[caption id="attachment_103104" align="alignleft" width="300" caption="www.kompasiana.com"][/caption] Bila kita mencermati maraknya aksi terorisme di Indonesia dengan cara bom bunuh diri melalui bingkisan, mobil, rompi, senter, rangser, sepeda, buku sejak tahun 2000, maka aksi brutal mereka kerap ditujukan terhadap segala bentuk antek-antek Amerika dan kaum kristiani. Namun, apa yang terjadi di Masjid Ad dzikra, kompleks Mapolresta Cirebon pada saat jumatan berlangsung, Jumat (15/04) dengan pelaku M Syarip tak dapat dikategorikan sebagai bentuk perlawanan terhadap sekutu tidak berlaku lagi. Modus Baru Ini diungkapkan oleh Noor Huda Ismail, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian menjelaskan peristiwa bom bunuh diri di dalam masjid di kompeks Polresta Cirebon menunjukkan bahwa aksi ini adalah modus baru dan gerakan kelompok ini mengalami disorientasi target. Sebenarnya polisi bukan target utama kelompok ini. Polisi hanya dijadikan sasaran karena mereka menghalangi target utama, yaitu musuh kepentingan Amerika dan kaum kristiani, utamanya di wilayah konflik di Ambon dan Poso. Generasi terakhir yang mengalami amnesia sejarah gerakan kelompok ini hanya tahu bahwa polisi adalah musuh. Padahal awal gerakan kelompok ini di Indonesia adalah melawan umat kristiani (Poso dan Ambon) serta menghancurkan kepentingan Amerika seperti terlihat dalam beberapa rentetan bom-bom di tanah air selama 11 tahun belakangan ini. Kasus penyerangan posko Brimob di Loki, Ambon pada tahun 2005 oleh kelompok Dahlan (Asep Djaja) adalah di luar tugas Dahlan oleh kelompok ini. Ia dikirim ke Ambon untuk merawat peralatan senjata yang kelompok ini miliki dan tidak melakukan tindakan ofensif. Karena muncul kombatan dari Poso sajalah, Dahlan ikut dalam penyerangan. Padahal dulu pada waktu konflik, kelompok ini selalu melobi aparat 'face to face' untuk masuk daerah obet (wilayah Kristen). Aparat bertindak sebagai wasit. Kelompok ini sadar kalau menyerang aparat berarti musuh mereka menjadi dua, yaitu umat kristiani dan aparat itu sendiri. Kejadian di Tanah Runtuh, Poso, sebenarnya sebagian dari kelompok ini sudah meminta kawan-kawan mereka di Poso untuk meninggalkan Tanah Runtuh untuk memilih menjadi DPO. "Jangan pernah melawan aparat secara 'face to face", itu doktrin mereka waktu itu. Sebagian dari kelompok ini sadar bahwa 'Qoidah Aminah' (wilayah aman untuk penerapan syariah) susah diterapkan di Indonesia, baik di Poso maupun Ambon dan Aceh, karena masih dalam wilayah Indonesia. Konsekwensinya, mereka pasti berhadapan dengan aparat yang secara de facto kekuatan mereka jauh di atas kelompok ini. Dalam pandangan saya, aksi bunuh diri ini bukanlah keputusan organisasi tertentu, namun lebih dari aksi 'sekelompok orang' (bunch of guys) yang mempunyai visi yang sama. Sulit dibayangkan bahwa aksi ini dilakukan secara mandiri, karena diperlukan orang lain yang merakit bom dan memasangkannya. (detikNews, 18/04) Balas Dendam Menurut pengamat intelijen, Wawan Purwanto, dalam aksi itu terlihat unsur balas dendam. Mengapa? Karena, yang menjadi sasaran atau target lebih jelas, yaitu aparat kepolisian di lingkungan markas polresta. Aparat kepolisian—yang selama ini bersusah payah menindak aksi-aksi terorisme—menurut Wawan, dinilai oleh kelompok radikal atau teroris sebagai pihak yang dapat menghalangi atau menghambat aksi-aksi mereka. Aparat kepolisian yang menjadi target sebenarnya sudah dapat terbaca dengan adanya aksi-aksi sebelumnya, misalnya saat perampokan Bank CIMB Niaga, Medan. Aparat Brimob yang dianggap dapat menghalangi aksi fa’i (perampasan harta benda milik orang yang diyakini sah dilakukan dalam kondisi perang) pun menjadi sasaran. Lalu, terjadilah penyerangan kantor Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara. Aksi terorisme dengan cara bom bunuh diri tidak terlepas dari ideologi atau ajaran terorisme yang diindoktrinasikan. Akibatnya, muncul kelompok atau kader-kader muda yang memiliki tingkat militansi dan mampu menjadi eksekutor, yaitu pelaku bom bunuh diri. Ia menilai, aksi bom bunuh diri di masjid di lingkungan Mapolresta Cirebon tidak terlepas dari kondisi sebelumnya. ”Memang kasus itu perlu penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut. Namun, kasus itu tentu ada kaitannya dengan kondisi sebelumnya,” katanya. Aksi bom bunuh diri itu diduga terkait dengan kelompok-kelompok radikal yang pernah direkrut tersangka kasus terorisme, Nurdin M Top yang tewas ditembak aparat. Namun, ajaran-ajaran Nurdin M Top mengalir kepada kader-kader muda yang sempat direkrut. (Kompas, 18/04) Diakui atau tidak pergeseran target aksi bom bunuh diri dari anti Sekutu ke Serdadu merupakan strategi baru dalam menumpas perbautan yang dianggap lalim dan jauh dari keislaman oleh kelompok radikal ini. [Ibn Ghifarie]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H