Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haji, Titik Nol dan Kepasrahan

10 Juni 2024   11:28 Diperbarui: 10 Juni 2024   12:34 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bila dalam menjalankan hidup ini kita kuat memang teguh prinsip; segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya; setiap melakukan perbuatan baik itu harus dengan ilmu dan cara-cara yang terpuji, niscaya tidak ada lagi perilaku lalim yang dilakukan sebagian kaum muslim untuk menjalankan ibadah haji ke tanah suci dengan cara ilegal, menggunakan visa ziarah, bukan visa haji.

Akibat tidak sabar mengantri panggilan haji sambil mempersiapkan diri untuk tunduk, pasrah dalam menjalankan ibadah rukun Islam yang kelima dan terpesona dengan paket promosi yang ditawarkan SJ, SY dan MA untuk mendapatkan tasreh haji yang masing-masing membayar 4.600 riyal, cita-cita 34 jemaah dalam menjalankan ibadah ke Tanah Suci itu harus rela dideportasi, hingga dipulangkan (batal) guna menenuhi panggilan Allah swt.

Ritual ibadah haji, seperti sai, jumroh, tawaf, wukuf dan lain sebagainya merupakan napak tilas perjuangan nabi Ibrahim dan keluarganya. Ini melambangkan keteduhan dan kepasrahan diri secara total kepada Allah Swt atau manusia di titik nol. Karena itu, pelaksanaan ibadah haji yang mengulangi apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim dan keluarganya merupakan perjalanan rohani yang mengantarkan manusia menuju ke titik nol, yaitu titik ketundukan dan kepasrahan secara mendalam kepada Allah Swt. (Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2010 : 46)

Ahmad Tafsir, guru besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung menjelaskan haji adalah amal yang terlebih sulit dipahami, maka ibdah haji merupakan amalan seseorang yang tertinggi derajat kehormatannya.

Haji itu kepasrahan. Sifat ini sudah ada pada saat puasa. Dengan begitu, haji adalah pembisaan jiwa untuk melakukan sejumlah nilai-nilai, kepasrahan dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. Orang yang pasrah dan menyerah akan melakukan apa saja yang disuruh oleh penguasa yang ia pasrah padanya. Ia paham atau tidak paham terhadap segala perintah, suruhannya.

Untuk itu, ibadah haji tidak lagi menuntut pemahaman, melainkan kepasrahan. Karena segala bentuk kepasrahan itulah yang pada akhirnya menjadi petanda keberimanan seseorang. Pada haji ada pembuktiaan syahadat, shalat, zakat dan puasa. Dengan demikian, kepasrahan itulah yang akan berdampak pada penyucian jiwa. (Ahmad Tafsir, 2012 : 80)

Tempat yang paling layak untuk dijadikan tujuan ibadah haji adalah Baitullah (Kabah) yang "di dalamnya terdapat tanda-tanda (Allah) yang jelas." Nabi Ibrahim, yang kebaikannya telah diksaksikan oleh kebanyak bangsa manusia, membangun tempat itu atas perintah Allah dan wahyu-Nya, sesuah tanah (di sana) sepi dan tidak dihuni.

Jika dilihat dari segi penyucian jiwa, bisa dikatakan bahwa mengunjungi sebuah tempat yang orang-orang saleh tak henti-hentinya mengagungkan, mengunjungi dan memakmurkannya dengan berzikir kepada Allah, sesungguhnya akan menarik perhatian para malaikat yang di bawah (kepada seseorang) dan kepadanya akan terah doa-doa universal yang dipanjatkan oleh dewan malaikat tertinggi untuk para ahli kebaikan. Jadi, jika ia berdiri di sana, maka warna para malaikat akan menguasai jiwanya.

Melihat tanda-tanda Allah dan mengagungkannya merupakan salah satu cara mengingatnya. Jika tanda-tanda itu terlihat, maka Allah pun akan diingat, seperti halnya melihat sesuatu yang menyebabkan pikiran kita ingat kepada segala sesuatu yang berkaitan dengannya.

Secara khusus akan terjadi ketika seseorang menjalankan sikap-sikap pengagungan, mempati berbagai pembatasan, dan aturan-aturan yang memperingatkan jiwa dengan keras (yakni aturan-aturan haji). Kadang-kadang seseorang sangat merindukan Allah, sehingga ia memerlukan sesuatu untuk memuaskan rasa rindunya itu dan kerinduan itu hanya bisa dipenuhi dengan melakukan ibadah haji. (Syah Waliyullah al-Dihwali [661-728 H], 2005 : 322)

Dengan demikian, haji merupakan momentum yang tepat untuk belajar arti pentingnya tunduk, patuh, pasrah, berserah diri, sehingga mendapatkan derajat penyucian diri sebagai puncak dari ketaqwaan yang tercermin dalam sebutan haji mabrur. Semoga. (Ibn Ghifarie)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun