Di balik hiruk-pikuk pemilu dan janji-janji yang terus diulang setiap periode, ada satu isu yang tampaknya sulit hilang: politik uang. Banyak dari kita mungkin sudah tidak asing dengan istilah ini, bahkan bisa jadi pernah melihat atau mendengar praktiknya secara langsung. Tapi, sebenarnya, apa yang membuat politik uang begitu sulit diberantas di Indonesia? Dan mengapa fenomena ini masih terjadi meskipun aturan hukum terus diperketat?
Politik uang adalah praktik di mana kandidat atau pihak tertentu memberikan sejumlah uang atau hadiah lain kepada pemilih untuk memenangkan dukungan mereka. Ini bukan hanya soal uang tunai, tetapi juga bisa berupa barang, jasa, bahkan janji pekerjaan. Meski dianggap sebagai pelanggaran hukum, fenomena ini tetap saja terjadi.
Mengapa begitu sulit hilang? Bisa jadi karena budaya masyarakat yang masih terbiasa “diberi sesuatu” sebagai tanda apresiasi, atau juga karena ketidakpuasan masyarakat terhadap janji-janji yang kerap tidak ditepati.
Jika kita lihat lebih dalam, ada beberapa faktor yang membuat fenomena politik uang di Indonesia ini tetap hidup. Mari kita bahas satu per satu.
1. Ketimpangan Ekonomi
Ketimpangan ekonomi di Indonesia masih menjadi isu besar, dan hal ini turut menjadi penyebab kuat mengapa politik uang begitu mudah dijalankan. Bagi sebagian masyarakat yang berada dalam situasi ekonomi sulit, bantuan dalam bentuk uang atau barang dari kandidat menjadi “angin segar” yang sulit ditolak, meskipun mereka tahu dampaknya bagi demokrasi.
Banyak dari kita mungkin bertanya, “Mengapa masyarakat tidak menolak saja politik uang?” Tapi pada kenyataannya, untuk sebagian warga, bantuan tersebut bisa meringankan beban hidup, setidaknya sementara waktu.
2. Kurangnya Edukasi Politik
Masyarakat yang kurang mendapat edukasi politik rentan terjebak dalam politik uang yang tak kunjung hilang di Indonesia. Tanpa pemahaman yang cukup tentang hak suara dan dampak dari menerima uang atau hadiah dari kandidat, sebagian orang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar.
Padahal, politik uang ini berisiko menurunkan kualitas pemimpin yang terpilih. Kandidat yang menggunakan uang untuk mendapatkan suara mungkin lebih berfokus pada keuntungan pribadi ketimbang kepentingan rakyat.
3. Budaya "Balas Budi" dan Patronase