Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ihwal 1965

3 April 2010   17:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:00 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Meski Judicial Review UU No.1/PNPS/1965 junto UU No.5/1969 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan agama di Mahkamah Konstitusi ditolak Menteri Agama, Suryadharma Ali, dan Menteri Hukum dan Ham, Patrialis Akbar awal Februari. Sejatinya, negara harus tetap menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warganya. Ini sesuai dengan amanat konstitusi (Pasal 28E ayat 1 dan 2, Pasal 28I ayat 1, dan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945). Juga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 18 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi pemerintah melalui UU No.12 Tahun 2005. Pasalnya, beragama dan berkeyakinan merupakan hak dan kebebasan warga negara yang mendasar. Bila negara ikut mencampuri keyakina warganya, maka pemerintah telah melanggar segal ketentuan beragama dan berkeyakinan. Ingat, negara tidak perlu mengurus keyakinan karena urusan keyakinan dan agama masalah personal dan privat. Namun, negara bisa mengatur warga negara untuk menghindari benturan yang dikhawatirkan dapat terjadi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sebagi saksi ahli dari Mahkamah Konstitusi (MK) ”Dalam keyakinan, orang mempunyai hak asasi. Kita tidak bisa memaksakan,” katanya. Namun, ekspresi beragama masuk ke ranah publik. Karena itu, negara hanya mengatur warga negara. ”Negara tak usah mengurus agama, tetapi warga negara yang dikhawatirkan dapat berbenturan,” paparnya. Lain Komaruddin Hidayat, lain pula Moeslim Abdurrahman, ia mengatakan, UU No 1/1965 dibuat dan digunakan untuk mengontrol aliran yang sesat atau tidak. ”Dalam politik agama, seolah- olah negara ingin mencampuri mana yang dianggap agama atau mana keyakinan lokal yang tidak dianggap agama,” tegasnya. Rupanya keberadaan UU No 1/1965 perlu relevansi. Dari sisi antropologi, lebih dari 200 kelompok masyarakat yang berbeda aliran kepercayaan, khususnya kepercayaan tradisional, hidup di masyarakat. Senada dengan Moeslim, Taufiq Ismail mengungkapkan, UU No 1/1965 tak perlu dicabut, tetapi diganti atau direvisi dengan undang-undang baru yang lebih baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Garin Nugroho menilai UU No 1/1965 perlu dicabut karena tak memajukan pluralisme. (Kompas, 25/3) Harus diakui jaminan kebebasan beragam masih sebatas pasal-pasal dalam undang-undang dan surat keputusan, bukan mewujud dalam kehidupan antarberbangsa dan bernegara. Ironis memang. IBN GHIFARIE, Pengiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun