Di era digital yang serba instan ini, muncul fenomena yang dikenal sebagai cancel culture. Fenomena ini merupakan praktik menyerukan boikot terhadap individu, kelompok atau instansi karena perilaku atau pernyataan yang dianggap tidak pantas. Pada beberapa platform media sosial, seperti Twitter, Instagram, juga Tiktok, hal ini cukup sering dipraktikan. Namun, apakah cancel culture benar-benar memberikan solusi atas masalah sosial, atau justru menciptakan masalah baru?
Fenomena ini muncul sebagai hukum sosial yang efektif untuk memberikan keadilan. Dalam kasus seperti Johnny Depp, seorang aktor Amerika yang mengalami penurunan popularitas setelah dituduh melakukan kekerasan fisik oleh mantan istrinya, Amber Heard. Meskipun Johnny Depp mengelak dan balik menggugat Amber, reputasinya telah tercoreng dan membuat ia sulit mendapatkan peran di Hollywood. Fenomena ini juga pernah dialami influencer dalam negeri, Rachel Vennya. Ia sempat menjadi sorotan pada akhir tahun 2021 karena melakukan pelanggaran karantina COVID-19. Aspek positif dari fenomena cancel culture ini adalah mendorong kesadaran sosial dengan mengkritisi perilaku melenceng ; seksis, rasis, dan diskriminatif. Tokoh-tokoh publik kini lebih berhati-hati dalam bersikap, karena "netizen mengawasi". Akan tetapi, dibalik manfaatnya, masih ada sisi gelap yang tidak bisa kita abaikan. Cancel culture seringkali berubah fungsi menjadi media penghakiman massal tanpa proses yang jelas. Banyak kasus yang menggambarkan seseorang dihukum di ruang publik sebelum kebenarannya terungkap. Praktik ini juga berpotensi mengancam hak atau kebebasan berbicara. Rasa takut akan "dicancel" membuat banyak orang memilih untuk tidak bersuara. Output yang dihasilkan dari cancel culture juga perlu dipertanyakan. Apakah menghancurkan reputasi seseorang membuat orang tersebut berubah dan menjadi lebih baik? Di beberapa kesempatan, cancel culture gagal menciptakan hasil akhir yang membangun dan tak jarang malah berakhir dengan polarisasi atau perdebatan berkepanjangan.
Cancel culture memang mencerminkan kebutuhan khalayak dalam menuntut keadilan, tetapi jika penggunaannya tidak dilakukan dengan bijak, praktik ini justru akan menimbulkan lebih banyak masalah. Apa yang sebenarnya kita inginkan, keadilan atau sekadar penghakiman? Pada akhirnya, cancel culture akan baik untuk dilakukan jika diiringi dengan pertimbangan terkait nilai yang terkandung ; pembelajaran dan perbaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H