Mohon tunggu...
La Ode Ahmadi
La Ode Ahmadi Mohon Tunggu... -

Direktur Sosial Politik The Jakarta Institute

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengurai Retio Logis RUU Organisasi Kemasyarakatan; Upaya Mewujudkan Kedaulatan NKRI

25 November 2012   22:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:41 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembahasan Revisi Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) oleh DPR telah menghadirkan polemik baru di tengah-tengah masyarakat. Wujud polemik tersebut berkaitan dengan pro-kontra keberadaan UU Ormas itu sendiri. Di samping itu, pembahasan RUU Ormas tersebut diperkirakan akan menemui unsur tarik-menarik kepentingan terkait dengan substansi di dalamnya. Paling tidak ada beberapa permasalahan yang dimungkin menjadi pembahasan yang cukup alot. Pertama, terkait dengan pembentukan Ormas; Kedua, pengaturan tentang mekanisme pembekuan maupun pembubaran Ormas melalui pengadilan; Ketiga, pengaturan tentang keberadaan Ormas asing.

Terlepas dari masalah tersebut, sebenarnya dinamika keberadaan Ormas dan hubungannya dengan negara mengalami pasang surut, terkadang harmonis tapi tidak jarang Ormas dikekang kebebasannya dan diintervensi oleh kekuasaan, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Di sisi lain, kemunculan Ormas yang begitu marak saat ini, dengan segala kompleksitas yang menyangkut legalitas pendirian, pengelolaan organisasi dan keuangan, hubungan dengan Ormas lain maupun dengan negara, serta semakin banyaknya Ormas asing di Indonesia menuntut adanya aturan hukum yang lebih baik. Sebenarnya konstitusi negara telah menjamin kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul, melakukan kegiatan bersama untuk menyampaikan aspirasi yang tetap dalam tertib hukum negara melalui berbagai wadah keorganisasian atau perkumpulan atau ikatan.

Adapun yang menjadi dasar pemikiran dan legalisasi keberadaan Ormas seperti tersebut di atas diatur dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU tentang Ormas) dan peraturan pelaksananya yakni PP No. 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU tentang Ormas, dalam perundang-undanganlain yang terkait seperti Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan, UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan lain-lain. Akan tetapi, kondisi di  lapangan yang terjadi kebebasan tanpa batas yang menimbulkan fenomena anarkisme dalam masyarakat selama 10 tahun terakhir ini. Anarkisme itu sering dibiarkan oleh aparat keamanan atau setidaknya karena kelemahan yang bersifat melembaga yang dalam menghadapi berbagai demonstrasi atau aksi yang dilakukan oleh Ormas untuk menolak kebijakan pemerintah. Hal tersebut dinilai banyak pihak karena UU tentang Ormas yang ada saat ini dianggap tidak mampu menutup celah dinamika Ormas yang begitu intens tersebut.

Selain  itu, banyaknya LSM asing yang beroperasi secara illegal di Indonesia, dari 150 LSM asing yang ada di Indonesia, sekitar 50 bermasalah. Sejumlah laporan menyatakan masih ditemukan adanya Ormas asing yang melakukan pelanggaran, bahkan ada yang terindikasi terlibat dalam tindak pidana pencucian uang. Selama ini banyak Ormas asing yang programnya tidak sesuai dengan prinsip pembangunan nasional. Bahkan cenderung kontraproduktif. Pengaturan Ormas asing merupakan salah satu kelemahan UU tentang Ormas yang tidak menyingung sama sekali mengenai hal tersebut.

Masalah Legalitas Organisasi Kemasyarakatan

Organisasi Kemasyarakatan yang telah berbadan hukum atau belum berbadan hukum perlu mendapatkan legalitas dari pemerintah dengan mewajibkan semua Ormas untuk mendaftarkan, pengaturan tentang pendaftaran diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 18 RUU tentang Ormas. Dalam Pasal 9 RUU tentang Ormas dikatakan Ormas dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum, terkait dengan itu di mana dalam Pasal 16 ayat (2) RUU tentang Ormas maka pendaftaran bagi Ormas yang tidak berbadan hukum dilakukan dengan kewajiban menyertakan persyaratan sebagai berikut yakni akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris. Bagaimana mungkin Ormas yang belum berbadan hukum memiliki akta notaris karena belum mendaftarkan atau mencatatkan organisasi mereka secara formal, pasal ini sangat rancu dan tidak jelas bagi Ormas yang belum berbadan hukum tetapi telah memiliki akta notaris pendirian organisasinya.

Dalam Pasal 14 RUU tentang Ormas, Ormas yang tidak berbadan hukum memberitahukan keberadaannya secara tertulis kepada pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai alamat dan domisili, ini menjadi ajang kemungkinan terjadinya pemungutan liar atau korupsi bagi aparat pemerintah pusat dan daerah karena setiap akan berganti domisili harus melaporkan, dan bagaimana pula pihak pemerintah pusat dan daerah dapat memastikan bahwa Ormas yang melaporkan keberadaan mereka tersebut adalah eksis dan bukan hanya sekedar papan nama yang dapat merugikan masyarakat.

Dalam Pasal 16 RUU tentang Organisasi Kemasyarakatan ternyata menciptakan jenis baru badan hukum, yaitu “badan hukum perkumpulan”, mewajibkan semua Ormas bukan berbadan hukum mendaftarkan diri ke pemerintah, melihat pada definisi Ormas bercakupan luas sehingga membatasi hanya dua pilihan badan hukum, yaitu “badan hukum perkumpulan” dan yayasan. Akibatnya, Ormas di bidang ekonomi terhalang memilih berbagai jenis badan hukum yang tersedia; jika tidak mendaftar Ormas tidak memiliki izin kegiatan atau tidak dapat beroperasi.

Hal tersebut melanggar prinsip kemerdekaan bangsa untuk berserikat, sebagaimana ditentukan pasal 28, 28C (2) dan 28E (3) UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999, ataupun International Covenant on Civil and Political Rights (yang telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005). Terdapat kemungkinan bahwa dengan mengharuskan Ormas mendaftarkan maka dapat dijadikan obyek pengenaan pajak oleh pemerintah dengan dijadikan wajib pajak. Akan tetapi, sisi positifnya adalah pemerintah dapat mendata seberapa banyak Ormas yang ada dan dibentuk untuk membantu pemerintah dalam mengadakan program yang terkait dengan pendidikan masyarakat dengan menggunakan dana APBN. Dengan kesempatan yang demikian, dimungkinkan bahwa Ormas membentuk badan usaha misalnya dengan CV sehingga dapat ikut dalam berbagai macam tender yang diadakan oleh pemerintah ini menjadi lahan korupsi juga karena dapat saja CV atau Ormas tersebut dibentuk sesaat hanya untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan pemerintah tersebut. Banyak Ormas dibentuk, dibubarkan, dan dapat berganti nama yang pada akhirnya tidak memberikan manfaat kepada masyarakat tetapi hanya untuk mengeruk keuntungan dari pemerintah atau pihak lainnya sehingga hal ini perlu diperhatikan.

Sementara, Ormas yang kecil yang berada di lingkungan perumahan yang eksistensinya tidak dapat dipastikanakan berlanjut terus misalnya pengajian atau karang taruna atau ibu-ibu PKK menjadi bagian yang tidak penting dan seharusnya tidak termasuk yang diatur dalam RUU tentang Ormas karena struktur, sistem, dan kegiatannya yang tidak mapan. Akan tetapi untuk organisasi advokat, organisasi notaris, organisasi kedokteran yang sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Kesehatan dan memiliki peraturannya tersendiri dengan kondisi kelembagaan yang terstruktur, permanen, dan jelas, sebaiknya dikeluarkan dan tidak diatur dalam RUU tentang Ormas karena akan terjadi duplikasi dan tumpang tindih antara satu peraturan dengan peraturan lainnya sehingga kemudian hari akan tidak efektif dan efisien. Selanjutnya untuk UU No. 8 Tahun 1985 dan RUU tentang Ormas juga demikian pada kenyataannya keduanya tetap tidak fleksibel karena harus ada izin, pendaftaran, penilaian agar dapat sah menjadi organisasi.

Ormas yang belum berbadan hukum dan akan baru membentuk Ormas perlu untuk mendaftarkan dirinya seharusnya ini diatur di dalam aturan peralihan setiap undang-undang bukan ketentuan penutup undang-undang. Setidaknya memang perlu untuk pendaftaran atau dicatatkan atau dilaporkan saja untuk menghindari berbagai akibat buruk dari Ormas yang tidak bertanggung jawab yang hanya ingin mendapatkan keuntungan dari masyarakat atas kegiatannya. Ormas ini dapat mencatatkan diri saja tidak perlu mendaftarkan lagi termasuk Ormas yang sudah daftar dan berbadan hukum, hanya Ormas yang sudah dicatatkan boleh beraktifitas. Akan tetapi masalah pendaftaran dan pembubaran ini tidak dapat disamakan termasuk tentang konsep Ormas yang seharusnya sebagai bagian dari hak asasi manusia atau dalam payung perlindungan dan jaminan pelaksanaan oleh hak asasi manusia sehingga ini mempermudah untuk memberikan sanksi atau melakukan bimbingan atau pengawasan terhadap Ormas yang  ada sehingga hubungan timbal balik yang terjadi adalah perlindungan, pembimbingan, dan pemberian sanksi kepada Ormas dari pemerintah.

Kebutuhan dan Urgensi Penyempurnaan UU Ormas

Penyempurnaan undang-undang dan peraturan hukum yang berkaitan dengan Ormas sangat diperlukan demi kepentingan umum dan memberikan perlindungan bagi Ormas itu sendiri. Keberadaan undang-undang Ormas juga diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul secara damai bagi seluruh warga negara. Pada saat yang bersamaan, juga harus ada hukum yang melindungi publik dari kemungkinan penyalahgunaan Ormas. Pengaturan Ormas harus mencerminkan keseimbangan antara hak-hak individual untuk melaksanakan kebebasannya dan kebutuhan perlindungan kepentingan umum.

Keperluan untuk mengganti, memperbarui, dan mengubah sejumlah pasal-pasal dalam UU tentang Ormas dirasakan penting saat ini. Akan tetapi, DPR harus memenuhi syarat filosofis, sosiologis, yuridis, untuk memenuhi dan menjawab permasalahan yang terkait dengan permasalahan yang ada. Secara sosiologis perancangan dari setiap rancangan undang-undang harus sesuai dengan UUD 1945, termasuk juga dengan undang-undang lain harus jelas pengaturannya sehingga pasal-pasal yang terdapat di dalam undang-undang tidak terjadi benturan. RUU tentang Ormas yang merupakan revisi dari UU No. 8 Tahun 1985 yang mengatur lebih lanjut dan memberikan sejumlah aturan baru tentang sanksi bagi organisasi kemasyarakatan misalnya, sebenarnya tidak diperlukan mengatur lebih detil terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan karena sudah ada KUHP dan jika pemerintah dapat tegas dengan menggunakan KUHP ini maka sejumlah kekerasan atau tindakan anarkhis dapat ditindak tegas dan diselesaikan secara hukum.

Landasan politik dari pembuatan hukum dan peraturan adalah bahwa hukum adalah produk politik sehingga dari sisi akademis sangat lemah dan minimal dalam pertimbangan hukumnya maka dari itu perlu dirancang dengan baik naskah akademis yang dapat melatarbelakangi pembentukan RUU tentang Ormas ini, akan tetapi secara hukum jika kembali kepada proses di DPR maka sering masyarakat melalui berbagai pihak yang telah menyampaikan aspirasinya kecewa karena setiap undang-undang atau produk hukum apapun akan kembali kepada kepentingan politik dari para wakil rakyat. Sejumlah pasal-pasal dalam RUU tentang Ormas mengulangi kembali kelemahan dan pengaturan yang sempit. Keberadaan RUU tentang Ormas ini sebenarnya untuk memformulasikan bagaimana hubungan negara dan rakyat yang sehat, yang berkaitan dengan hal tersebut, maka persoalan pendaftaran organisasi kemasyarakatan perlu dikritisi.

Rekomendasi

1.Dalam rangka menghindari berbagai tuduhan dan penilaian bahwa UU tentang Ormas dan RUU tentang Ormas yang sekarang pun tetap tidak demokratis, represif, dan mengarahkan untuk membatasi, maka sebaiknya DPR dan pemerintah tetap terus mengelaborasi masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan khususnya Ormas yang ada. Jangan sampai RUU Ormas merupakan undang-undang yang bersifat represif jilid II karena bersifat otoriter dan dibuat di zaman yang berbeda dengan yang sekarang ini kembali berulang.

2.Dalam hal Ormas yang perlu mendapatkan legalitas dari pemerintah, maka perlu ada kategorisasi Ormas yang dengan demikian berpengaruh pula pada tata-cara dan keharusan atau tidak keharusan untuk mendaftarkannya pada pemerintah.

3.Dalam hal asas, maka penetapan Pancasila sebagai asas dalam Ormas perlu dijelaskan dengan kebolehan menggunakan asas lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hal ini untuk mencegah anggapan bahwa Pancasila diangkat menjadi “Tuhan”. Dalam hal ini perumusan asas dalam Undang-Undang tentang Partai Politik dapat dijadikan contoh untuk diterapkan dalam RUU tentang Ormas.

4.Ormas yang berafiliasi dengan  partai politik dan menjadi bagian dari partai politik adalah suatu hal yang demokratis, karena partai politik biasanya segregatif dan Ormas ini bersifat kelompok, dengan tugas mengawasi hubungan antara negara dan masyarakat sehingga perlu diatur dan seharusnya negara memberikan jaminan dan perlindungan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas organisasi dan berserikat walaupun itu akan menjadi bagian dari partai politik secara langsung atau tidak langsung, karena partai politik merupakan wadah bagi masyarakat juga untuk menyalurkan aspirasi politiknya selain melalui Ormas.

"tulisan ini merupakan pandangan pribadi, dalam mengkritisi problem RUU Ormas dan mendukung perlu adanya penyempurnaan RUU Ormas"

Oleh: La Ode Ahmadi, Direktur Sosial Politik The Jakarta Institute

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun