Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menebar Perdamaian, Meraih Kebahagiaan

17 Mei 2011   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:33 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_110090" align="alignleft" width="300" caption="www.allvacationplace.com"][/caption] Di tengah-tengah melemahnya penegakan hukum, memudarnya falsafah pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa, bernegara dan maraknya gerakan fundamentalisme, radikalisme, terorisme, aksi bom bunuh diri, cuci otak NII (Negara Islam Indonesia) merupakan petanda ketidakberdayaan, kecemasan pribadi maupun kelompok dalam menghadapi segala persoalan keindonesiaan, kebangsaan dan keislaman yang tak kunjung selesai. Mampukah kehadiran Waisak (2555 BE) yang jatuh pada tanggal 17 Mei 2011 ini tidak hanya sekedar merayakan Tri Suci Waisak Puja (kelahiran, pencapaian penerangan sempurna, dan parinirwana; meninggal dunia), tapi harus menebar sikap perdamaian, antikekerasan dan meraih kebahagiaan yang terpancar dari sosok Sang Agung Buddha supaya tercerahkan? Umat Buddhis masih meyakini tentang kebenaran Dhamma dapat menuntun hidupnya menjadi lebih baik, lebih bijak, dan tentu lebih berbahagia. Sesuai pesan Buddha Gotama "…berpeganglah pada Dhamma, hidup sesuai Dhamma dan berkelakuan sesuai petunjuk Dhamma demikianlah seharusnya kamu melatih diri." Dengan demikian, berkah terdalam dengan adanya peringatan Waisak adalah meraih kebahagiaan dan perdamaian sejati melalui jalan pencerahan pikiran dan pencarian diri sendiri. Perayaan Waisak di bawah Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) bertajuk "Mencari kebahagian dan kedamaian dari dalam diri sendiri" dengan Dharmasanti "Pencerahan pikiran dan mencari diri sendiri". Ini menunjukkan keseriusan Walubi dalam membangun kebahagiaan dan perdamaian yang tak kunjung mewujud di bumi Nusantara ini. Diri Sendiri Menurut Prashat, guru meditasi dari Cambridge, Inggris dan pengarang manuskrip filsafat Gods Wisdom (1991), kedamaian dalam diri seorang tidak berhubungan dengan apa yang dimilikinya, tapi pada apa yang hilang atau dapat hilang. Penderitaan manusia erat kaitannya dengan persepsi tentang peranannya. Misalnya, perubahan-perubahan yang terjadi atas peranan kehilangan jabatan, kegagalan dalam cita-cita, keadaan kaya menjadi miskin, cantik menjadi tua. Pokoknya apa saja yang hilang atau dapat hilang. Jika seseorang hendak mencari dasar kebahagiaan, ia harus kembali pada dirinya yang tetap, tidak berubah-rubah. Ia menyebutnya "Diri yang Sejati" (The Real I). Pasalnya, hakekat manusia bukanlah yang berubah-berubah, tetapi yang tetap. Pengalaman identitas ini menjadi dasar sense of security dan secara otomatis memberi keadaan penuh (contentment), kekuatan, kebahagian dan cinta yang akan membawa pada pengalamn keabadian (Tuhan). Ia mengatakan "Begitu manusia melupakan dirinya yang asal dan jatuh pada identiffikasi pada peranan, munculah berbagai keingina. Keinginan (desire) adalah akar ketidakamanan psikologis. Dari ketidakamanan inilah lahir semua keadaan tak sehat, kecemasan ketakutan, frustrasi, stress mental dan semua karakter buruk manusia. Bila keinginan tak terpenuhi munculah kemarahan, kebencian, depresi, prustrasi, kesedihan, perasaan gagal,salah, buruk, malu. (Jurnal Ulumul Quran, Volume III No 4. Th 1992:102-104) Bila kita kuat memegang prinsip ini niscaya hidup kita akan bahagia dan damai. Ini yang telah diperaktikan oleh Dalai Lama XIV, pemimpin rohani dan politik Tibet (resmi mundur sejak 10 Maret 2011) dengan mengarahkan hidupnya pada cita-cita bodhisattva; Menurut pandangan agama Buddha, bodhisattva adalah orang yang berada dalam perjalanan menuju kebuddhaan, yang membaktikan seluruh hidupnya pada tugas untuk membebaskan semua makhluk lain dari penderitaan. Cita-cita bodhisattva merupakan usah untuk memperaktikkan belas kasih tak terbatas dengan kebijaksanaan yang tak terbebas. Ia menyakini belas kasih akan menghasilkan gerakan positif menuju perdamaian. (Hagen Berndt, 2006:89-93) Gautama pernah mengingatkan kepada umatnya, tak pernah ada di dunia ini kebencian dihentikan oleh kebencian, tetapi kebencian hanya bisa sirna dengan cinta dan perjuangan menegakkan kasih sayang. Kiranya, petuah suci Buddha Gotama di khotbah terakhir di Hutan Sala milik Suku Malla, di antara Pohon Sala besar di dekat Kusinara layak kita renungkan saat detik-detik Waisak (17 Mei 2011-Pukul 18.08.23 WIB) Para siswaku: Seluruh ajaran yang telah kuberikan haruslah selalu diingat, janganlah dilupakan. Ajaranku yang sangat berharga ini untuk direnungkan selama-lamanya. Ajaranku adalah harta mustika yang kekal. Mempraktikkan Dharma (kebenaran sejati) dan Vinaya (disiplin). Anda selamanya berbahagia. Inilah khotbah Hyang Buddha. (pasal 3) Tercerahkan Untuk mengalami pencerahan bisa sepanjang kalpa, sesingkat satu pemikiran, seperti ditulis YM Bhikshu Tadisa Paramita Mahasthavira. Metode yang cepat adalah ambil semua pikiran-pikiran; kebaikan, keburukan atau perbedaan dan lepaskan mereka semua. Jika kita dapat melakukan ini, kalian akan langsung cerah. Jika dapat mencapai keadaan pikiran di mana tidak ada diri, tidak ada yang lain, tidak ada diskriminasi, tidak ada makhluk hidup, tidak ada Buddha. Maka kita akan menyadari realita sejati dari segala sesuatu. (www.walubi.or.id) Mari kita membaca sabda-sabda Guru Agung tentang pencerahan; "Harumnya bunga tak dapat melawan arah angin. Begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan arah angin; harumnya nama orang bajik dapat menyebar ke segala penjuru." (Dhammapada, 54) dan "Matahari bersinar di waktu siang. Bulan bercahaya di waktu malam. Kesatria gemerlapan dengan seragam perangnya. Brahmana bersinar terang dalam semadhi. Tetapi, sang Buddha (ia yang telah mencapai Pencerahan Sempurna) bersinar dengan penuh kemuliaan sepanjang siang dan malam." (Dhammapada, 387) kebahagiaan; "Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci, di antara orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci."(Dhammapada, Sukha Vagga no. 1) Inilah makna terdalam Waisak dalam menebar perdamaian dan meraih kebahagiaan. Selamat Hari Raya Waisak 2555/2011. Sabbe satta bhavantu sukhitata. Semua mahkluk berbahagia. Sadha, sadha, sadha. Semoga IBN GHIFARIE, Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung program Religious Studies dan bergiat di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung. Sumber Opini Pikiran Rakyat edisi 16 Mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun