Mohon tunggu...
Ghea Zara
Ghea Zara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fall in love with writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

13th Diary

31 Oktober 2013   19:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:46 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berharap keajaiban itu datang!

Nama gue Agasha Lovazara Syahreza, tapi gue biasa dipanggil Acha. Umur gue belum genap 17 tahun untuk menerima dilema hidup yang cukup berat. Orang tua gue entah mengapa memutuskan untuk berpisah di saat gue mengharapkan datangnya seorang adik kecil untuk menemaniku. Saat itu gue tidak sempat memilih. Yang gue tau sampai sekarang gue tidak pernah bertemu lagi dengan Mama. Yah, materi dan harta memang bisa membeli semuanya. Termasuk gue. Papa membayar pengadilan disaat mereka akan memutuskan gue untuk bersama mama. Papa membayar mama untuk pergi jauh dari kehidupan kami. Tapi sayang, papa tidak akan pernah bisa membayar gue untuk menerima keinginannya menikah lagi. Tidak akan pernah! Gue bahkan sampai sekarang tidak pernah tau apa alasan mereka bercerai. Hampir semua telah mereka miliki. Tapi mengapa mereka lebih memilih untuk menyakiti gue?!! Anak mereka satu-satunya. Gue tidak merasakan kasih sayang seperti apa yang didapatkan teman-teman gue. Gue benar-benar merasa menjadi orang yang sangat kesepian. Tetapi bayang-bayang orang tentang hidup gue justru sangat berbeda. Mereka menganggap gue bagaikan seorang putri di sebuah istana yang megah dengan dikelilingi dayang-dayang yang siap melayani dan menyiapkan semua yang gue inginkan. Tapi mereka semua salah. Nyatanya semua materi yang gue miliki tidak bisa membuat gue tersenyum pada orang. Itulah sebabnya mereka -teman-teman gue- menganggap gue sombong! Dan gue tidak peduli terhadap penilain mereka! Gue juga tidak peduli dengan berapa banyak air mata yang mengalir di pipi gue sekarang.

Tok..tok..tok…

Ketukan pintu lantas membangunkan gue dari lamunan.

“Non acha, makanan sudah siap. Tuan sudah menunggu di meja makan.”

Huff… gue menghela nafas panjang. “Acha mau makan di kamar aja. Tolong mbok bawain makanannya kesini. Dan katakan pada papa kalau acha nggak bakal setuju dengan keinginan papa!!”

“Emm… tapi non.”

Gue hanya perlu memalingkan muka untuk membuat agar pembantu gue melakukan apa yang gue minta. Papa, dia benar-benar membuat gue muak sekarang.

***

“Hey!!”

Deg..deg…

“Stef!! Gila lo ya! Lama-lama gue bisa mati jantungan gara-gara lo!”

“Hahahahaha… acha bisa aja ih. Kalau lo mati malah bagus. Ntar bikin surat wasiatnya buat gue ya? Hehehe…”

“Sialan lo! Kalau gue mati, ntar lo semua nangis darah baru tau rasa! Kesel gue!”. Ujar gue dengan muka cemberut.

“Yaelah, jangan pasang muka kayak gitu donk. Ntar cantiknya hilang lagi.” Dasar stefany, bisa-bisanya dia berkata semanis itu saat gue sedang benar-benar kesal. Gue hanya bisa tersenyum mendengar perkataannya. Dia sahabat terbaik buat gue. Dia tidak seperti yang lain yang hanya menganggap gue teman di saat mereka perlu dan pura-pura tersenyum buat gue hanya karena apa yang gue miliki. “Wew… malah senyum-senyum sendiri lagi! Lo lagi nggak waras ya? Dari kemaren melamun mulu, sekarang malah senyum-senyum sendiri.”

“Oya cha, lo tau nggak? Si sassy ratu dugem dan sok seksi itu ntar malem mau ngadain pesta sweet seventeen-nya loh!”

“Oh ya?” kata gue malas. “Terus, hubungannya sama gue apa?!”

“Sebenarnya sih nggak ada kalau dia nggak ngasih dua undangan ini buat kita berdua.” Ucap stefany sambil menyibakkan dua undangan di tangannya.

Gue tersentak. “Dan lo pikir gue bakal datang dan dengan berbahagia merayakan pesta ulang tahunnya?!! Nggak akan!”

“Tapi cha…”

Gue menggelengkan kepala sebagai jawaban dari undangan itu dan berlalu meninggalkan stefany. Sepertinya dia melupakan sesuatu. Semua orang di sekolah ini bahkan tau betul bahwa gue dan sassy bagaikan tikus dan kucing. Gue amat sangat benci dengannya, saat ia mengatakan kalau gue adalah anak haram dari seorang pelacur! F**k*ng!! Jelas saja saat itu juga dengan brutalnya gue menampar dan menarik rambutnya. Bahkan kami telah membuat perang dunia ke-100 akhir-akhir ini. Dan sangat tidak mungkin bagi gue kalau si ratu iblis itu bakal mengundang gue di pestanya tanpa sebab! Gue tau betul pasti dia telah merencanakan sesuatu.

***

Malamnya.

“Cha, lo yakin nggak mau datang ke pestanya sassy?”

“Huff…” gue menghela napas sampai akhirnya gue mengeluarkan kata-kata. “Gue nggak bakal kesana stef!!”. Teriak gue di telepon.

“Tapi nggak ada salahnya kan cha?”

“Lo gila apa?! Mana mungkin gue bakal mau masuk ke kandang macan betina itu! Nggak bakalan! Lagian kalau lo mau pergi yapergi aja sendiri.”

“Asha sayang, dengarin gue ya. Mau sampai kapan sih lo sama sassy berantem mulu? Lagian bukannya akhir-akhir ini hubungan lo sama dia baik-baik aja kan?! Tadi dia sendiri yang bilang ke gue kalau dia pengen lo datang ke pestanya. Dia sampai mohon-mohon gitu sama gue.”

“Oya?? Trus kenapa nggak dia aja sih yang ngomong langsung sama gue? Trus lo tau sendiri kan kalau akhir-akhir ini dia mendadak jinak ada sebabnya stef! Dia udah ngerebut rei dari gue! Udahlah, gue males berdebat sama lo!!”

Tuuttt….tuuttt..tuutt…

Gue menutup telepon dengan kasar. Hari ini gue tidak ingin memikirkan apa-apa. Jantung gue berdetak lebih cepat dari biasanya. Gue yakin kalau gue sedang benar-benar marah dengan semua orang dan keadaan gue sekarang.

***

Pagi ini gue sangat yakin untuk tidak berangkat ke sekolah…ehm… dengan mata sebengkak ini. Gue bahkan tidak sadar dengan apa yang gue rasakan semalam sampai gue bisa benar-benar menangis seperti itu. Stefany berkali-kali menelepon gue sejak semalam. Gue tau dia pasti ingin meminta maaf. Tapi saat ini gue tidak ingin berbicara dan bertemu dengan siapapun. Tidak terkecuali papa gue. Gue heran, kenapa sih dia nggak pernah menyerah untuk membujuk gue agar menerima keinginannya. Gue benci Safira. Dia perempuan yang sudah membuat papa gue buta! Bahkan lupa dengan anaknya sendiri. Gue benci dengan kepura-puraan dia di depan papa. Padahal gue tau dia hanya ingin menguasai harta papa. Di bahkan pernah dengan seenaknya mengganti foto mama dengan foto dirinya di ruang kerja papa. Bagaimana mungkin gue bakal menerima dia sebagai pengganti mama?! Oh damn! I hate her so much. Dan sekarang, di pagi yang kelabu, ditempat yang begitu sunyi dan tenang gue hanya bisa menangis menatap batu nisan yang bertuliskan;

Happy arini

Binti

Jonathan

Lahir : 31 Mei 1985

Wafat : 30 April 2006

“Asha??” gue tersontak kaget saat seseorang menepuk pundak dan memanggil nama gue.

“Iboy..”

***

BUTTERFLY

Kelihatannya lucu.

Dia tepat berdiri di hadapanku dengan senyuman biusnya.

Menatapku seakan tidak ingin melepasku dari genggamannya.

Padahal aku telah jauh berpaling darinya.

Bukan karena aku menolak.

Tapi aku takut.

Bukan saatnya aku menjadi kupu-kupu yang bisa terbang bebas.

Karena aku masih terpenjara.

Belum sempat aku melihat isiku.

Kelihatannya bodoh.

Tapi terus saja ia mengejarku.

Bukan karena aku terlihat lebih menarik dari sekitar.

Tapi dia memilihku.

Aku bersembunyi.

Tapi selalu ia temukan.

Cuma kata itu yang terakhir bisa ku ucapkan.

***

1st diary

Diary ku sayang. Acha bener-bener iri melihat stefy memamerkan buku kecil yang amat lucu kepadaku. Begitu pulang sekolah, acha langsung merengek pada mama untuk dibelikan buku diary. Tentu saja mama dengan senang hati membelikannya buat acha. Inilah kali pertama acha menulis di halaman pertama kertas kamu saat acha berumur 5 tahun, diaryku.

2nd diary

acha kesel banget! Pulang sekolah dengan baju yang kotor, acha berteriak memanggil mama sambil menangis. Padahal ini hari pertama acha masuk SD. Mama yang bingung lantas menarik acha ke kamar dan mengganti baju acha. Dengan masih tersedu-sedu, acha menceritakan betapa menyebalkannya iboy yang sudah mendorong acha ke selokan samping sekolah. Karena iba melihat acha masih menangis. Mama pun mengajak acha jalan-jalan k mol!

3rd diary

Udah setahun acha sekelas sama iboy. Tapi kenapa ya dia selalu isengin acha? Padahal acha selalu baik sama iboy. Acha kan juga mau jadi temannya iboy. Hari ini dia bener-bener keterlaluan. Dia tempelin permen karet di bangku acha. Memang sih ibu guru tina udah menghukum iboy. Tapi gara-gara itu iboy malah tambah kesel sama acha. Emang acha salah apa sih sama iboy?

4th diary

Ini hari pertama aku masuk sekolah sebagai murid kelas 3. Ibu guru arsih memindah tempat dudukku tepat disebelah iboy. Aku sempat kaget, begitu juga dengan iboy. Tetapi teman-temanku justru bersemangat meledek kami berdua. Yang berbeda malah sikap iboy yang lain dari biasanya. Dia kelihatan nggak keberatan dengan semua ini. Aku hanya tersenyum disebelahnya.

5th diary

Aku nggak pernah nyangka aku bakal sedekat ini dengan iboy. Kami sekarang sudah bersahabat baik. Dia selalu membelaku dan tidak pernah menjahiliku lagi. Dan hari ini, mama dan papa menyiapkan pesta ulang tahun kejutan buat aku. Pesta ulang tahunku yang ke-9. Aku senang sekali. Semua teman-temanku datang. Dan yang membuat aku semakin bahagia karena untuk pertama kalinya aku bertemu katy. Dia adalah kado terindah yang di berikan mama dan papa untukku. Seekor kucing Persia putih yang sangat cantik.

6th diary

Tahun yang benar-benar sulit untukku. Mama dan papa sering berantem. Aku berharap ini bukan awal yang buruk untukku. Hanya katy satu-satunya temanku tempat berkeluh kesah.

7th diary

Finally. Papa dan mama memutuskan untuk bercerai. Papa memaksaku untuk tinggal bersamanya. Aku menangis semalaman. Aku ingin mama. Tapi papa nggak peduli! Aku mulai benci papa.

8th diary

Masuk SMP bukan hal yang gue inginkan. Gue kehilangan semuanya. Termasuk sahabat gue iboy! Setelah lulus SD dia pindah bersama orang tuanya ke amerika. Awalnya gue mengira gue nggak bakal punya teman disini. Tapi gue salah. Gue bertemu stefany. Teman gue waktu TK.

9th diary

Hari ini ulang tahun gue. Hanya ada stefany yang ada di samping gue sekarang. Sebenarnya gue berharap ada mama. Gue tiba-tiba teringat mama. Dimana mama sekarang. Apa dia sama sekali nggak mengingat gue? Papa?? Ah, gue sangat yakin kalau dia nggak bakal mengingat hari ulang tahun gue. Dia terlalu sibuk dengan segala urusannya. Tapi gue salah. Dia ingat! Sebuah kunci mobil mewah beserta supir telah siap mengantar gue kemana pun gue pergi. Huff, padahal gue Cuma perlu pelukan dan ucapan selamat dari papa. Bukan sebuah mobil mewah untuk anak berusia 13 tahun!

10th diary

Gue senang banget hari ini. Kak pipi, saudara sepupu gue datang dari singapura. Dan yang lebih membuat gue loncat kegirangan karena dia bakal tinggal di Indonesia. Dirumah gue! Akhirnya gue punya teman curhat selain katy. Hehehe..

11th diary

Papa!!! Entah betapa kesalnya gue kepada papa. Hari ini dengan gampangnya dia membawa seorang perempuan kerumah dan memperkenalkannya sebagai calon nyokap baru gue! Nggak bakal! Gue tau betul watak wanita seperti itu. Dari fisiknya yang begitu cantik (yah, harus gue akui dia emang cantik) dan usianya yang masih sangat muda untuk pendamping papa gue. Gue yakin dia hanya mengincar harta papa! Dan gue nggak bakal membiarkannya. Kak pipi sejak tadi mencoba menenangkan gue. Tapi tetap saja itu nggak bisa meluluhkan hati gue. Belum lagi kejadian di sekolah tadi yang cukup membuat gue muak. Hari pertama gue masuk sebagai siswi SMU justru membuat gue mendapatkan musuh besar, sassy!!

12th diary

Setelah hampir dua tahun kak pipi tinggal bersama gue disini. Gue baru tau maksud kedatangannya sekarang. Gue nggak pernah menyangka bahwa kak pipi ternyata kabur dari rumahnya di singapura karena dia di diagnosa menderita kanker otak. Tidak ada seorang pun yang tau kalau saja gue dengan nggak sengaja masuk ke kamar kak pipi dan menemukan lembar diagnosanya 2 tahun yang lalu. Gue baru saja berniat mengabari papa kalau saja telepon dari rumah sakit itu tidak membuat gue tersentak. Kak pipi di rumah sakit. Gue dengan segera menuju kesana. Rupanya disana sudah ada papa dan kedua orang tua kak pipi. Begitu melihat gue datang, sontak mama kak pipi berlari menghampiri gue sambil menagis. Belum sempat dia berkata pad ague, seorang dokter keluar dari ruangan kak pipi dan mengabarkan hal yang sama sekali nggak ingin gue dengar. Semua orang dia menangis, tak terkecuali papa yang sudah menganggap kak pipi seperti anak kandungnya sendiri. Tetapi, mengapa gue sangat susah mengeluarkan air mata.

13th diary

Hari ulang tahun gue. Dimana gue genap berusia 17 tahun. Tapi entah mengapa gue nggak merasa bahagia sedikitpun. Padahal papa sudah berjanji tidak akan memaksaku untuk menerima keinginannya menikah dengan safira. Padahal kemarin gue bertemu kembali dengan iboy dan dia berjanji hari ini akan datang ke pesta ulang tahun gue. Harusnya gue senang karena sekarang gue berada di dekat orang-orang yang gue sayangi. Tapi hanya karena selembar kertas yang gue terima seminggu yang lalu telah berhasil membuat hidup gue hancur. Dokter bahkan telah berkali-kali membacakan pada gue hasil pemeriksaan itu. Yah, jantung kiri gue bermasalah. Harusnya gue sadar akan kesakitan yang amat sangat pada jantung gue tiga tahun yang lalu. Tapi gue terlambat menyadarinya. Dokter mengatakan bahwa gue nggak akan bertahan hidup lebih lama lagi. Dan di penghujung acara pesta gue tadi. Gue dengan berat mengatakan selamat tinggal pada mereka semua yang menghadiri pesta gue. Termasuk pada sassy. Gue juga terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada diary gue yang telah menemani gue selama 13 tahun ini. Inilah kali terakhir gue menggoreskan tinta di lembaran kertas terakhirnya.

Good bye my diary.

***

Setiap orang berhak mendapatkan apapun yang mereka inginkan.
Bukan karena egois, tapi itulah hak.

Yang berbeda hanya dari kegunaannya.

Mungkin salah jika memaksakan.

Tapi tidakkah benar untuk memendam?

Bila setiap manusia diciptakan berbeda.

Haruskah keinginan itu berbeda?

Salahkah jika hanya ingin menemukan??

Lantas apa yang benar?

Tuhan tahu benar dimana diri-Nya menempatkan.

Tak sepantasnya memang manusia mengeluarkan batas syaraf mereka.

Tapi bukan salah mereka.

Hati ini yang bekerja.

Untuk terus mendorong dan memaksa berkata.

Bukan mulut yang berteriak ataupun tangan ini yang menggapai.

Tapi hati ini selalu beriak.

Layaknya air mendidih yang terus mengepulkan asapnya keluar.

Bukan salah mereka.

Karena aku juga tak mampu menahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun