Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Imlek dan persaudaraan Sejati

1 Februari 2011   21:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:59 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="Kompas"][/caption] Diakui atau tidak, penerimaan dan akulturasi budaya Islam antara etnis Tionghoa dan Sunda adalah kegairahan yang tak pernah usai sekaligus saling melengkapi satu sama lain. Kehadiran Islam (Sunda) dari jalur Konfusius (Cina) lebih diterima daripada Arab atau India. Ini tercantum dalam Pantun Bogor, seperti dikemukakan Anis Jatisunda ihwal seruan untuk menerima Islam dari penyebar yang berkucir dan menolak dari yang bersurban, tulis Bambang Q-Anees, pegiat khazanah Sunda dalam Seminar Internasional Budaya Sunda-Melayu Nusantara bertajuk Sunda, Islam dan Melayu Nusantara di Universitas Pasundan 21-22 Januari 2011 Berpijak dari cerita Anis Jatisunda maka dibuat rekonstruksi singkat. Pada periode dinasti Sung (960-1279) Islam telah berkembang di Cina dan semakin tumbuh dan berkembang pada zaman dinasti Ming (1368-1644). Bersama dengan itu berkembang pula ajaran neo-Konfusionisme; t'ai chi (Puncak Agung, Nir Agung), hsin (pikiran-dan-hati), chen-I (esa sejati). Menurut Sachiko Murata, relasi ini merupakan pengaruh dari Islam terhadap neo-konfusionisme yang mewujud pada etika dan harmoni alam. Mampuhkah kehadiran Imlek 2562 yang jatuh pada 3 Februari 2011 menjadi momentum awal dalam menjaga keharmonisan antaretnis sekaligus membangun persaudaraan  sejati di Tatar Sunda ini. Hari Persaudaraan Umat Konghucu meyakini, tibanya hari Imlek harus menjadi momentum lambang semangat perjuangan dan kemenangan di dalam berusaha membina kehidupan agamanya. Pun menjadi lambang persaudaraan di antara umat Ji Kau/Ru Jiao, Hud Kau/Fo Jiao, dan Too Kau/Dao Jiao. Upaya merajut persaudaraan dan perilaku toleran diantara keturunan Tionghoa itu terlihat jelas saat praktik ibadah di Altar Langit (Thian Than) Kelenteng Tri Dharma. Memang indah dan syahdu. Seakan-akan perbedaan keyakinan (Budha, Tao, Konghucu) menjadi modal dasar dalam membangun kehidupan yang lebih baik lagi. Sebutan Tri Dharma (Tiga Ajaran Kebajikan) pun melekat pada tempat peribadatan Tionghoa sekaligus upaya memelihara, menjunjung nilai-nilai ajaran yang telah disampaikan oleh Kongzu. Lepas dari apakah mereka dikategoritan agama Budha, Tao atau Konghucu. Yang jelas mereka keturunan Konzi dan harus memelihara sekaligus menyebarluaskan ajaran kebaikan dan kebijaksanaan tersebut. Berkat anjuran dinasti Zhou, kembali digunakan kalender Xia yang merujuk kepada kehidupan Kongzi, Khongcu atau Confucius pada zaman Dinasti Zhou (551-479 SM). Nasihat suci ini dapat dilaksanakan Han Wu Di dari Dinasti Han (140-86 SM) pada 104 SM. Sejak itulah kalender Imlek diterapkan sebagai penanggalan Kongzi dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian adakalanya terjadi pertumpahan darah, pembunuhan massal, penjarahan yang dialami keturunan Cina di Indonesia. Seperti ditulis Ali Usman; Pembantaian di Batavia  1740, Pembantaian Cina Masa Perang Jawa 1825-1930, Pembunuhan Massal Etnis Cina di Jawa 1946-1948, Peristiwa Rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 ,dan Kerusuhan Mei 1998. Padahal di mata Claudine Salmon, peneliti asal Prancis yang mendedikasikan hampir seluruh kariernya untuk meneliti kebudayaan Cina di Indonesia, dalam bukunya Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, a Provisional Annotated Bibliography (1981), ia mengatakan, di Indonesia, kalau ada istilah suku-suku, orang Cina dianggap sebagai suku asing. Akan tetapi, siapa yang asing, siapa yang pribumi, sebenarnya tidak terpisah. "Saya kira sejumlah orang Indonesia yang menganggap diri sebagai orang pribumi adalah keturunan Cina". (Suara Merdeka, 13/2/2010) Etika dan Harmoni Alam Menilik ketidakharmonisan antara penduduk asli dan pendatang di bumi persada ini seakan-akan kehidupan warga keturunan Cina tak memberikan kontribusi besar terhadap tatanan kebangsaan dan kenegaraan. Salah satu cara membangun kerukunan dan persaudaraan di bumi Parahyangan harus bersumber pada keimanan. Pasalnya, Iman harus dibuktikan dengan perilaku tubuh (badan). "Tubuh di sini adalah dasar bagi kesadaran menusia dan seluruh hubungan kemanusiaan. Tubuh perlu dilatih untuk berbuat benar dalam segala keadaan dan berlaku sopan di setiap kehidupan" (Saciko Murata, 2003;51) Bila kita kuat memegang prinsip ini maka persaudaraan akan semakin erat dan mewujud dalam cara beretika dan harmoni alam. Konon, faktor inilah yang menjadikan dasar penerimaan masyarakat Sunda terhadap Islam dari Cina pada waktu itu. Apalagi, keharomisan dan perilaku bersaudara  menjadi contoh pemaknaan dharma neo-konfusionisme terhadap amar takwini dan amar taklifi. Ingat, tradisi intelektual Islam membagi perintah Allah dua jenis. Perintah yang menimbulkan akibat (amar takwini) berkenaan dengan tatanan alam; perintah yang berkenaan dengan perintah-perintah moral dan gerakan sosial yang Allah turunkan kepada para nabi (amar taklifi). Kiranya, apa yang dialakukan Sufi Cina dalam menerjemahkan dan memahami amanat untuk tatanan moral dan takdir (nasib) untuk tatanan alam layak kita tiru. "Apa yang dilimpahkan langit kepada semua makhluk disebut amanat. Apa yang diterima semua makhluk dari langit disebut sifat" Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari keturunan Tionghoa sangat menjunjung tinggi keselarasan manusia dengan alam. Ini dibenarkan oleh Fung Yu Lan (1952), menurutnya seorang manusia dengan manusia lain harus mengikuti tata cara kehidupan yang telah dibangun oleh para orang bijak kuno sesuai dengan tata cara semesta. Konteks kesundaan falsafat silih asah, asih dan asuh yang bersumber dari amanat galunggung atau darma siksa Karesian harus kita tanamkan dalam sanubari kita untuk menciptakan persaudaraan tanpa batas, sekat dan perbedaan. Meskipun, untuk hubungan kekrabatan urang Pasundan dikenal ungkapan pancakaki. Ini diamini Ajip Rosidi (1996), dimana pancakaki memiliki pengertian suatu hubungan seseorang dengan seseorang yang menunjukan adanya ikatan persaudaraan (keturunan). Temali ikatan adat-istiadat-kebiasaan menjadi menonjol untuk tetap membiasakan bersilaturahim. Mudah-mudahan adanya tahun Kelinci 2011 yang terdiri dari unsur logam negatif (-) dan kayu negatif (-) menjadi perekat persaudaraan sesama, antarmanusia yang kian tercabik-cabik di  Tanah Sunda ini. Apalagi kelinci di mata ahli fengshui, Akino W Azaro melambangkan kemakmuran, silaturahmi, persaudaraan, kekeluargaan, berhati-hati dan bisa berteman dengan siapa pun. Terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang damai, adil, toleran, harmonis, terbuka, jujur, menjadi cita-cita bersama dalam membangun kerukunan antaragama, etnis. Inilah makna terdalam Imlek dalam menciptakan persaudaraan sejati. Semoga. Selamat Imlek 2562. Gong Xi Fa Cai. IBN GHIFARIE, Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung Program Religious Studies. Artikel ini dimuat pada Forum Tribun Jabar edisi 1 Februari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun