”Saya tidak pernah membawa masalah terorisme ke arena politik karena bukan politik. Kita tak boleh juga mengaitkan terorisme dengan agama karena terorisme bukan ajaran agama, tidak berkaitan dengan agama. Terorisme adalah kejahatan,” ungkap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka rapat kabinet paripurna di Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (10/8) Presiden memercayakan dan menyerahkan upaya pencegahan dan penanganan terorisme sepenuhnya kepada penegak hukum. Namun, diingatkan pula, penanganan ancaman teror itu harus dilakukan dengan tepat, profesional, akuntabel, dan dapat dijelaskan kepada publik. ”Kita tahu masalah ini sensitif karena sering di antara kita salah paham terhadap yang dilakukan penegak hukum,” ujarnya. Tindakan kepolisian untuk menangani terorisme diyakini Presiden didasari oleh temuan, fakta, dan bukti yang memadai. (Kompas, 11/8) Memang terorisme bukan sekadar kejahatan kemanusiaan, melainkan juga kejahatan terhadap agama. Pemerintah harus membuka informasi seluas-luasnya mengenai terorisme sehingga masyarakat bisa turut melakukan pencegahan. Demikian kata Masdar F Mas’udi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, terorisme termasuk kejahatan terhadap agama karena umumnya aksi teror dilakukan atas dasar justifikasi agama. Para pelaku teror berpandangan bahwa yang mereka lakukan merupakan perintah agama. “Padahal, faktanya, tindakan teror itu justru mencoreng wajah agama,” katanya Aksi teror yang dilancarkan para pelaku yang mengklaim dirinya sebagai pejuang Islam pun justru memakan banyak korban dari umat Islam sendiri. Menurutnya, umat Muslim di seluruh dunia berhak mengutuk perilaku para teroris karena telah membajak ajaran agama Islam. Perilaku teroris juga dinilai telah mencemarkan nama baik dan kesucian agama Islam. Selain itu, terorisme juga merupakan kejahatan kemanusiaan. Pasalnya, aksi teror mengancam hak hidup siapa pun tanpa memandang status sosial seseorang. (Kompas, 12/3) Bagi Din Syamsuddin, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyikapi aksi terorisme sebagai musuh bersama, musuh bangsa, dan agama. Terkait dengan penangkapan Ba'asyir atas penangkapan lima orang (Fahrul Tanjung, Hamzah alias Helmi, Gofur, Kurnia Widodo, dan Kiki) yang diduga teroris ditangkap di Cibiru, Kota Bandung; Padalarang, Subang, dan Cileunyi, jika benar ditemukan bukti kuat menyangkut keterlibatan Ba'asyir dalam aksi terorisme, maka hak penegak hukum untuk menindak pelanggaran hukum. (Kompas, 10/8) Aksi teroris ini erat dengan ideologi gerakan radikal yang tak mengenal status sosial. Ini diungkapkan Inspektur Jenderal Edward Aritonang, Kepala Divisi Humas Polri, Ideologi radikal dapat merasuki siapa pun, baik kalangan masyarakat bawah dan tak berpendidikan maupun kalangan akademisi. Lingkungan kampus dan akademisi muda menjadi sasaran empuk proyek perekrutan dan pembentukan aksi klandestin teroris. Dengan merekrut kaum muda, perjuangan teroris pun menjadi lebih efektif. Kaum muda dapat menjadi pejuang-pejuang klandestin yang militan untuk merencanakan, mengonsolidasikan, dan melaksanakan aksi teror untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kegiatan klandestin dari kalangan muda itu menjadi efektif karena mereka memiliki mobilitas tinggi dalam melakukan aksi gerakan bawah tanah. Proses radikalisasi, seperti perekrutan, indoktrinasi ideologi, pelatihan, konsolidasi, pergerakan, dan aksi, pun terus berjalan melalui gerakan klandestin. Proses radikalisasi dapat berjalan melalui empat ikatan sosial adalah hubungan kekerabatan (kinship), hubungan persahabatan atau pertemanan (friendship), hubungan guru dan murid (discipleship), dan tempat peribadatan (worship), kata Komisaris Jenderal Ito Sumardi, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dalam simposium nasional bertema ”Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”, akhir Juli lalu. (Kompas, 11/8) Bagaimana dengan pendapat anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H