Steven Spielberg boleh berbangga ketika film gubahannya berjudul The Post (2017) itu menarik banyak khalayak, ketika perenan media cetak membuka tabir gelap pemain politik di Amerika Serikat. Media cetak itu jadi bagian penting dalam menyampaikan informasi apapun termasuk politik sekalipun.
Pada (02/01/2023) terlintas kabar dari Koran Republika tak lagi menerbitkan edisi cetak. Media cetak yang usianya hampir tiga puluh tahun itu, resmi hengkang dari edisi cetak. Pagi hari sekitar pukul 08:00, terlintas kabar langsung dari pengantar Koran yang menginformasikan kabar tersebut.
Republika resmi berpindah secara daring. Spekulasi hengkangnya republika pun memantik pelbagai asumsi. Mafhum dari segi produksi hingga aspek teknologi alternatif menjadi kunci bagaimana media cetak riskan berpindah bentuk menjadi digital.
Zaman terus mengalami perubahan. Begitupun juga dengan media cetak. Beberapa media seperti Intisari, Kompas dan Tempo pun punya alternatif untuk menyuguhkan informasi yang mereka miliki. Adalah media digital yang bisa kita baca dengan hanya menggunakan gawai kita.
Lihatlah, media cetak semakin hari semkin ditekan oleh realitas. Atas nama kemajuan media cetak akhrinya mulai menepi digantikan oleh produk pikir manusia bernama media digital. Wah, sangat begitu mencengangkan bila kita kita lihat kebelakang bagaimana media cetak itu memiliki pengaruh atas perubahan sosial.
Digitalisasi itu jadi produk modernitasi. Modernitas memang terkesan subyektif dari masa ke masa. Penemuan mesin uap Thomas Newcoman akan dibilang produk zaman paling maju pada waktu. Begitu juga dengan mesin cetak. Waktu itu mesin cetak jadi barang yang dianggap paling mutakhir untuk menyampaikan informasi kepada khalayak umum.
Modernitas merupakan gejala sosial. Menyadur dari J.W. Schoorl (1980) bahwasannya modernitas itu ialah realitas dari zaman diamana suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Aspeknya tidak hanya satu, melainkan multi aspek yang memiliki kesaling kesinambungan yang membuat peradaban itu berubah.
Manusia terus mengalami perkembangan berpikir. Mereka terus bergerak agar dapat lebih baik dari sebelumnya. Menyoal media cetak sendiri, banyak memiliki kontribusi bagi medio perubahan sosial di Indonesia. Dari era reformasi hingga hari ini pun, media cetak masih dipercaya dalam menyampaikan informasi ataupun data.
Kita sering kali mendengar, bagaimana proses perjuangan kemerdekaan itu dimulai dari pembuatan media cetak. Serikat Dagang Islam yang awal mula diprakarsai oleh Tirto Adie Soerjo pada yang dimulai dengan memprakarsai media cetak bernama Medan Prijaji (1907), media cetak itu juga dipahami sebagai alat propaganda untuk mendorong masyarakat Indonesia bersatu menghantam kolonialisme di Indonesia.
Sepak Terjang Media Cetak Nusantara
Sejarah merekam setiap peristiwa termasuk halnya media cetak. Doenia Bergerak  (1914), Medan Prijaji (1907), Rakyat Bergerak (1923) hingga Harian Rakyat (1951), dan beberapa media cetak lain menjamur menyuluh genderang perjuangan. Pada masa itu, media cetak menjadi pemantik api perlawanan.
Pada media perjuangan kemerdekaan, mafhum mereka memberikan sentilan kuat atas kolonilisme yang dilakukan oleh penjaja. Jurnalis berperang menggunakan pena. Jurnalisme waktu itu juga ladang tempur ideologis. Misal saja Mas Marco Kartodikromo yang notabene ialah anak didik dari Tirto Adisoerjo dengan judul Awas! Kaom Joernalist, bersuara lantang pada 14 Agustus 1918 terbit di Sinar Hindia, melalui puisi menggelegar untuk memupuk keberanian atas resiko ancaman berujung mati bagi seorang pejuang sejati.
Medan Prijaji gubahan Tirto Adisoerjo jadi penanda pergerakan awal untuk memberikan informasi, pendobrak tabir kolonialisme, sampai pembentuk kesadaran kolektif melalui wadah organisasi. Kepiawaian Tirto Adisoerjo itu pada tahun 1909, lalu membentuk Serikat Dagang Islam dan selanjutnya ia mengirim surat ke Laweyan Surakarta, mengajak borjuis batik H. Samanhudi untuk memperlebar perlawan.
Naas, medio 1912 karena kuatnya Serikat Dagang Islam menjamur di tanah Surakarta, membuat keberadaan organisasi dibabat oleh kolonial belanda, namun nyalanya itu tak pernah terbendung hingga dipegang oleh orator ulung H.O.S Tjokroaminoto. Tak hanya Tirto Adisoerjo, Haji Misbah yang acap kali di kenal sebagai haji merah, punya senjata media cetak bernama (Rakyat Bergerak; 1923), terpantik oleh perkumpulan IJB (Indiers Journalist Bond).
Ketika Martin Heidegger bersua ke Museum Stedelijk (1930) dan melihat sepatu Van Gogh, selanjutnya Martin mengangkat pengalaman tersebut melalui ceramahnya di Kota Freiburg. Secara empiris ialah sepatu, namun secara historis terdapat pemaknaan nilai, pengalaman yang terkandung didalamnya.
Media cetak acap kali dinilai sebagai lembaran kertas yang bergesekan membuai aroma khasnya itu. Bila kita telaah lebih dalam, setiap lembar yang disajikan itu menorehkan telaah filosofis, bagaimana gurata tinta pada kertas itu memiliki pengalam tersendiri dalam membaca Koran berbentuk fisik.
Kegandrungan media cetak mafhum kita ketahui menuai banyak gilang-gemilang. Perubahan zaman tidak bisa kita bendung. Perubahan demi perubahan harus diamati secara lamat-lamat agar tak keblinger memaknainya. Melibatkan masa lalu itu penting untuk penentuan masa depan yang baik.
Sejak ditemukannya konsep Artificial Intelegence (AI), segala bentuk kebutuhan manusia hampir teratasi. Peralihan media cetak menjadi media daring atau online merupakan gejala baru bagi beberapa media cetak untuk menentukan supply and demand terhadap kondisi hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H