Mohon tunggu...
M. Ghaniey Al Rasyid
M. Ghaniey Al Rasyid Mohon Tunggu... Freelancer - Pemuda yang mencoba untuk menggiati kepenulisan

Orang yang hebat yaitu orang yang mampu untuk mempertahankan prinsip mereka dari beberapa kontradiktif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kali dan Secercah Harapan

10 Agustus 2022   23:19 Diperbarui: 10 Agustus 2022   23:31 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah seorang  Dewa Kali yang dikutuk oleh kayangan, membuat kita selalu merefleksikan diri atas entitas manusia yang bergelut menghantam hawa nafsu. Kali memilih menjadi seorang pelacur. Ia rela tidur dengan manusia biasa, hingga tidur dalam bilik-bilik berbau kecut. Kali memilih jalan itu, karena dunia kayangan begitu mengekang diri agar suci dari makhluk-makhluk lainnya.

Cerita-cerita dari timur, gubahan Marguerite Yourcenar, menguliti kisah Kali yang begitu memilukan dengan judul, Kali dengan Kepala Terpenggal. Kepala kali di penggal oleh Dewa yang turun ke tempat rendahan untuk menghukum Kali yang memilih jalan kelamnya itu.

Kali mati dengan senyum manis diwajahanya, rambut yang terurai mengakar dan alis yang begitu mengisi kecantikan di setiap sisi wajahnya, walapuan telah menjadi bangkai. Dewa membuangnya di sungai suci, agar segera diampuni kelakukan buruknya. Namun, ia bisa hidup kembali ketika manusia menyatukan kerongkongan denga tubuh seorang pelacur yang juga di hukum mati.

Kisah seorang Kali, teringat oleh reportasi Yuyu a.n Krishna dengan judul "Menelusuri Remang-Remang Jakarta." Reportasi itu begitu menarik untuk kita renungkan kembali. Beribu-ribu roh Kali, masuk dalam relung jiwa seorang perempuan desa, yang terjerembab pada bilik-bilik manis semi anyir, untuk memuaskan paria.

Seperti halnya, lagu Kupu-kupu malam buatan Titiek Puspa, dalam lantunan lagu tersebu kita selalu bertanya, "Dosakah yang mereka kerjakan?" Seorang kali, mengingatkan kita agar tak sembrono menilai ini itu seorang pelayan seks yang menerjang ambiguitas hidup ini.

Sampul gambar perempuan yang merokok dan seekor kupu-kupu menclok di bagian kanan wajahnya itu, membuat kita tertarik untuk menelusuri dari bait ke bait atas kehidupan seorang pelayan seks. Hingar bingar Jakarta bergerak silih berganti. Siang dan malam mengubah kondisi kota. Di gang-gang kecil tinggal sebuah kamar-kamar kecil untuk tinggal seorang pelayan seks, menunggu pelanggan yang akan datang.

Kata-kata umpatan terkadang tak bisa dihindarkan ketika munculnya seorang pelayan seks yang kebingungan. Dalam nuraninya ia bingung, mengapa semua ini ada dalam diri mereka. Bak seorang kotor penuh lumpur, orang-orang diluar dari kalangan mereka, berlagak seperti seorang suci yang siap mendikte.

Yuyu A.N Krishna menuliskan begitu detail. Mulai dari aroma, hingga bagaimana kerasnya hidup dalam bilik pelacuran. Krishna memasuki bilik-bilik yang sengaja dibuat untuk memuaskan para hidung belang. Ada sejenis mucikari, yang bisa dikatakan bertanggung jawab dengan para pelacur hidup ditengah gelap-gulita kehidupan.

Pertanyaan-pertanyaan kritis dilontarkan krishna tanpa tedeng aling-aling. Sedikit kecut digambarkan oleh buku tersebut, para pelayan menyampaikan lumayan terbata-bata sembari mengatur nafas ketika harus berbicara sejujur mungkin.

Hal yang begitu menusuk batin ialah, para pelayan seks itu, sejatinya mengetahui bahwasannya hati nuraniya bergeliat agar lekas sembuh dan mencari penghidupan yang lebih baik. Kondisi ekonomi, membuat mereka terhananyut. Bagaimana tidak, bila ia rela keluar dari lingkaran itu, ia tidak bisa membiayai adik-adiknya di desa.

Memang begitu memilukan. Ditengah gemerlap malam yang selalu diapksakan agar tersenyum, hati nuraninya sejatinya memukul sekeras mungkin atas rasa derita. Peran seorang agamawan, akan tetap mengatakan profesi tersebut harap dihindari untuk menggapi ridho semesta. Akan tetapi, kelabunya hidup mereka lebih tepatnya agar dilakukan pendekatan-pendekan halus, agar tak meronta menolak secercah cahaya yang disuguhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun