Membaca resensi Agama dan Paradoks Perdamaian hasil olahan Muhammadun AS dari buku Menggugat Tanggungjawab Agama-agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia (2010) sungguh bergetar. Betap tidak, kehadiran agama-agama Abrahamik yang membawa pesan perdamain sempat diragukan pelbagi kalangan. Pasalnya, segala petuah suci dari ketiga turunan Ibrahim (Yahudi, Kristen, Islam) tak bisa menjawab pelbagai persoalan kebangsaan dan keumatan. Maraknya aksi terorisme, kekerasan, kebencian, keterputusasaan merupakan bukti nyata gagalnya nubuat agama dalam memberikan ketenangan, keselamantan, kedamain, keteduhan bagi pemeluknya. Menilik ketidak berdayaan ajaran Ibrahim, Franz Magnis Suseno mengutarakan semua bentuk perlanggaran yang terjadi itu berawal dari peperangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan. Ini terlihat dari ketakutan-ketakutan akan tergerusnya satu ajaran yang berdampak peperangan atas nama agama. Tentu, nilai-nilai yang terdalam dari keimana akan terhempas oleh rasa iri, benci, syikrik dan tak mau kalah. Berkutatnya pemahaman pada ranah fiqh oriented menjadikan semua keragaman pendapat, pemahaman, keagamaan dan keyakinan melebur pada kesatuan yang dipaksaan. Ini menjadi sumber segal petaka bagi Amin Abdullah. Ironisnya. Bila tidak mengikuti pandangan satu kelompok, maka dapat dikategorika berbeda dan harus disamakan. Seolah-olah dipaksakan harus mengikuti pemahmaannya. Mengerikan! Parahnya, semua ajaran menklaim agamanya sebagai satu-satunya jalan kebenaran (truth), jalan keselamatan (salvation), jalan kebahagiaan (happiness) dan diluar pengakuanya tidak menjadi bagian yang tak terpisahkan. Rupanya, Said Aqil Siraj memiliki keyakinan dalam menyebarkan virus perdamaian dengan cinta. Ingat, agama cinta tak terlahir dari rahim satu keagamaan, tapi bermuara pada yang tunggal. Menebar sikap dan perilaku kebahagiaan, kedamaian, dan ketentraman adalah tugas suci (sacred mission) yang harus diembannya. Tak ada batas agama, suku, etnis, budaya, dan bangsa pada agama cinta ini. Petuah Rasul “Tidaklah sempurna iman kamu sekalian sehingga mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri” terus didengungkan kepada penjuru saentero alam ini. Sungguh syahdu. Kecintaan Muhammad kepada umat dan sesama manusia membuahkan (Piagam Madinah) Deklarasi Persamaan antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj sekaligus menjadikan kota berperadaban, berkeadilan dan sejahtera. Ajaran kasih dan penyayang ini tak berhenti pada masa Sang Ummi, tapi mewujud pada para pengikutnya (Khulafau al-Rasyidin; Sufi Agung--Rabiah Adawiyah, Abdul Qodir Jailany, dan Maulana Jalaluddin Rumi) Harus diakui murid-murid Rumi tak hanya umat Islam, tapi ada Yahudi, Nasrani. Segala ketundukan dan tak membuat Rumi untuk memaksakan kehendaknya supaya mereka mengikui jejak-jekak Guru Agung. Keberadaaan Agama cinta ini menjadi masa depan agama-agama ditengah-tengah era digital. Ini diamini oleh John D. Caputo, Guru Besar Filsafat pada Universitas Villanova, Amerika Serikat melalui buku Agama Cinta, Agama Masa Depan (2003). Saat Tuhan dikatakan sudah mati seperti disuarakan lantang oleh Nietzsche, tapi mengapa justru agama berkembang dan beranakpinak? Uniknya, Ia menjelaskan mengapa dan bagaimana agama menjadi sumber inspirasi pribadi dan tuntunan moral justru di tengah dunia digital, pascaindustri, dan zaman yang nihilistis ini. Meski, Ia pernah meragukan akan kecintaannya; Apakah yang sebenarnya aku cintai ketika aku mencintai Tuhanku? Apakah yang dapat dipelajari bagi agama dari film Star Wars, dan apa arti yang sebenarnya kalau dalam film itu dikatakan "may the Force be with you"? Dan apa yang tengah manusia lakukan kalau mereka bertindak "atas nama Allah"? Kiranya, segala kecintaan, kasih sayang, pemaaf, pemurah bagian tak terpisahkan dari agama masa depan. Inilah makna terdalam dari petuah suci dari agama-agama Abrahamik. Semoga. IBN GHIFARIE, Pengiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H