Mohon tunggu...
Ghea Zara
Ghea Zara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fall in love with writing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Istana tanpa Gerbang 1

2 Oktober 2012   15:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:21 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog.

Februari 2011

Hembusan angin panas dan debu yang terbang berkeliaran disekitar cukup mengganggu penglihatanku. Tapi bukan itu yang membuat langkahku gontai dan sulit menapakkan kakiku untuk terus melaju. Sesuatu yang tidak pernah kusangka secepat kilat mampu membuatku tersontak dan merasakan getaran yang sangat hebat di dadaku. Tepat di hati.

Mungkin tidak ada yang lebih menyakitkan bagiku selain kata-kata maaf darinya yang tertera di layar ponselku.

From : Luvfamz Mama

cha, mama minta maaf ya,seharusnya icha pulang mama bs memberi sesuatu yg bs membuat icha nyaman, insya allah suatu saat pasti bs mama beri, itu saja harapan mama membuat bahagia kalian, amin

Aku lemas. Benar-benar serasa sesuatu benda berat menimpa kepalaku. Aku bahkan tidak merasa lapar yang kurasa tadi. Aku harusnya tahu kalau hal ini pasti terjadi. Tapi tidak secepat ini. Ini bukan yang kuharapkan. Tapi hal inilah yang selalu menghantuiku. Sejak aku menapakkan kaki disini, dirumah yang awalnya nyaman dan terlihat indah. Seperti istana menurutku. Tapi justru disinilah duniaku berubah gelap.

Agustus 1998

“Icha mau kamar yang mana?” aku cukup tersontak dengan pertanyaan mama. Wah,sepertinya dari tadi aku terlalu terkagum kagum dengan rumah baruku ini. Rasa senang terlihat jelas di wajahku.

“Icha boleh pilih kamar yang mana aja ma?” hanya anggukan dan senyuman yang diberikan mama. “Huaaa..kalau gitu icha mau kamar yang didepan. Emm,apa yang dibelakang aja yah??” seruku sambil berpikir dan berlari bolak balik menyusuri dua kamar yang aku inginkan.

September 1999

Hari ini seperti hari-hari biasa menurutku. Tapi tidak bagi mereka. Teman-temanku girang dan terlihat bahagia sekali dengan memamerkan pakaian dan bekal mereka. Yah,memang kebiasaan disekolahku memperbolehkan siswanya berpakaian bebas pada hari ini. Hari pembagian rapor. Harusnya aku cukup senang dengan pujian beberapa temanku karena pakaian yang aku gunakan sangat indah. Tapi bukan itu yang aku inginkan. Aku malah iri melihat Chika yang walaupun berpakaian sederhana dia terlihat manis. Karena tawanya. Aku iri melihat tawanya. Tawa bahagia disamping kedua orang tua yang pagi ini menemaninya. Sedangkan aku? Hanya sendiri. Itulah sebabnya aku mengatakan hari ini hari yang biasa saja. Seperti kemarin-kemarin.

Panasnya terik matahari pagi ini rupanya tidak juga membuyarkan semangat Pak Botak-panggilanku untuk kepala sekolahku- untuk terus berkomat kamit di tengah lapangan. Tidak sadarkah dia kalau aku dan semua orang cukup dan bahkan sangat bosan mendengarkan pidatonya yang hampir sama sepanjang tahun? Aku tak pernah habis pikir akan hal itu.

“Foy,.foy,.foyra!”

Aku tersontak kaget. “Apaan sih Chi? Kamu bikin aku kaget aj” gerutuku kesal.

“Nama kamu dipanggil tuh. Dari tadi tau!”

“Hah??” aku melongo. “Dipanggil apa?”

“Ih, kamu lagi bengong yah? Kamu dipanggil tuh. Kamu dapat rangking 3 Foy! Selamat yah!!” Seru Chika girang.

Aku masih terdiam. “Ih,kok malah bengong? Cepet sana.”

Aku masih belum percaya. Tapi Chika dan teman-temanku yang lain juga tidak mungkin membohongiku. Dengan langkah berat aku perlahan maju ke depan lapangan. Tepat berjejer dengan Pak botak, upss Pak Surya maksudku.

Aku menengok ke sebelahku. Wow, aku berjejer dengan orang-orang pintar. Mungkin aku tidak bodoh. Bahkan cerdas kata orang-orang. Hanya saja aku orang yang cukup pemalas. Jadi aku tidak pernah merasakan masuk peringkat 3 besar. Aku sampai gemetaran saat menerima piagam dari Kepala sekolah. Dan untuk pertama kalinya aku melihat dia tersenyum padaku. Wow, amazing. Mungkin karena predikatku sebagai “Pembuat Onar”.

*  *  *

Sudah hampir jam dua belas siang dan jemputanku belum juga datang. Padahal aku sudah sangat tidak sabar memperlihatkan Rapor ku kepada mama dan papa. Kulihat sekitar. Hanya tinggal beberapa anak termasuk aku yang masih menunggu jemputan. Yah, mungkin kupikir tidak ada salahnya menelepon kerumah. Lantas aku bergegas berlari ke ruang Tata Usaha untuk meminjam telepon.

Tutt...tutt…tutt

“Kenapa tidak ada yang mengangkat telepon ya? Mungkin tidak kedengaran. Ku coba lagi saja.”

Tutt…tutt..

“Haloo…” huff, akhirnya.

“Mama, icha kok belum di jemput?”

“Oh iya, mama bilang papa dulu yah supaya jemput kamu. Tunggu aja ya”

“Heuff… “ Aku menghela nafas panjang. Mereka lupa jemput aku ternyata. “Emm ya udah. Oh ya ma, Icha dapat rangking tiga loh!!” kataku semangat.

“Oh yah? Selamat ya. Kamu tunggu aja di depan, bentar lagi papa jemput kamu.”

Tutt.tutt.tutt.tutt

Yap, telepon di tutup begitu saja. “Bukan seperti itu yang aku inginkan ma” bisikku pelan. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju gerbang sekolah.

1.

Nama gue Foyra Raishabella Alexandria, keluarga gue biasa manggil gue Icha. Tapi gue lebih dikenal sebagai Foy oleh teman-teman gue. Tahun ini gue genap 20 tahun. Itu merupakan hal yang paling gue takutin. Karena di usia itu gue resmi dan harus menjadi dewasa. Sekarang gue adalah seorang mahasiswi tingkat 3 di salah satu universitas swasta terkenal di Jakarta. Yap, kampus ellite, mobil, dan sebuah apartemen mewah sudah biasa menemani hari-hari gue. Bukan sombong, tapi gue memang memiliki semuanya. Sebagai ‘hadiah’ hilangnya kebahagiaan gue. Tapi gue cukup menikmati ini. Hanya satu hal yang tidak bisa gue terima. Kuliah di jurusan Manajemen Bisnis! Itu serasa beban di otak gue karena keinginan terbesar gue ingin menjadi seorang photographer. Dan papa memang satu-satunya orang yang paling bertanggung jawab dengan masa depan gue.

“Foy, gue baru dengar dari Shinta katanya lo mau gabung yah sama geng pinky najis tralala itu? Oh my god Foyra, lo udah gila apa?!” seru shasa sambil memegang kening gue dengan punggung tangannya. “Nggak panas kok!” serunya sekali lagi.

“Apaan sih lo? Gabung apa? Gue nggak ngerti deh.” Jawab gue gusar.

“Hah? Lo masih nyangkal juga foy? Seluruh kampus juga tau foy kalau lo sama geng pinky pinky itu mau gabung bareng buat tugas proyek kita. Gila lo apa?! Emang nggak ada orang lain yang lebih berkualitas dari pada gerombolan tukang gosip itu? Pokoknya gue nggak setuju! Huh!” teriak shasa sambil memalingkan mukanya.

Aneh menurut gue, orang sekampus bisa begitu hebohnya mendengar gue dan Manda bisa kompak apalagi sekelompok dalam tugas proyek seperti itu. Manda harusnya sahabatku, tapi dia terlalu menganggapku saingan semenjak kami sama – sama duduk di bangku sekolah dasar.

“Foy! FOYRAAA!!” teriak shasa di telinga gue.

“Ish, gila kali lo. Lo mau bikin telinga gue copot?!” gerutu gue.

“Sekarang jawab gue jujur. Lo beneran gabung satu kelompok sama Manda? Emang nggak ada orang lain apa? Ini manda loh foy, MANDA!!”

“Sekali lagi lo teriak di telinga gue. Awas lo! Lagian bukan mau gue satu kelompok sama manda. Pak Dary yang menentukan semuanya. Gue juga ogah kalau harus sekelompok sama dia. Ah, udah deh. Gue mau cabut” kata gue sambil berlalu.

“Lah, lah.. Foy, tunggu! Gue ikut!! “

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun