Mohon tunggu...
Gadis PrimaNamirah
Gadis PrimaNamirah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Faktor Kurangnya Wibawa dalam Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

21 November 2021   23:48 Diperbarui: 21 November 2021   23:57 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contempt of court dapat dimaknai sebagai upaya untuk melanggar, menghina, memandang rendah pengadilan. Contempt of court (CoC) merupakan istilah yang belum memiliki padanan istilah dalam bahasa indonesia secara pasti. Namun, secara garis besar dapat dinyatakan bahwa contempt of court di Indonesia diatur dalam berbagai bidang peraturan. Ada yang diatur dalam bentuk peraturan tata tertib, ada juga yang sudah diatur dalam norma undang-undang pidana. 

Bentuk perbuatan dari CoC sendiri sampai saat ini masih belum bersifat pasti. Dalam Jurnal Ius Constituendum yang ditulis oleh Syarih Nur Hidayat (2021 : 75) Belum lama ini, Komisi Yudisial melakukan survei persepsi secara tertutup kepada para hakim di tingkap pertama, mengenai perbuatan apa saja yang bisa disebut atau dikategorikan sebagai CoC. Hasilnya meski masih sementara sudah diterbitkan secara terbatas dalam kelas Training of Trainer Klinik Etik dan Hukum di Bogor, sebagai berikut:
1. Membuat onar atau gaduh di pengadilan (misbehaving in court).
2. Mengalangi atau mengabaikan putusan BHT (Berkekuatan Hukum Tetap) (disobeying court order).
3. Demonstrasi yang mengganggu proses persidangan (obstracting justice).
4. Terror/ ancaman/ intimidasi (obstracting justice).
5. Pencemaran nama baik hakim atau pengadilan (Scandalising Court).
6. Kekerasan fisik terhadap Hakim (obstracting justice).
7. Perusakan sarana dan prasarana pengadilan (misbehaving in court).
8. Komentar berlebih terhadap proses pengadilan maupun putusan yang belum BHT (subjudice rule).

Hampir tiga dasawarsa berlakunya UU PTUN masalah pokok yang mengganjal adalah menyangkut ekesekusi putusan PTUN itu sendiri. 

Dalam sengketa tun, dalam hal tergugat tetap tidak melaksanakan kewajiban, maka pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan sampai kepada Presiden sebagai pemegang otoritas kekuasan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

Mekanisme pelaksanaan putusan pada dasarnya ditetapkan oleh UU. PTUN. Namun demikian tidak ada ketentuan akibatn jika tidak melaksanakan perintah Presiden untuk melaksanakan putusan pengadilan. 

Sehingga, efektivitas suatu putusan pengadilan tergantung kepada kesukarelaan instansi yang menerbitkan beschikking tersebut untuk melaksanan putusan pengadilan.

Pejabat administratif yang menjadi tergugat dan dikalahkan oleh PTUN merupakan subjek hukum, wajib melaksanakan putusan pengadilan. 

Kewajiban untuk mematuhi putusan pengadilan dapat dikonstruksikan bahwa jika pejabat administrasi secara sengaja tidak mematuhi putusan, hal itu digolongkan telah melakukan pelanggaran hukum, karena telah mengabaikan putusan pengadilan. Tindakan demikian tergolong ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan yang di dalam tradisi common law disebut dengan contempt of court. 

Tidak terlaksananya putusan pengadilan tata usaha negara juga dapat dikatakan sebagai bagian dari contempet of court dikarenakan berdasarkan survei persepsi Komisi Yudisial secara tertutup, mengalangi atau mengabaikan putusan BHT atau berkekuatan hukum tetap adalah bagian dari contempt of court.

Berdasarkan artikel dalam jurnal Ilmu Hukum yang ditulis oleh Fatria Khairo (2017 : 597), terdapat beberapa faktor atau alasan yang memungkinkan tidak terlaksananya putusan tata usaha negara. Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya wibawa terhadap pelaksanaan Putusan Peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut :

1. Yang menjadi eksekutor di dalam permasalahan terletak pada tangan tergugat sendiri. Tergugat seharusnya ssuka rela melaksanakan pelaksaan putusan peradilan TUN tersebut. Putusan pengadilan tata usaha negara merupakan putusan pengadilan yang memerlukan pelaksanaan. Putusan pengadilan yang memerlukan pelaksanaan adalah putusan yang bersifat menghukum (condemnatoir) yang memerlukan bantuan dari pihak yang kalah perkara artinya pihak yang bersangkutan harus sukarela melaksanakan putusan Pengadilan. Peraturan yang mengatur Pelaksanaan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dalam sengketa kepegawaian diatur dalam Pasal 116 Undang -- Undang No. 51 tahun 2009.

2. Bahwa belum ada aturan yang mengatur permasalahan tentang hasil monitoring dan evaluasi terhadap jalannya pelaksanaan putusan peradilan TUN dilapangan. Sehingga Pihak Peradilan TUN tidak mengetahui apakah Putusan tersebut telah dilaksanakan atau tidak, bahkan dari berdasarkan temuan, pelaporan hanya berdasarkan penyampaian tergugat hanya melalui telepon atau pada saat pihak tergugat melengkapi berkas untuk pelaksanaan eksekusi putusan tersebut.

Hal tersebut didasarkan pada Pasal 116 No. 3 Undang -- Undang No. 51 tahun 2009. Pasal tersebut secara tidak langsung menjelaskan bahwa pengadilan tata usaha negara tidak memiliki ketentuan atau kewajiban untuk menuntut dan mengawasi terlaksananya putusan secara langsung. Hal tersebut menimbulkan kesenggangan dalam pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara.

3. Permasalahan dwangsom yang hanya Berkisar Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 5.000.000,-
Hal tersebut didasarkan pada Pasal 116 No. 4 Undang -- Undang No. 51 tahun 2009. Angka denda yang ditetapkan dalam dwangsom terkesan kecil bagi pelaksana putusan pengadilan tata usaha negara dan tidak mengandung nilai keadilan didalamnya. Sehingga atas nominal dwangsom tersebut dapat memungkinkan tidak terlaksananya putusan pengadilan tata usaha negara.

4. Kurangnya kesadaran pejabat negara sebagai tergugat dalam mematuhi aturan hukum atau mematuhi putusan hakim agar tercipta keadilan dan keharominisan hukum.
Pada tahun 2017 diperkirakan berjumlah lebih dari 15.000 laporan di antara itu terkait dengan tidak dieksekusinya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal tersebut membuktikan rendahnya para subjek dalam perkara tata usaha negara dalam melaksanakan putusan tata usaha negara serta menambah kemungkinan semakin rendahnya wibawa pengadilan tata usaha negara.

5. Tidak adanya lembaga eksekutorial khusus atau lembaga sanksi yang berfungsi untuk melaksanakan putusan.
Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam poin pertama bahwa putusan tata usaha negara yakni putusan pengadilan yang memerlukan pelaksanaan yang bersifat menghukum (condemnatoir). Pelaksanaan tersebut memerlukan bantuan dari pihak yang kalah perkara artinya pihak yang bersangkutan harus sukarela melaksanakan putusan Pengadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun