Baru-baru ini kita digemparkan oleh aksi brutal yang bergejolak di tanah hindustan (India). Tetesan darah, Jeritan, dan sorak-sorak psikopat bergema ditanah India. Hal ini dipicu oleh perasaan etnosentrism pada sektor kebudayaan yang dimana membutakan beberapa masyarakat mayoritas yang bergerak demi kepentingan mereka -darimanapun jalannya.
kejadian bermula ketika pemerintah membuat regulasi baru, terkait dengan pembatasan hak oleh kaum minoritas alias Islam, yang memantik api protes dari berbagai kalangan. Peraturan baru yang dikemas se-elok mungkin menimbulkan beberapa kubu pro dan contra, yang saling memperjuangkan hak-hak mereka.Â
Peraturan yang dibuat oleh penguasa Mondi dimana warga negara yang dicantumkan tidak menyantumkan Islam didalamnya, otomatis mengundang beberapa kritik dari pelbagai golongan khususnya orang islam sendiri.Â
Konflik yang sangat parah diakhir dekade ini mencoreng nama agung Mahatma Gandhi sebagai patronase dalam gerakan perdamaian dan anti kekerasan di India. Nama gandhi hanya sebatas romantisme semata apabila dibenturkan dengan kejadian yang menyangkut 2 budaya dalam satu negara yang saling melukai.
Cinta untuk seluruh manusia
Salah satu hal yang paling melawan arus dari pemikiran Gandhi, ketika ia mampu untuk menyuarakan dan memangkas beberapa stigma terkait dengan kastanisasi yang menindas.Â
Prinsip kastanisasi berdampak kepada pembatasan dan akan berujung kepada cinta yang tidak tulus. Prema (cinta), yang disampaiakan oleh gandhi mempunyai nilai yang sangat bijaksana, untuk mencintasi tanpa padang bulu latar belakang objek yang akan dicintai.Â
Konflik di kota delhi sebagai bentuk kritikan pedas, dimana pemahaman tentang prema seharusnya sudah clear, untuk bisa meniru pemikiran Gandhi akan tetapi sangat berbanding terbalik dan malah menorehkan citra layaknya binatang pemangsa di hutan Afrika.
Untuk mencapai Prema manusia harus mencari suatu kebenaran. Nah! hal ini akan memancing beberapa permasalahan yang fatal apabila tidak bisa menyikapi secara epik layaknya Gandhi.Â