohon anugerah kepadaNya. Hari Galungan harus menjadi pijakan untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa sebagai Uma, Durga (Siva Mahadeva) sekaligus hari pemujaan kepada leluhur. Ini dapat kita lihat dari serangkaian upacara Galungan, sejak Sugihan Jawa, Bali sampai dengan Sabtu Umanis Wuku Kuningan. Walhasil, perayaan Galungan menjadi pamungkas segala ikhtiar berbakti terhadap para leluhur. Mengenai makna filosofis Galungan ini kiranya dapat dilihat dari hasil keputusan Seminar Kesatuan Tafsir pada aspek-aspek agama hindu I di Amlapura, 1975 yang telah pula ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan). Upaya mejabarkan ajaran Hindu dalam kehidupan sehari-hari, maka PHDI Pusat melalui Pesamuhan Agung 1989 dengan menetapkan 6 meteda pembinaan umat; Pertama, Dharma Wacana yakni kotbah/ceramah agama. Kedua, Dharma Tula yakni diskusi/sarasehan agama. Ketiga, Dharma Gita yakni menyayikan lagu-lagu keagamaan. Keempat, Dharma Santi yakni Silaturahmi/resepsi. Kelima, Dharma Sadhana yakni merealisasikan ajaran agama melalui yogasamadi). Keenam, Dharma (Tirthayatra) yakni mengunjungi tempat-tempat suci untuk mendapatkan kesucian diri. Bila kita kuat memegang prinsip ini, niscaya kita dapat mengendalikan diri sekaligus mentransformasikan dirinya kepada masyarakat sekitar. (www.www.parisada.org) Ilmu Pengetahuan Meskipun dalam peraktiknya, keinginan untuk selalu berbuat kebaikan dan mengendalikan diri dari segala kejahatan sangat sulit. Salah satu cara penegakan dharma dengan menyucikan ilmu pengetahuan. Ini diungkapkan oleh Ketut Wiana. Hari raya Galungan mengingatkan umat Hindu agar menjadikan hari itu momen untuk mengevaluasi upaya memelihara dan menerapkan ilmu agar terus berkembang dan teruji kemampuannya untuk digunakan menegakkan dharma. Karena, kalau ilmu tidak diterapkan akan menjadi racun. Setiap merayakan Galungan marilah kita amati kembali, sudahkan kita rayakan Galungan itu sesuai dengan tattwa yang ada dalam pustakanya. Tentu, dibolehkan peringatan galungan yang dirayakan secara meriah, tetapi tidak boleh menyimpang dari makna perayaan Galungan sendiri untuk memenangkan kehidupan berdasarkan dharma. Inti perayaan Galungan itu menghaturkan banten Tumpeng Galungan sebagai banten pokok. Tumpeng Galungan itu melambangkan keadaan bhuwana Agung ini sebagai wadah kehidupan yang aman damai dan sejahtera berdasarkan dharma. Keadaan bhuwana agung wadah kehidupan semua makhluk yang demikian itulah yang harus kita terus wujudkan dengan dasar memadukan penerapan ilmu pengetahuan. "Tidak ada sesuatu di dunia ini yang dapat menyamai kesucian ilmu pengetahuan (jnana). Mereka yang sempurna dalam yoga akan memenuhi dirinya sendiri dalam jiwanya pada waktunya" (Bhagavad Gita IV.38) (Balipost, 3/7) Berkenaan dengan akutnya peraktik korupsi, kolusi dan nepotisme di bumi Pertiwi usaha pengendalian diri harus menjadi berkah terdalam dari perayaan hari raya Galungan yang jatuh setiap hari Rabu Kliwon wuku Dungulan. Mari kita merenung secara bersama-sama ihwal menahan hawa nafsu, keserakahan dan menyebarkan kedamaian, kasih; "Hawa nafsu dan kebencian itu, berbeda pada indriya, sebaiknya jangan sampai seorangpun berada di bawah pengaruh kedua perasaan dan jalan kehidupan” (Bhagavad Gita III. 34); "Bagi yang punya disiplin terhadap indriyanya, bergerak diantara semua obyek panca indriyanya, tetapi tidak berpengaruh olehnya, malah menguasainya dengan Atmannya, ia menjalani kehidupân yang damai” (Bhagavad Gita II. 64); “Ia yang mampu bertahan di dunia ini dan merasakan kebebasan dan badan yang dikungkurig oleh nafsu dan merasakan kebebasan dan badan yang dikungkung oleh nafsu dan kemarahan dan malah bisa menyelaraskan keduanya itu, ia adalah orang yang bahagia sejati. Kedamaian yang abadi bersemayam pada mereka yang tahu siapa diri mereka, dan dapat bebas dan rasa nafsu dan marah, mereka bersifat damai dan berpikiran damai” (Bhagavad Gita V. 23 dan 26); “Pintu mereka ada tiga buah yang menyebabkan kehancuran diri, yaitu hawa nafsu, kebencian dan kelobhaan; hendaknya engkau (manusia) menghindari ketiga sifat ini” (Bhagavad Gita XVII.21) (WHD No. 500 Agustus 2008). Selamat Hari Raya Galungan 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H