Ada banyak hal yang aku rasakan saat ini, namun lebih pada luka. Cintaku ditolak oleh seorang wanita yang bagiku istimewa. Ia beralasan simpel sekali, sekedar tidak ada kecocokan denganku. Aku dibuat sakau olehnya. Hari-hariku hanyalah merenung, menyesalkan atas jawaban darinya tentang rasa yang kupunya. Begitu mudah sekali ia menjawab, tanpa beban, tanpa pikir panjang tentang apa yang akan terjadi padaku. Ah, entahlah. Seakan bagiku mendapatkannya adalah hal sulit, meski cintaku sangatlah besar bila ia tahu, lebih besar dari rembulan bahkan, ah lebay. Semakin aku memikirkannya, semakin aku gila, mungkin bila aku wanita, sudah banyak airmata yang telah tumpah. Dan semakin hari, aku semakin betah merenung, hingga kakek yang memang singgah dirumah, jengkel melihatku, lalu memukul kepalaku. Aku kaget, berbalik aku yang jengkel padanya. Namun untung saja ia kakekku, kalau bukan, maka..........
Lantas kejengkelan kakek yang diikuti dengan rasa penasaran yang membenak, ia tuntaskan dengan bertanya perihal apa yang membuatku seperti ini. Ya aku jawab saja, cintaku ditolak. Mendangar jawabanku, kakek spontan terbahak, hingga giginya yang habis dimakan usia benar-benar nyata kulihat. Aku bingung kenapa kakek segembira itu. Tanpa kuungkapkan kebingungan ini kakek seolah mengerti dan bercerita.
"Cu, sebenarnya kakek bukanlah kakek kandungmu, namun ibumu saja yang memaksaku untuk menjadi ayahnya, jadi kakek ini ayah angkat bagi ibu yang melahirkanmu. Kakek tidak memiliki istri, apalagi anak bahkan apalagi cucu. Kakek masih bujang cu".
 Mendengar apa yang dikatkan kakek, kamu sebagai pembaca tentu sudah mengerti bukan, bagaimana bentuk wajahku? Pikiranku semakin kacau, rasanya otakku tambah konslet, namun sebelum kekacauan ini berlarut, kakek segera melanjukan pembicaraannya.
        "Dulu, kakek juga pernah mengalami keterpurukan seperti yang kamu rasakan saat ini, namun kisahnya beda. Kakek tidak pernah cinta dengan wanita satu pun pada waktu itu. Tapi yang ingin menjadi istri kakek, banyak jumlahnya. Memang dulu kakek terkenal tampan, pandai, dan bijak dalam setiap kata, kakek multitalenta, dan ibumu itu termasuk salah satu bimbingan dari sekian banyak bakat kakek. Singkat cerita, cu. Pada suatu hari yang sekarang sudah kakek lupakan kapan itu terjadi. Ada wanita cantik datang kerumah tanpa ditemani seseorang. Ia seorang penyair, ia mempunyai keahlian mengolah kata, ia memilik banyak karya buku, herannya Ia kerumah untuk mengikuti jejak langkah wanita-wanita yang ingin menikah dengan kakek. Ya, dengan perkasa kakek tolak. Sebab kakek tak ingin semudah itu untuk didapatkan. Tapi yang bikin kakek terkejut, ia hanya tersenyum mendengar jawaban keogahan yang kakek ucapkan. Tak seperti wanita-wanita lain yang langsung menangis tak karuan, bahkan ada yang bunuh diri sebab keterpurukannya pada kakek. Lah, wanita ini berbeda, cu. Tak kudapati dari wajahnya sebentuk kecewa. Malah ia berterimakasih telah merasa diyakinkan dengan jawabaku, bahwa suatu saat aku akan melamarnya, bahkan katanya, aku tidak akan melamar wanita lain kecuali dia, dengan berdalih Tuhan Maha Adil dalam cinta. Kakek hanya tertawa kecil mendengar penuturannya, sambil garu-garu kepala kakek bilang padanya, kamu ini penyair atau peramal atau bahkan penyihir?. Lantas ia pamit pulang mengabaikan perkataan kakek dan meninggalkan serpihan kata 'Insyaallah kau akan meminangku' dan kakek masih biasa-biasa saja".
        "Terus, mana letak keterpurukan yang kakek maksud?" Aku memotong ceritanya, biar ada jeda.
        "Bentar dulu, untuk melanjutkan cerita ini, kakek butuh rokok sebagai pengontrol emosianal, sebab ini butuh banyak tenaga mental". Sembari kakek mengambil sebatang rokok dinyalakanlah korek api disulutkan pada rokok, ia menghisap pelan lalu berhamburan asap rokok yang mengepul dari mulutnya yang mulai hilang bentuk.
        "Uhuk, uhuk. Setelah itu, cu. Tak jauh dari kakek kaki wanita itu melangkah, ia sempat berbalik badan dan melambaikan tangannya pada kakek, sembari mengulang kembali apa yang sempat ia katakan seblemunya 'Insyaallah kau akan meminangku' dan tangannya yang masih melambai-lambai. Seketika ia hendak berbalik dan menyeberang jalan. Mata kakek berdecak, cu. Dari sinilah awal keterpurukan dimulai, ia benar-benar penyair, benar-benar peramal, benar-benar penyihir, ia tertabrak mobil. Sedangkan aku seketika menggigil, dengan tanpa terpaksa dan entah dari mana aku dapatkan serpihan kata 'Ku pinang kau dengan insyaallah' seketika aku seolah berpuisi, ramalannya terjadi, sihirnya mengutuk abadi. Ia mati.
        "Jadi?"
        "Iya cu, hingga saat ini kakek sedang meminangnya dengan insyaallah".   Â
Â
Toabo, Â Ahad 31 01 21 M