[caption id="attachment_109332" align="alignleft" width="214" caption="www.multiply.com"][/caption] “Hari sudah malam ukh,sholat witir dan lansung tidur dan jangan lupa berdo'a agar mimpi indah”...... akhwatnya bales lagi “Jazakallah akhi,akhi juga yaaah” (uhibbukum fillah, 2009)
-*I*- “Assalamualaikum ukhti,” Sapa sang ikhwan. “‘Wa’alikumsalam akhi,” Balas sang akhwat. “Subhanallah ukhti, ana kagum dengan kepribadian anti, seperti Sumayyah, seperti Khaulah binti azwar, bla bla bla bla…” puji ikhwan tersebut. Apakah berakhir sampai di sini? Oh no…. Rupanya yang ditemui ini juga akhwat genit, maka berlanjutlah obrolan tersebut, si ikhwan bertanya apakah si akhwat sudah punya calon, lantas si akhwat menjawab.
“Alangkah beruntungnya akhwat yang mendapatkan akhi kelak.” Sang ikhwan pun tidak mau kalah, balas memuji akhwat. “Subhanallah, sangat beruntung ikhwan yang mendapatkan bidadari dunia seperti anti.” (voice of al-islam, 10/10/2010)
-*II*- Ass. Antum sudah dimana? Ana di Kampus. Wss (10 Mei 2011 12:24:36 WIB) Semakin Akrab Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata-kata Ikhwan, Akhwat, Ana, Anta, Antum, Antuna, Akhi, Ukhti. Apalagi yang kuliah di Perguruan Tinggi Islam, seperti di UIN SGD Bandung acap kali kita dengar panggilan ini yang dikakukan aktivis intra kampus; Lembaga Dekwah Mahasiswa (LBM), dan Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ). Pun pada pegiat ekstra kampus; Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (Hima Persis), Himpunan Mahasiswi Persatuan Persis (Himi Persis), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Lembaga Studi Politik Islam (LSPI). Bila kita meruju kedalam bahasa Arab. Ikhwan (saudara laki-lakiku dalam bentuk jamak); Akhwat (saudari perempuanku dalam bentuk jamak); Ana (saya); Anta (kamu) Akhi (saudara laki-lakiku dalam bentuk tunggal); Ukhti (saudari perempuanku dalam bentuk tunggal); Antum (kalian untuk laki-laki); Antunna (kalian utnuk perempuan). Melampui Simbol Rasanya patut kita membaca hasil penelitian Martin van Bruinessen, asal Belanda khusus tentang sebutan ikhwan ini. Dalam penelitianya di perkampungan miskin di Bandung sempat mengamati bagaimana berbagai aliran agama mempunyai fungsi psikologis positif yang sangat nyata. Baik tarekat maupun sekte memnuhi kebutuhan akan komunitas dan memberi perlindungan sosial dan psikologis pada anggotanya, sehingga mereka tidak terisolir lagi. Penganut aliran-aliran ini nyata telah mampu mempertahankan harga diri dan nilai-nilai moral daripada orang lain. Juga berbagai tarekat dan aliran lain, para anggota saling memanggil ikwan dan itu bukan sebutan simbol saja; mereka memang sering bertindak sebagai saudara sesama anggota.
Pergaulan dan komunikasi antar para ikhwan tidak terbatas pada waktu sembahyang atau dikir saja; mereka sering mengunjungi di rumah dan saling menolong pekerjaan, misalnya mencari pekerjaan. Di dalam aliran-alira ini terdapat kontrol sosial yang kuat dan dorong kepada konformisme, tetapi juga saling sistem tolong menolong yang menjamin keamanan yang dibutuhkan.
Walaupun lingkungan mereka dinggap penuh bahaya, maksiat dan penipuan kepada sistem ihkwan mereka bisa dipercaya; di bawah perlindungan tarekat mereka merasa aman dari ancaman dan tantangan yang mereka alami di dunia sekitar. (Martin van Bruinesses, 1988:55-60 dan lihat Hasil penelitian Duit, Jodoh, Dukun; Remarks on Cultural change Among Poor Migrants to Bandung) Untuk kalangan mahasiswa, terutama yang berasal darikota kecil atau desa yang hidup di sebuah lingkungan kota yang serba baru dan aneh bagi mereka, kelompok-kelompok studi agama-agama memberikan perlindungan dan keamanan, temmpat mereka bisa merasa at home. Apalagi bila kelompok ini bisa memberikan mereka sebuah kerangka analisis masyarakat sekitar dan keyakinan mereka sebetulnya sebuah minoritas yang lebih baik, murni-suci, mempunyai misi menyebarkan kemurnian-kesuciannya. Perasaan minder yang sering dialami mendapat kompensasi dari keluarga baru mereka. Beberapa gerakan agama di kampus dapat dilihat sebagai gejala konflik budaya "Islam yang konsisten" melawan "sekulerisme yang bebas nilai" yang tak lepas dari perbedaan status sosial-ekonomi. Tidak mengherankan kalau di kalangan pemuda dan mahasiswa terjadi gerakan sempalan bersifat messionaris-revolusioner yang ingin merambah tatanan masyarakat atau negara (kasus Jamaah Imran) tapi itu tidak berarti semua anggota punya aspirasi revolusioner. (Jurnal ulumul Quran, Volume III No 1 Th 1992: 25-26) Perekat Solidaritas Melihat eratnya solidaritas dikalangan mereka sungguh membenarkan apa yang diagunggan Durkheim kehadiran agama sebagai perekat solidaritas sosial. Sejatinya, fungsi ini yang harus dimainkan agama bagi Durkheim bisa menjebatani ketegangan dan menghasilkan solidaritas sosial, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada tantangan yang mengancam kelangsungan kehidupan baik dari suku lain, orang-orang yang menyimpang, pemberontak dari suku sendiri, maupun bencana alam. (Peter Connolly [ed], 2002:271) Meskipun ada yang tidak sepakat dengan panggilan itu, seperti yang diutarakan Rifki, aktivis Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung menuturkan "Ya tidak usah bangga dengan cara dipanggil ikhwan, akhwat, antum karena kita hidup bukan di negeri Arab, tetapi di Bandung," komentarnya "Jalau pun mau dan kita harus bangga memanggil saudaranya dengan sebutan dulur, karena kita hidup di lingkungan Sunda," pungkasnya [Ibn GHifarie]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H