[caption id="" align="aligncenter" width="375" caption="Komunitas Muslim di Myanmar"][/caption]
Mentari pagi belum muncul saat saya dan empat kawan seprofesi tiba di bekas ibu kota Myanmar, Yangon akhir tahun lalu. Denyut kehidupan di kota terbesar di Myanmar itu pun belum berjalan normal pada subuh itu.
Di tengah menunggu kawan lainnya menjemput kami yang berada di tengah-tengah pagoda Shule dan monumen kemerdekaan Myanmar di tengah Kota Yangon, sayup-sayup terdengar suara adzan subuh yang memecah keheningan kami. Tak lama, kawan kami dengan hanya memakai kaus dan bersarung tergopoh-gopoh menghampiri kami.
"Ayo cepat, sudah mau qomat (iqomah) nih, tadi malam saya tidur di masjid, tapi sudah biasa sih sebenarnya beberapa hari ini tidur di masjid," kata jurnalis asal Bandung, Jawa Barat itu.
Pernyataannya tentu membuat kami heran. Meski terlihat sederhana, sang jurnalis ini yang kami ketahui menginap di salah satu hotel di tengah Kota Yangon, tentu seharusnya tidak perlu repot-repot tidur di masjid seakan tak punya tempat menginap.
Keheranan kedua, dengan santainya ia bisa tidur di masjid di tengah Kota Yangon. Untuk keheranan ini, kami saya mendasarinya dari kerusuhan antara mayoritas Buddha dan minoritas muslim di sejumlah daerah di Myanmar yang disebabkan ekstremis Buddha. Belum lagi, perlakuan diskriminatif pemerintah Myanmar kepada etnis Rohingya yang mayoritas merupakan umat musilim.
(Keheranan (dan sedikit kegusaran) itu dijawab oleh teman kami bahwa suasana keberagamaan di Yangon relatif lebih aman dibandingkan wilayah lain. Sementara soal tidur di masjid, menurutnya ia lakukan hanya menjelang subuh saja saat pintu masjid sudah dibuka.
Saat matahari mulai memancarkan sinarnya, barulah kami mulai meyakini perkataan teman kami tadi. Umat muslim dengan atribut yang menunjukkan keyakinannya, banyak berseliweran di jalanan Kota Yangon, entah pria berjanggut memakai peci, atau wanita muslim yang menggunakan kerudung atau bahkan burqa.
[caption id="attachment_336832" align="aligncenter" width="447" caption="Biksu Perempuan cilik di Yangon"]
Mereka berjalan beriringan dengan umat Buddha yang juga lalu lalang dengan atribut keagamaannya. Yangon memang menawarkan keberagaman baik dari segi etnis maupun kepercayaan. Contohnya, Pagoda Shule, secara diagonal diapit oleh masjid dan gereja.
Saat sarapan, saya diajak oleh kawan saya untuk mencicipi makanan di komunitas muslim. Benar saja, saat saya duduk di bangku kecil untuk menikmati roti telur dan nasi goreng yang penjualnya merupakan pria India yang mahir berbahasa melayu karena pernah tinggal di Malaysia, saya mendapati hampir seluruh pengunjung yang makan di sana adalah umat muslim, setidaknya dari atribut yang dipakai.