Beberapa tahun kemarin, saya sempat menemukan sebuah pernyataan dari seorang motivator yang saya tidak ingat siapa namanya di sebuah reels. Tapi saya ingat bahwa kurang lebih isi pernyataannya seperti ini, "Pustakawan yang hebat adalah pustakawan yang mampu mengarahkan pemustaka ke buku selanjutnya dari buku yang sudah dibaca oleh pemustaka".Â
Dengan kata lain, pustakawan dituntut untuk mampu membuat channel antara satu buku dan buku yang lainnya sehingga informasinya dapat berkelanjutan. Hal ini tidak sepenuhnya salah, lantaran pustakawan memang mengolah bahan pustaka dari inventarisasinya di buku induk hingga pemberian nomor punggung sampai dengan pembuatan kartu indeks sebagai alat temu balik. Namun juga tidak benar karena koleksi di dalam perpustakaan tidak sepenuhnya lengkap dan mungkin dapat tidak berkelanjutan informasinya yang disebabkan oleh koleksi yang tidak dimiliki oleh perpustakaan yang bersangkutan.Â
Yang saya ingin soroti bukanlah hal tersebut. Melainkan pada asumsi dimana pustakawan adalah seseorang yang memiliki semua pengetahuan dalam hal ini mengetahui apa isi dari masing-masing koleksi di perpustakaan. Secara sederhana, pustakawan dianggap tahu apa saja yang dibahas di dalam masing-masing buku (jika perpustakaan mengkoleksi bahan tercetak jenis buku) di rak-rak yang tersimpan di ruang koleksi.
Tidak ada kewajiban dimana pustakawan harus menguasai semua bidang subjek pengetahuan yang ada di dalam setiap buku yang dikoleksi. Bilapun ada, itupun adalah pustakawan yang memiliki keahlian atau minat khusus di sebuah subjek, biasanya  ini adalah pustakawan khusus dan bukan pustakawan teknis. Pustakawan ini memiliki latar belakang yang relevan dengan subjek yang dikuasainya, misalnya seperti bidang hukum. Maka, pustakawan tersebut perlu memiliki latar belakang pendidikan di bidang hukum, yaitu setidaknya Sarjana Hukum.Â
Dengan demikian informasi yang dirujuk oleh pemustaka akan dapat lebih dipercaya. Tetapi, disini konteksnya adalah pustakawan yang menguasai bidang tertentu tersebut merupakan pustakawan yang bertugas memberi layanan rujukan / layanan informasi kilat/ layanan penyebaran informasi/ layanan pembuatan paket informasi ataupun bertugas memberikan semua layanan tersebut di sebuah perpustakaan.
Pustakawan yang mampu mengetahui dan memahami masing-masing buku yang dikoleksi oleh perpustakaan memanglah hebat. Namun, berdasarkan tingkat kebutuhan informasi hal itu tidak dapat berlaku kepada semua pustakawan.Â
Pustakawan sebagai manusia tidak jauh dari prioritas yang perlu dipenuhinya. Bahkan setiap pemustaka yang memiliki latar belakang yang berbeda pun akan membutuhkan informasi yang berbeda pula. Kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh seorang peneliti pastinya akan berbeda dengan tingkat kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh orang awam. Pustakawan sebagai sebuah profesi yang bergerak di bidang kepustakawanan, tentunya menguasai bidang tersebut. Tapi, penguasaan di suatu bidang tentunya tidak dapat diperoleh dalam kurun waktu sehari atau dua hari saja.Â
Dibutuhkan waktu beberapa tahun agar bidang tersebut dapat dikuasainya. Itu pun baru satu bidang, bagaimana dengan penguasaan terhadap semua bidang? Oleh karena itu, pemahaman terhadap semua isi yang terdapat pada masing-masing buku yang dikoleksi sangat tidak efektif. Dan oleh karena itu juga, pustakawan membuat wakil ringkas dokumen, yang disebut dengan katalog, alih-alih menghafal setiap isi pada masing-masing buku.
Dalam layanan perpustakaan, terdapat layanan pendidikan pemustaka dan pelatihan literasi informasi. Alih-alih menguasai semua bidang, memahami semua buku yang dikoleksi, yang mana informasi tentu saja akan terus bertambah dengan seiring informasi yang memiliki sifat dinamis. Alangkah baiknya, pustakawan memiliki kemampuan literasi informasi yang dapat dibagikan kepada pemustaka sehingga pemustaka tidak harus datang ke perpustakaan tersebut untuk memperoleh informasi yang dibutuhkannya.Â
Hal ini juga memungkinkan pemustaka untuk mencari informasi lainnya tanpa harus bergantung pada pustakawan. Rahayu (2020) mengemukakan bahwa pelatihan literasi informasi merupakan pelatihan yang diselenggarakan utuk tujuan agar peserta (pemustaka/ pengunjung perpustakaan) memiliki kemampuan dalam menemukan informasi, mengerti bagaimana perpustakaan diorganisir, memahami berbagai jenis sumber informasi, cara menelusurnya, serta mampu mengevaluasi informasi dan menggunakannya secara efektif, serta dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan informasinya dengan menggunakan berbagai teknologi informasi dalam mencari dan memanfaatkan informasi tersebut. Kita tahu bahwa informasi tidak terbatas pada koleksi perpustakaan, bahkan tidak terbatas pada bahan pustaka tercetak, seperti buku cetak sehingga pemustaka dapat memanfaatkan sumber-sumber lainnya.