Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Terorisme, Ketidakadilan dan Pendidikan Perdamaian

20 November 2009   16:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penanganan terorisme harus dilihat dalam konteks lokal, tidak sekadar permasalahan global. Faktor-faktor utama yang memicu tindakan teror di setiap negara dan daerah berbeda-beda. Perbedaan ini dipicu oleh perbedaan tingkat kesejahteraan dan besarnya kekuasaan negara-negara Barat terhadap negara lain, demikian kata Leonard C Sebastian, Ketua Program Sarjana Sekolah Kajian Internasional S Rajaratnam, Universitas Teknologi Nanyang, Singapura dalam diskusi ”Membangun Kapasitas Negara dalam Melawan dan Mencegah Terorisme” di Jakarta, Kamis (19/11) Dalam konteks itulah, peran organisasi masyarakat sipil sangat penting karena pemberantasan terorisme tidak cukup hanya dari sisi penegakan hukum. Komunitas masyarakat sipil merupakan pihak yang paling tahu kondisi masyarakat sekitarnya. Masih menurut Sebastian, Adanya ketidakpuasan politik dan keterpurukan sosial, pemerintahan yang buruk atau lemah, serta berkembangnya ideologi yang memicu terorisme menjadi pendukung tumbuh dan berkembangnya gerakan terors. Semula warga yang memiliki paham keagamaan moderat dapat berubah menjadi radikal jika pendidikannya kurang, hidup dalam kemiskinan, serta terpinggirkan di lingkungan sosialnya. Tentunya, keadaan ini dapat dimanipulasi dengan isu jihad oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan mereka. (Kompas, 20/11) Harus kita katakan, apa pun bentuk konflik vertikal atau horizontal yang terjadi di Indonesia lebih dominan berakar struktural. Ketidakadilan sosial dan kegagalan mengelola potensi kemajemukan di berbagai daerah. Modul peacebuilding yang dikembangkan mesti mencerminkan korelasi antara tiga elemen dasar paradigma yaitu, pendidikan budaya damai, berbasis keadilan sosial, dan integrasi sosial ungkap Piet George Manoppo, Dosen Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,  saat mengisi Workshop Pengembangan Modul Peace-Building bertajuk 'Pendidikan Peace-Building di Indonesia: Mencari Model Pendidikan Damai Berkelanjutan' yang dilaksanakan CSRC UIN Jakarta di Hotel Seruni, Bogor, Kamis (15/3). Piet Manoppo mengusulkan, Pertama, Modul yang akan dikembangkan harus mampu memfasilitasi proses pendidikan dan pelatihan untuk mengarahkan komunitas lokal dan aktivis perdamaian agar berfikir obyektif, kritis, kreatif, dan integratif tentang akar aspirasi keadilan sosial demi membangun perdamaian berkelanjutan. Kedua, modul yang didesain juga harus mampu mengembangkan kesadaran kritis kultur kolektif sebagai acuan pengembangan sikap dan prilaku perdamaian. Kesadaran kritis itu bisa melalui ekspresi hidup bersama, memiliki nilai dan moral bersama guna menghadapi dan memecahkan sumber konflik kekerasan di komunitas secara bersama pula. Ketiga, modul yang dikembangkan harus dalam rangka membangun kapasitas lokal dalam membangun kemandirian memetakan potensi struktural ketidakadilan sosial. Serta berinisiatif mengelola kemajemukan dan integrasi berbasis kearifan lokal, mereduksi potensi konflik dan prilaku negatif yang muncul akibat ketidak sosialan, serta kesalahan dalam mengelola kemajemukan. Keempat, perlu diketahui adanya lima paradigma perdamaian dan ciri khas yang dimilikinya. 1) Power of force yang memberikan tekanan terhadap kekuatan politik. 2) Hukum yang berkaitan dengan tatanan masyarakat dan institusi. 3) Kehendak atau keinginan yang bersifat non violecence serta peran dan kontribusi dari gerakan sosial. 4) Cinta kasih yang melandasi proses transformasi dan spritualitas personal dan komunitas. Bagi Samsu Rizal Panggabean, Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta keberadaan pendidikan perdamaian di Indonesia baik dalam bentuk pengajaran formal, pelatihan, dan program yang dilakukan berbagai lembaga dan organisasi masyarakat. "Pendidikan perdamaian itu meliputi program resolusi konflik, pencegahan kekerasan, pendidikan perdamaian dan pembangunan, pendidikan nirkekerasan, pendidikan perdamaian mendunia atau global, dan pendidikan perdamaian inovatif berbasis sekolah," ujarnya. Pertama, program resolusi konflik. Tipe pendidikan ini terfokus pada banyak topik. Yang terpenting diantaranya adalah bagaimana menyelesaikan konflik antar pribadi dengan cara konstruktif melalui mekanisme negoisasi, mediasi sejawat, empati, dan metode resolusi sengketa alternatif seperti melalui proses peradilan. Kedua, program pencegahan kekerasan. berkaitan dengan pencegahan kekerasan yang berurusan dengan prilaku kekerasan seperti tawuran di kalangan pelajar dan pemuda. Kenakalan siswa sekolah, kejahatan jalanan, serangan seksual, prasangka buruk, dan stereotip negatif. Ketiga, pendidikan perdamaian dan pengembangan. Model ini ini berangkat dari akar dan sumber struktural perdamaian dan kekerasan. Temanya kekerasan struktural, kemiskinan, lembaga-lembaga sosial yang tidak adil, dominasi dan penindasan, serta konsumerisme yang berdasarkan pada eksploitasi terhadap sumber daya alam. Mencakup pendidikan hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Keempat, pendidikan nirkekerasan. Memusatkan perhatian pada kegiatan mempelajari citra positif perdamain dan nirkekerasan bagi anak-anak dan siswa. Ini dapat membantu melawan budaya kekerasan di media, industri hiburan, sekolah, masyarakat, dan tradisi lokal. Contoh kegiaan ini berupa komik dan sandiwara radio anti kekerasan. Kelima, pendidikan perdamaian global yang lebih menekankan perlunya belajar mengenai sistem internasional yang mendorong timbulnya perang. Menangani aspek global dan internasional perdamaian dan kekerasan mulai dari ekonomi, globalisasi, masalah hutang, belanja militer, dan masyarakat sipil global. Keenam, Program manajemen konflik berbasis sekolah. Sekolah merupakan tempat siswa dan guru betemu sekaligus berinteraksi. Segala peristiwa bisa terjadi selama keduanya berinteraksi termasuk konflik. Konflik tidak akan pandang bulu termasuk melibatkan guru dan siswa. Konflik harus dikelola agar keadaan menjadi lebih baik. "Namun pendidikan di sekolah selama ini didesain hanya untuk mengajarkan ketrampilan di bidang akademik sehingga segala persoalan di luar akademik tidak menjadi bagian dari evaluasi. Kurikulum tentang social and life skills yang seharusnya diterapkan diabaikan," katanya (www.csrc.or.id) Mengingat pentingnya budaya sekaligus pendidikan damai ini Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) memproklamirkan "budaya perdamaian" yang menyuarakan tindakan langsung dan tuntutan perubahan struktural. Peneliti perdamaian Amerika Serikat, Betty Reardon, menegaskan, "Sebuah budaya perdamaian akan dicapai bila umat manusia memahami persoalan global serta memiliki kemampuan menyelesaikan konflik secara konstruktif; juga bila standar HAM internasional telah dinikmati secara luas dan persamaan jender, pluralisme budaya, serta keterbatasan alam dihormati. Semua proses ini tidak mungkin tercapai tanpa perencanaan jangka panjang dan sistematis dalam pendidikan untuk perdamaian." Dengan tegas kita katakan, Perdamaian bukan sekadar tiadanya perang. Bagi Johan Galtung, seperti ditulis Ivan A Hadar Direktur Indonesian Institute for Democracy Education Jakarta, Perdamaian adalah tiadanya kekerasan struktural, kultural, dan personal. Pedagogis perdamaian merupakan kumpulan formula yang mencakup beberapa bidang, diantaranya; Pertama, wacana kritis tentang militerisme, persenjataan, dan perang. Bila dulu sering terjadi peperangan, antarnegara. kini perang saudara semakin menguat. Historical institution sebagai fokusnya. Melalui instumen itu penyebab perang bisa dianalisis tuntas. Kedua, pendidikan global mengungkapkan manusia dan masyarakat di seluruh dunia kian tergantung satu dengan lainnya. Pembangunan di "Selatan", tidak mungkin dilihat terpisah dari apa yang terjadi di "Utara". Perdamaian sejati tidak akan terwujud dengan mengesampingkan sebagian dunia. Ketiga, pendidikan HAM, mulai dari Deklarasi HAM PBB (1948) hingga dokumen terbaru tentang hak ekonomi, budaya, dan sosial. Semua kriteria untuk menilai pemerintah dan kebijakannya. Keempat, pendidikan antirasisme dan intercultural learning. Tidak sekadar ingin menghilangkan prasangka antarmanusia dan kebudayaan, tapi kritik terhadap rasisme sebagai alat kekuasaan dengan prinsip divide et impera. Intercultural learning memberi penekanan, pengalaman yang membentuk pandangan hidup dan sistem nilai kita sebenarnya dipengaruhi kebudayaan. Persinggungan budaya akan menolong kita merelatifkan sudut pandang sehingga menjadi toleran terhadap yang lain. Kelima, pendidikan peace with the nature. Sebenarnya, perang dan persenjataan bukan hanya faktor terburuk perusakan lingkungan. Melalui kekerasan peperangan, sebuah tatanan dipertahankan; sekelompok kecil bangsa kaya-di atas penderitaan mayoritas rakyat dunia yang miskin-mengeruk sumber daya alam. Perubahan radikal basis kehidupan manusia, merupakan moda produksi serta perilaku konsumtif dan sistem nilai yang dianut. Sulit, terutama bagi orang dan bangsa kaya. Namun, tanpa peace with the nature, tiada pula bisa dicapai perdamaian (secara) sosial. Keenam, pendidikan penanganan konflik. Diyakini, penanganan konflik yang damai dan kreatif dapat dipelajari. Program-program seperti social learning, mediasi, dan komunikasi nonkekerasan mampu mentransfer pengalaman penting serta meningkatkan kapasitas untuk itu. Namun, penanganan konflik yang konstruktif tidak terbatas pada private sphere saja. Moda konflik bernuansa kekerasan juga dijumpai dalam relasi antarmanusia dan dalam politik. Setiap kesempatan social learning juga memiliki komponen politik. (Kompas, 26/1) Ketidakjelasan kurikulum dan tak adanya pendidikan perdamaian menjadi penyebab mendarah dagingnya konflik yang terjadi di Indonesia. Model pendidikan agama yang berimbang (fikih, dakwah, tasawuf dan HAM) bisa dijadikan sebagai salah satu metode untuk memberantas atau meminimalisasi terorisme, kata Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) seusai seminar internasional bertajuk ”Raising Awareness of UN Global Counter Terorism Strategy among Civil Society in Southeast Asia” di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (18/11) ”Model pendidikan yang bisa menangkal terorisme ini sebenarnya sudah lama diterapkan di pesantren-pesantren NU,” katanya (Kompas, 19/11) Terciptanya masyarakat yang arif, bijak, toleran, terbuka, damai, dan menghargai perbedaan atas pemahaman yang ada adalah cita-cita tertinggi bangsa Indonesai ini. Semoga IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun