Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Gus Dur Diantara Pluralisme dan Pluralitas

15 Januari 2010   03:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:27 3163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Kami tidak sependapat jika Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme, seperti diungkapkan Presiden di Jombang beberapa waktu lalu karena dapat menimbulkan konflik agama," kata Ketua MUI Jatim K.H. Abdusshomad Buchori di Surabaya, Rabu (13/1). Ia menilai, pluralisme adalah faham pencampuradukan beberapa ajaran agama sehingga sangat berbahaya terhadap kehidupan beragama di Indonesia. "Ada dua hal yang membahayakan hubungan umat beragama di Indonesia, yakni radikalisme agama dan pluralisme agama," katanya dalam sidang Badan Pembina Pahlawan Daerah Jatim untuk membahas pengusulan Gus Dur sebagai pahlawan nasional. Shomad menyatakan, sejak Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme, MUI Jatim kebanjiran surat protes dari berbagai kalangan. "Yang benar adalah pluralitas, bukan pluralisme. Pluralitas adalah upaya untuk mensejajarkan beberapa agama. Ini harus dicermati agar tidak memicu konflik karena adanya pelanggaran akidah," katanya mengingatkan. (hidayatullah/alhikmahonline) Penafsiran Memang keberatan MUI mengakui Gus Dur sebagai "Bapak Pluralisme" bukan barang baru. Pasalnya,  MUI perhan mengaluarkan surat Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indoneisa Nomor:7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama Konon, kemunculan fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya. MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti "Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". (Adian Husaini, 2005;2-3) Adian Husaini menilai pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI itu, justru tidak jauh berbeda dengan pemahaman para tokoh pluralis, sebagaimana dirangkum oleh Adian Husaini berikut ini; Ulil Abshar Abdalla: Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar; Budhy Munawar Rahman: Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman--tanpa harus melihat agamanya apa- adalah sama di hadapan Allah; Abdul Munir Mulkhan: Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya; Nurcholish Madjid: Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama; Alwi Shihab: Prinsip lain yang digariskan oleh Al-Qur’an, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya; Sukidi: Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya ”Kebenaran Tunggal” dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama –entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama; Sumanto Al-Qurtuby: Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang Mahaluas, disana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain; Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nuwas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir! (Adian Husaini, 2005; 38-40) Anis Malik Thoha, dalam makalah “Menengarai Implikasi Faham Pluralisme Agama” menjelaskan bahwa Professor John Hick, seorang teolog dan filosof Kristen Kontemporer, memberikan definisi pluralisme agama sebagai berikut: Pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly taking place ¬ and taking place, so far as human observation can tell, to much the same extent (John Hick dalam Problems of Religious Pluralism). Pluralisme, menurut John Hick, adalah pandangan bahwa agama-agama besar memiliki persepsi dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama. Dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha menuliskan, dengan kata lain Hick ingin menegaskan bahwa semua agama sejatinya merupakan tampilan-tampilan dari realitas yang satu. Semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas transenden yang satu dan sama, dan dengan demikian, semuanya merupakan “authentic manifestations of the Real.” Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama yang berhak mengklaim diri “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan). Franz Magnis Suseno menuturkan pluralisme: suatu implikasi dari sikap toleran: kesediaan untuk menerima dengan baik kenyataan pluralitas agama-agama, artinya kenyataan bahwa dalam satu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama yang berbeda. Pluralisme sama sekali tidak menuntut agar semua–keyakinan itu dianggap benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran. Melainkan pluralisme itu sikap keterbukaan. Yasraf Amir Piliang bekometar pluralisme adalah kecenderungan atau pandangan yang menghargai kemajemukan (pluralitas), serta penghormatan terhadap sang lain (the others) yang berbeda-beda dan beraneka warna, yang membuka diri terhadap keyakinan-keyakinan berbeda tersebut, serta yang melibatkan diri secara aktif di dalam sebuah proses dialog di dalamnya, dalam rangka mencari persamaan-persamaan (common belief) sambil tetap menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Bagi Syafii Anwar, Direktur Eksekutif International Center for Islam and Pluralism (ICIP) menulis: ”Karenanya, saya berpendapat bahwa pluralisme agama bukan sinkretisme agama yang punya tendensi ke arah relativisme yang mengarah pada penyamaan dan pembenaran semua agama.” Juga dikatakannya, “Mereka yang concern dengan pluralisme yang benar tidak pernah merelatifkan ajaran agama masing-masing. Mereka tentu mempercayai kebenaran agamanya sendiri.” (Majalah AL-WASATHIYYAH Edisi No 11/2008) Karen Armstrong menilai pluralisme bisa menjadi jawaban atas agama di abad ke-21. Pluralisme mengimplikasikan pembentukan iman secara kuat pada seseorang sementara pada saat yang sama mempelajari dan menghargai jalan orang yang memiliki keyakinan lain, dan memahami bagaimana mereka ingin dipahami. (Nadi, vol. 03, th. 2007) Menurut Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kali Jaga berpendapat Pluralisme agama adalah kenyataan otentik kehidupan dan tiap orang selalu munyikapi kenyataan ini menurut pandanganya sendiri-sendiri, sesuai dengan konfogurasi budaya, agama dan tradisi yang melatarbelakanginya. Di indonesia, keanekaragaman (pluralitas) agama, termasuk keanekaragaman paham keagamaan dalam tubuh internal umat beragama adalah kenyataan historis yang tidak dapat disangkal siapapun. (Aba Du Wahid, 2004:VIII) Dimata Bejo. SE, Pluralisme (agama) bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama, kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda. Selanjutnya, dalam tulisan ini, setiap kali kita menyebut pluralisme agama, yang dimaksudkan adalah pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi ini. Pluralis sendiri menurut wikipedia dapat diartikan Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan). Jalaluddin Rahmat, Ia ingin memperlihatkan bahwa pluralisme, berdasarkan dasar teologis Alquran, bukan faham penyamarataan yang menjelaskan semua kelompok agama benar, atau semua kelompok agama sama. Ada ayat-ayat yang menegaskan bahawa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh (al-Baqarah: 62, al-Maidah: 69, dan al-Hajj: 17). (Jalaludin Rahmat, 2006;23) Alwi Shihab pluralisme harus dibedakan dari; Petama, pluralisme tidak semata menunjuan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pluralisme agama adalah bahwa tiap pemluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercipanya kerukunan, dalam kebinekaan. Kedua, plualisme harus dibedakan dengan kosmpolitanisme. Kosmopolitanisme menunjukan kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adlah cosmopolitan. Di kota ini terdapat agama Yahudi, Kristen, muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang tanpa agama selakipun. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan elativisme. Seorang relativis akan berasumsi hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakat. Keempat, pluralisme agama bukanlah singkretis, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsure-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. (Islam Inklusif;2001:41-42) Keharusan Diakui atau tidak Indonesia merupakan negara majamuk. Saat John Rawls melihat kemajemukan sebatas fakta, Gus Dur memahaminya sebagai keharusan seperti ditulis Benyamin F Intan, Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion & Society Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Gus Dur cenderung memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah Wolfgang Huber, ethic of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat perbedaan sebagai pemberian. Ethic of interest memandangnya sebatas pilihan. Ihwal keragaman agama, pluralisme normatif mengharuskan Gus Dur menolak pluralisme indifferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola pikir yang mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai keunikan beragama. Hans Kung menyebutnya pluralisme ”murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas. Gus Dur menghargai pluralisme nonindifferent yang mengakui dan menghormati keberagaman agama. Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama lainnya. Karena perbedaan adalah rahmat, Gus Dur optimistis keberagaman akan membawa kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa. Ia menegaskan saat diwawancarai untuk penyusunan disertasi penulis di Boston College, Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai universal—kebebasan, keadilan, dan musyawarah—untuk menghadirkan pluralisme sebagai agen pemaslahatan bangsa. (Kompas, 7/1) Ingat, pemahaman yang didasarkan kesadaran kemajemukan secara sosial-budaya-religi yang tidak mungkin ditolak inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai pluralisme. Yaitu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untk melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa kebaikan dan kemaslahatan. (Nurcholis Madjid, 1995;52-67 ) Dengan demikian, Pluralisme merupakan kesadaran tentang koeksistensi yang absah dari sistem keagamaan, pemikiran, kehidupan sosial dan tindakan-tindakan yang dihakimi tidak kompatibel. Pluralisme keagamaan mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagaman, harus dapat hidup berdampingan. Persoalan pluralisme muncul ketika suatu tradisi tertentu mendominasi masyarakat, menafikan legitimasi aliran yang lain dan menganggapnya sebagai fenomena sektarian. Kiranya, melestarikan sekaligus memperjuangkan kebebasan beragama merupakan penghargaan terbesar baginya, daripada hanya penganugerahan gelar pahlawan nasional semata. Pasalnya, Gus Dur berpesan sebelum meninggal ”Saya ingin di kuburan saya ada tulisan: Di sinilah dikubur seorang pluralis” (Kompas, 3/1). [Ibn Ghifarie] IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun