Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Imlek dan Keharmonisan "Babah-Abah"

15 Februari 2010   02:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:55 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Diakui atau tidak, akulturasi antara etnis Tionghoa dan Sunda adalah kegairahan yang tak pernah usai. Itu karena kedua keturunan ini menyakini sekaligus mewujud pada sosok Sunan Gunung Djati. Apalagi, saat Syarif Hidayatullah (Ki Sunda) menikahi Putri Ong Tin Nio (China). Sungguh keharmonisan di antara kedua golongan ini tak terpisahkan lagi. Ini terlihat dari sajian makanan (Babah ke Abah) seperti capcay, somay (siomay). Kehadiran kain samping (sarung) dan ritual menabur bunga rampe setiap Jumat pun melekat pada kehidupan keturunan China di Parahyangan ini. Soeria Disastra, budayawan Tionghoa, mengakui, warga Tionghoa yang lahir dan besar di Bandung pada umumnya memiliki dua bahasa ibu (Tionghoa dan Sunda). "Kebudayaan Sunda dan Tionghoa saling memengaruhi." Kini, warga keturunan Tionghoa dapat hidup berdampingan dalam suasana aman, damai, dan toleran dengan urang Sunda kendati harus rela berdesak-desakan. Jejak Kehadiran Imlek 2561 yang jatuh pada 14 Februari 2010 diharapkan menjadi momentum awal dalam menjaga keharmonisan antaretnis sekaligus membangun kerukunan di Tatar Sunda ini. Paling tidak ada beberapa kedamaian yang telah mendarah daging pada aktivitas keseharian Tionghoa-Sunda, di antaranya pertama, pecinan atau perkampungan China. Menurut Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, sebagian warga Tionghoa di Pulau Jawa pindah ke Bandung saat meletus Perang Diponegoro (1825). Setiba di Bandung, mereka tinggal (menetap dan mencari nafkah) di Kampung Suniaraja dan Jalan Pecinan lama. Tahun 1885 mereka mulai menyebar ke Jalan Kelenteng. Tahun 1905 pecinan berkembang pesat di sekitar Pasar Baru. Kios jamu Babah Kuya milik Tan Sioe How di Jalan Belakang Pasar (1910) merupakan salah satu perintis toko (dagangan) di kawasan ini. Tahun 1914 mereka di Citepus. Pascatragedi Bandung Lautan Api (1946) warga Tionghoa mengungsi ke kawasan Tegallega, Kosambi, Sudirman, dan Cimindi. Ingat, setiap pecinan dipimpin oleh wijkmeester. Kawasan Suniaraja dipimpin Thung Pek Koey dan Citepus oleh Tan Nyim Coy. Setiap wijkmeester dipimpin seorang luitennant der chineeschen. Tan Djoen Liong adalah luitennant-nya urang Bandung (H Buning, 1914). Hingga kini daerah pecinan di Bandung semakin luas meliputi Jalan Pasar Baru, Jalan ABC, Jalan Banceuy, Jalan Gardu Jati, Jalan Cibadak, dan Jalan Pecinan. Kedua, Masjid Lautze 2 di Jalan Tamblong Nomor 27, Bandung. Keberadaan Masjid Lautze 2 ini tidak lepas dari peran Yayasan Haji Karim Oei (1991). Masjid Lautze 2 merupakan cabang dari Masjid Lautze 1 (Jakarta). Penamaan Yayasan Haji Karim Oei diambil dari seorang tokoh Islam keturunan China yang pernah menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu tahun 1930. Mengingat jumlah warga Muslim keturunan China di Kota Bandung cukup banyak, tetapi belum ada wadah untuk menyambung tali silaturahim di antara mereka, dibentuklah Sekretariat Yayasan Haji Karim Oei Bandung di sebuah bangunan bertingkat yang disewa lantai bawahnya semata. Kendati mengontrak, semangat menyambung tali silaturahim di di antara Muslim keturunan China tak menjadi halangan dalam memakmurkan Masjid Lautze 2 ini. Ketiga, kelenteng. Sekitar 00 kelenteng tersebar di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat. Wihara Satya Budhi (Yayasan Satya Budhi) di Jalan Kelenteng, Kota Bandung, merupakan kelenteng tertua dan terbesar di Bandung yang dibangun pada 1865 (Kompas, 15/01/09) Harus diakui, dari tempat ibadah ini terpancar sikap keterbukaan, toleransi, dan keragaman. Sebutan Tri Dharma (Tiga Ajaran Kebajikan) pun melekat pada tempat peribadatan Tionghoa sekaligus upaya memelihara dan menjunjung nilai-nilai ajaran yang telah disampaikan Kongzu, terlepas dari apakah mereka dikategoritan beragama Buddha, Tao, atau Konghucu. Yang jelas mereka keturunan Konzi dan harus memelihara sekaligus menyebarluaskan ajaran kebaikan dan kebijaksanaan tersebut. Keempat, barongsai. Me-nyunda-nya lion dance ini terlihat di Komunitas Barongsai Long Qing (baca: Lung Ching) di Gedung Winaya Sabha, Cibadak, Kota Bandung. Uniknya, kebanyakan dari mereka saat berlatih (Senin, Selasa, Rabu Jumat) justru bukan keturunan Tionghoa. "Sembilan puluh persen malahan orang Sunda," tutur Tan Siauw Gie. Meski terbuka dengan kultur dan kesenian lokal, barongsai tetap tidak kehilangan jati dirinya sebagai warisan budaya Tionghoa. Saat tampil, pemain wajib berpakaian khas mirip baju wushu. Ada juga kebiasaan pai atau hormat kepada penonton, ungkap penasihat Yayasan Sosial Priangan. Bandung Santo Club, komunitas dragon lion dance, merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Universitas Widyatama. "Ini adalah satu-satunya UKM barongsai-liong di Bandung," kata Andreas, Presidium Bandung Santo Club. Falsafah Keturunan Tionghoa masih meyakini Lima Kebajikan (wung chang), ren (cinta kasih), ie (kebenaran), li (kesusilaan), ce (kebijaksanaan), dan sin (dapat dipercaya) dapat menuntun hidupnya menjadi lebih baik, bijak, dan berbahagia. Soal hubungan sosial-budaya, Nabi Kongzi mengajarkan kepada pengikutnya untuk memegang ajaran wu lun; hubungan antara pemimpin-bawahan, suami-istri, orangtua-anak, kakak-adik, kawan-sahabat. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, di masyarakat Sunda dikenal ungkapan Pindah cai pindah tampian. Ki Sunda harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru, baik tempat tinggal maupun tempat pekerjaan. Itu tak lain supaya tidak mudah terseret pada pertengkaran dan agar disukai oleh lingkungan baru. Pun keturunan Babah, mereka kerap membumikan falsafah Tiocu, Jio Kang Sui Swan, Jip Koi Sui Nyak. Masuk ke sungai harus mengikuti adat yang berlaku di situ. Tentu, semboyan ini mirip dengan pemahaman Melayu: di mana bumi di pijak, di situ langit di jungjung. Dengan demikian, akulturasi Tionghoa dengan Sunda semakin kokoh. Apalagi, konfusianisme menekankan bahwa tata cara manusia harus sesuai dengan aturan alam. Menurut Fung Yu Lan (1952), seorang manusia dengan manusia lain harus mengikuti tata cara kehidupan yang telah dibangun oleh para orang bijak kuno sesuai dengan tata cara semesta. Ini merujuk kepada kutipan kitab Mengzu (Mengsusi), "Tinggal di dalam rumah besar dunia ini mempertahankan akan posisi yang betul dalam dunia dan mengikuti dao yang agung dari dunia ini." Sejatinya, pandangan dan pikiran yang mengarah pada perdamaian dan keharmonisan serta kekuatan cinta kasih selalu memberi simpati yang bermuara pada kebahagiaan. Tentu, seseorang yang mengembangkan dan menyebarluaskan sikap ini akan memberikan keteduhan hati dan kemuliaan diri. Inilah model keharmonisan, kesempurnaan, kesinambungan yang diajarkan Nabi Khongcu. Semoga keindahan dalam perbedaan mewujud di Sunda. Gong Xi Fa Cai. IBN GHIFARIE,  Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama [Arikel ini permah dimuat pada Forum Budaya Kompas Biro Jawa Barat Edidi 13 Februari 2010]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun