Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beragama Ala Pelacur

23 Desember 2010   18:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:27 1759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1293127807363183372

Pelacur identik dengan dunia prostitusi. Stigma negatif (jiji, kotor, jorok, sampah, jahat, amoral) pun melekat pada diri wanita tunasusila. Sebagaimana diungkapkan oleh Augustinus dari Hippo (354-430),  seorang bapak gereja pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya" Satu sisi dicaci, dimaki, dicibir yang seakan-akan tidak dibutuhkan, tapi dilain urusan pekerja seks komersial (PSK) ini dibutuhkan (evil necessity). Pasalnya, kehadiran pelacuran bisa memberikan kepuasan birahi bagi yang membutuhkan dan tanpa adanya penyaluran nafsu seksual dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang sekaligus memperkosa kaum perempuan baik-baik. Tingginya angka pekerja seks menunjukan kebutuhan akan kepuasan semakin meningkat, seperti dilansir Program Internasional. Penghapusan Pekerja Anak (ILO-IPEC) melalui kajian cepat. (13/5/07 ) Untuk tahun 2007 diperkirakan jumlah PSK di bawah 18 tahun sekitar 1.244 anak di Jakarta; Bandung 2.511; Yogyakarta 520; Surabaya 4.990; dan Semarang 1.623. Namun jumlah ini dapat naik menjadi beberapa kali lipat lebih besar mengingat banyaknya penjaja hasrat yang mangkal di tempat-tempat tersembunyi, ilegal dan tidak terdata. Pemasoknya berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, sumatera Barat, Suamtera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara untuk Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan,  Riau, Batam, Ambon, Manado, Makasar, dan Jayapura. Hingga diperdagangkan ke Singapura, Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dan Jepang. (www.topix.com 13/02/2008) Parahnya, profesi wanita penjaja seks (WPS) ini telah merambah dunia pelajar. Mari kita lihat hasil penemuan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)-Mitra Citra Remaja (MCR) Kota Tasikmalaya mencatat ada seratus pelajar. Hasil surveinya cukup mencengangkan. Di Kota Santri awal tahun 2010 disebutkan dari sekitar 450 warga  disinyalir menjadi PSK yang berusia 15-29. Dari jumlah itu ternyata 100 PSK masih usia remaja dengan kategori 30 persen adalah pelajar. Juga dicatat dari hasil survei nasional  enam ratus WPS beroperasi di Tasikmalaya. Iwan Riswan, Program Manajer PKBI-Mitra Citra Remaja (MCR) Kota Tasikmalaya menjelaskan berdasarkan hasil survei kecil, dari 60 pelajar SMA, tercatat 80 persen mereka melakukan hubungan seks sewaktu masih duduk di bangku SMP. (Pikiran Rakyat, 22/09/2010) Dramaturgi Harus diakui, menjaburnya pelacuran dimana-mana tak sekadar menunjukkan adanya pola relasi gender yang timpang, mesin pengeruk uang, dan kelompok sosial yang selalu mendapat cacian dan hujatan. Namun, penjual jasa seks ini memiliki dimensi kemanusiaan yang perlu diperhatikan dengan cara empati agar kita tidak terjebak dengan ikut-ikutan mengumpat dan menghujat mereka. Pasalnya, pelacur juga manusia yang memiliki spiritualitas dan bahasa tersendiri dalam mengapresiasi dan berdialog dengan Tuhannya. Ikhtiar untuk merumuskan kesadaran baru Ini digagas oleh Nur Syam melalui buku Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental (2010).  Melacur merupakan sebuah keterpaksaan struktural yang terlanjur menjadi “pilihan”. Profesi ini bukanlah pilihan merdeka yang menyamankan. Keterbatasan akses ekonomi menjadi dalih utama untuk mencebur di  dalamnya. Dunia pelacuran berhadap-hadapan dengan struktur-sistemik: Negara. Pelacur adalah korban dari relasi kekuasaan yang timpang, terpinggirkan dari keterjaminan sosial-ekonomi hingga dengan terpaksa menjual tubuhnya. Era kapitalisme memanfaatkan tubuh perempuan sebagai komoditas, sehingga pelacur tidak lebih hanyalah “buruh-budak” yang diperas untuk membubungkan keuntungan ekonomis. Menurut Musyafak Timur Banua,  pengelola Open Mind Community Semarang menjelaskan, diperlu kesadaran baru dalam memahami pelacuran. Mengingat pelacuran adalah sebuah dramaturgi yang musti ditilik dari pelbagai sisi demi memungkinkan pemahaman nostereotipikal-stigmatif yang tidak makin merugikan pelacur. Pun PSK merupakan realitas yang relatif, sehingga penghakiman biner secara benar-salah menjadi kurang memadai. Maha karya Nur Syam ini lahir dari kajian sosiologis tentang dunia pelacur yang mengambil latar metropolitan Surabaya seperti Lokalisasi Dolly, Jagir Wonokromo, Moroseneng, Bangunsari, Bangunrejo dan  Kremil. Penemuan ini hendak menekankan fakta spiritualitas dan keberagamaan para pelacur, seraya menepis anggapan masyarakat pelacuran adalah wilayah yang jauh, bahkan terceraikan, dari Tuhan. Erving Goffman, sosiolog asal Canada, mengembangkan teori dramaturgi untuk menyingkap interaksi simbolik individu dan masyarakat. Goffman merumuskan subyek sebagai ketegangan antara “I” dan “Me”, yakni ketidaksesuaian antara “diri manusiawi” dengan “diri hasil sosialisasi”. Perbedaan antara apa yang kita lakukan dengan apa yang diharapkan orang lain secara terus-menerus menggandakan ketegangan diri. Pada itu, subyek memiliki pilihan untuk bertindak di panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Di panggung depan, pelacur tampak tidak mempersoalkan urusan moral, agama, maupun Tuhan. Sebab panggung depan itu memang tidak ramah untuk kehadiran Tuhan, apalagi mengekspresikan keberagamaan. Namun, panggung belakang bisa jadi adalah antitesis dari semua itu. Ibarat ruang ganti yang tidak boleh diintip oleh siapa saja, di panggung belakang itu pelacur berusaha menemui dirinya sendiri: merefleksikan kehendak diri dan keinginan pelanggan. Uniknya diantara dua panggung itu sebenarnya ada ruang ketiga, sebuah ruang residual yang memungkinkan pelacur menjadi dirinya sendiri. Di ruang residual itulah Tuhan hadir. Nama Tuhan masih kerap didaras, meski lirih dan sayup, di bilik-bilik pelacuran di waktu senggang. Tuhan hadir dalam bentuk yang subjektif dan impersonal. Spiritualitas dan keberagamaan pelacur sudah lepas dari simbol-simbol normatif agama seperti masjid, gereja, kuil. Tuhan diperam dalam jiwanya sendiri sehingga tertutup kemungkinan bagi orang lain untuk memahaminya. Tuhan lebih kerap hadir di dalam diri pelacur seolah bayangannya sendiri yang hitam. Semacam perasaan dina dan rasa dikejar-kejar dosa. Di sisi lain, Tuhan juga hadir membawa kedamaian dan rasa aman: pelacur mengimani Tuhan sebagai dzat Mahakasih yang selalu bisa mengampuni dosa-dosanya. Kiranya, dunia pelacuran yang kasat mata adalah dunia anonim. Pelacur tidak hadir dengan dirinya, melainkan berperan sesuai tuntutan yang tidak semata-mata keinginan diri sendiri. Tuhan lebih tahu segalanya. (Jawa Pos 05/12/2010) Bagi Habib Mustofa, penelitian yang dilakukan deskripsi mendalam tentang keberagamaan pelacur yang penuh dengan aktifitas dengan “kekhususan” penghayatan terhadap agama dalam diri pelacur. Ini tidak hanya dapat didekati dengan melihat gejalanya secara riil, tetapi harus diteliti sampai pada aspek kesadaran internal dalam diri pelacur yang disebut dengan “realitas tidak tampak”. Maka kekuatan metodologis riset ini berada pada in depth interview dan observasi langsung yang dilakukan pada tiga lokasi pelacuran di Surabaya (Jagir, Moroseneng dan Dolly) dengan beberapa pelacur sebagai subyek penelitiannya saat membedah buku  Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental karya Nur Syam di IAIN Sunan Ampel dalam meringatan hari ibu, Rabu (22/12) Pelacur adalah entitas termaljinalkan dalam komunitas sosial yang heterogen; Profesi yang dianggap “salah” karena mengeksploitasi “sesuatu” yang tabu untuk diperjual-belikan secara ekonomis; Penyakit sosial yang bagaimanapun juga harus dihilangkan dari peradaban suci dari kemanusiaan; Lembaran hitam dari sejarah umat manusia karena bergelimang dosa dan kemaksiatan dalam pandangan agama. Seksualitas adalah tema terpenting ketika membahas pelacuran. Ada empat tipologi perspektif yang mengkaji tentang seksualitas. Pertama, Dari sisi agama dan moralitas. Kedua, Kajian seksualitas dari perspektif gender dan kebudayaan. Ketiga, Seksualitas dipandang dari sudut pandang gender dan penyimpangan perilaku manusia. Keempat, Seksualitas dikaji dari perspektif konstruksi sosial. Kumpulan penelitian ini bukan ditulis untuk membenarkan eksistensi pelacuran. Namun ingin mengisi “ruang kosong” dari khazanah riset tentang “religiusitas pelacur”. Berangkat dengan jastifikasi ini, yang ingin ungkap adalah jawaban dari pertanyaan; Partama, Bagaimana sebenarnya keberagamaan dari pelacur, dengan kehidupan sosial yang mengitarinya; Kedua, Apakah pengalaman serta tekanan struktural serta kebudayaan ikut mempengaruhi pola keberagamaan pelacur tersebut. Secara teoritis, fenomena pelacuran di Surabaya dikaji dalam pandangan Dramaturgis dengan menggunakan asumsi dasarnya dunia ini adalah sebuah panggung sandiwara dimana tiap aktor atau agen sosial menjadi lakon dengan peran yang mereka mainkan. Sebagai pengamat dalam kehidupan sosial, sering kali manusia dengan fungsi sosial yang secara umum dianggap baik, akan selalu mendapat kategorisasi sebagai pihak yang selalu dekat dengan kebaikan. Sebaliknya, peran manusia yang mewakili keburukan, akan selalu mendapatkan prediket jahat. Padahal, dalam pandangan dramaturgis, tiap manusia memiliki front stage (panggung depan) yang sengaja menjadi tempat menjalankan fungsinya sebagai aktor sosial dan back stage (panggung belakang) yang menjadi tempat berjalannya “skenario pementasan”. Front stage inilah yang tiap hari ditampakkan dalam kehidupan, sedangkan back stage sama sekali tidak akan tampak dalam realitas. Pada front stage, seorang aktor akan diiringi oleh setting, yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika ia tampil dan front personal, yaitu berbagai macam perlengkapan yang mewakili identitas peran yang dimainkannya. Front personal seorang aktor akan memuat “penampilan”, yaitu berbagai jenis barang yang mengenalkan status sosial aktor dan “gaya”, yaitu klasifikasi peran tertentu yang harus dimainkan oleh seorang aktor. Namun, persoalannya bukan hanya terletak pada eksistensi peran baik atau buruk itu sendiri, tapi bagaimana kemudian para aktor menjalankan perannya dengan penampilan dan gaya yang mereka pilih sendiri. Pada saat menjalankan perannya inilah tiap aktor akan berusaha menampilkan kondisi ideal sesuai dengan fungsi dramaturgisnya di depan umum dan menyembunyikan keburukannya. Paling tidak, karya ini mengungkap dua persoalan utama; Pertama, Fenomena pelacur tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang hitam-putih berdasarkan simbol-simbol yang ditampakkannya karena jauh dibalik kehidupan luarnya, para pelacur juga memiliki kebutuhan akan keyakinan terhadap Tuhan. Kedua, Tekanan ekonomi, struktur dan sosial dapat menentukan bentuk keberagamaan dari pelacur dalam kehidupannya. Tidak ada pelacur yang ingin lahir sebagai pelacur, dorongan ekonomi, diskriminasi gender dan struktur yang kemudian mengantar mereka pada pekerjaan tersebut. Upaya pengentasan pelacuran harus tetap dijalankan dalam koridor kemanusiaan karena pelacur juga manusia. Dengan kata lain, diperlukan solusi cerdas untuk mengentas para pelacur dari dunianya, seiring dengan tindakan  preventif agar tidak ada “kaderisasi” bagi para pelacur, baik secara struktural maupun sosial-ekonomis. (IAIN Sunan Ampel, 22/12) Beragama Menilik ketidakditerimaan pelacur. Justru agama memberikan ruang terbuka atas kepanatan ini. Alkisah, tentang Rahab, seorang pelacur bangsa Yerikho yang menyelamatkan dua orang mata-mata yang dikirim Yosua untuk mengintai kekuatan Yerikho (Yosua 2:1-14). Walhasil, Rahab dianggap sebagai pahlawan, dan karena itu ia diselamatkan sementara seluruh kota Yerikho hancur ketika diserang oleh tentara Israel yang dipimpin oleh Yosua. "Demikianlah Rahab, perempuan sundal itu dan keluarganya serta semua orang yang bersama-sama dengan dia dibiarkan hidup oleh Yosua. Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel sampai sekarang, karena ia telah menyembunyikan orang suruhan yang disuruh Yosua mengintai Yerikho." (Yosua 6:25). Kedekatan Yesus terhadap orang-orang yang disingkirkan oleh masyarakat seperti para pelacur, pemungut cukai merupakan cara lain untuk menuju kerajaan Allah. Ini melukiskan dalam injil Matius; "Kata Yesus kepada mereka: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah'." (Matius 21:31) Sosok Maria Magdalena, salah seorang pengikut dan murid Yesus, seringkali digambarkan sebagai seorang pelacur yang diampuni Yesus (Lukas 8:2). Meskipun masih diperdebatkan. Ajaran islam menghargai keberadaan pezina dengan melakukan perbuatan baik diakhir hidupnya. “Suatu hari yang sangat panas seorang wanita pelacur melihat seekor anjing. Anjing itu tengah mengelilingi sebuah sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan, maka wanita mencopot sepatunya dan memberi minum anjing tersebut. Allah pun kemudian mengampuni dosa-dosa pelacur itu” (HR.Bukhari). Keikhlasan, kesunggung-sungguhan beragama dan semangat menjalankan kehidupan menjadi modal utama mencapai Tuhan. Haruskah kita terus mencibir cara berkeyakinan seorang pelacur?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun