Sudah 14 tahun berselang, perampungan agenda reformasi di Indonesia masih sangatlah relevan untuk diperbincangkan, terlebih ketika agenda reformasi seolah berjalan di tempat, bahkan nyaris salah arah. Harapan akan perampungan agenda reformasi di Tanah Air sudah barang tentu harus mengkaji dan merefleksi progres reformasi yang sudah berjalan selama 14 tahun terakhir. Jika melihat realitas yang ada, persepsi publik terhadap progres reformasi terbagi dalam dua pandangan yang saling kontradiktif. Di satu pihak, mereka yang merasa diuntungkan sekarang mengklaim bahwa reformasi Indonesia mencatat progres yang sangat signifikan. Sementara di pihak lain menilai reformasi tidak menghadirkan nilai tambah. Namun keduanya memiliki kesamaan pandangan jika reformasi hanyalah melahirkan kebebasan berbicara dan kebebasan berserikat.
Namun harus diakui jika agenda reformasi, khususnya ditinjau dari aspek budaya, hukum, dan politik, masih banyak yang harus diperbaiki dan diluruskan. Dengan kebebasan yang tanpa batasan, budaya Indonesia seolah semakin hilang, kearifan lokal dan keanekaragaman budaya tergantikan oleh budaya uforia dan hedonisme yang tidak memiliki akar budaya di Indonesia. Bangsa ini larut dalam arus budaya dunia yang sesungguhnya tidak searah dan sejiwa dengan budaya kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan ketimuran.
Reformasi hukum pun seolah berjalan ditempat. Penegakan hukum yang adil sudah sangat mengecewakan. Pisau hukum di negara ini dirasakan aneh, karena hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Rakyat melihat dengan sangat jelas terjadinya praktik tebang pilih dalam penegakan hukum. Kalau negara sampai harus mendirikan institusi ad hoc seperti Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) atau Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, itu bukti bahwa reformasi hukum terus dirundung masalah dan nyaris tanpa progres. Ironinya lagi, era desentralisasi juga dibarengi dengan terdesentralisasikannya praktik-praktik korupsi di daerah.
Hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Mereka yang diatas mengubah hukum menjadi sangat diskriminatif. Hukum kita tidak berfungsi dengan tegas dan lugas terhadap sejumlah kasus besar, seperti skandal Bank Century dan mafia pajak. Namun, saat merespons kasus kecil, hukum begitu ‘galak’ dan tidak pandang bulu. Tersangka pencuri cabai pun diinapkan di ruang tahanan polisi.
Begitupun halnya dengan reformasi politik. Secara prosedur memang reformasi politik sudah diarah yang benar, di mana kekuasaan dan kedaulatan berada di tangan rakyat, dari mulai tingkat pusat sampai tingkat yang paling bawah. Namun secara substantif, praktik politik masih diwarnai dengan kecurangan dan pembodohan. Elit politik saling menjatuhkan satu sama lain, praktik politik uang dan sandiwara politik masih tersaji di republik ini, yang ujung-ujungnya membuat bingung masyarakat dan tentu saja merusak cita-cita reformasi. Praktik politik di negara ini hanya ditentukan oleh segelintir manusia, bahkan terkadang lebih kuat dari kehendak rakyat. Sehingga dapat dikatakan jika demokrasi kita saat ini cenderung prosedural, mahal, dan menyuburkan korupsi. Reformasi dibajak oligarki elite politik yang bermodal dan punya jaringan. Jika dibiarkan, kita akan semakin jauh dari cita-cita Reformasi, bahkan cita-cita bangsa ini
Agenda Reformasi dan Pembentukan Karakter Anak Bangsa
Fakta-fakta tersebut menunjukkan betapa jauhnya jarak antara cita-cita reformasi dengan realita yang terjadi di negeri ini. Reformasi budaya, hukum dan politik memperlihatkan kecenderungan salah arah dan belum berada di trek yang benar. Akibatnya, disadari atau tidak, arah reformasi Indonesia berbelok ke arah yang serba tidak jelas. Oleh karena itu, terlalu dini mempertanyakan kapan agenda reformasi ini bisa dituntaskan. Sebab, yang harus dilakukan lebih dulu adalah meluruskan arah reformasi.
Ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi terkait tidak berjalannya agenda reformasi di negeri ini. Pertama, ada penurunan rasa keÂbangsaan, persatuan, kekeÂluarÂgaan, dan percaya diri sebagai bangsa Indonesia dari masyaÂrakatnya. Kedua, penurunan kualitas leadership dari para pemimpin bangsa ini, sehingga sulit memberikan contoh baik bagi rakyatnya. Janganlah pernah berpikirrakyat akan baik dan demokratis, jika pemimpin tidak memberikan keteladanan. Ketiga, lemahnya penegakan hukum, dan hampir tidak berjalan. Dalam negara demokrasi, hukum merupakan panglima, dan harus ditempatkan di atas segala aspek kehidupan masyarakat. Penegakan hukum yang tidak tebang pilih menjadi syarat mutlak bagi berjalannya reformasi di negeri ini, karena hanya hukum yang dapat mengawal agenda reformasi. Keempat, kepentingan jangka pendek dan kepentingan sempit oknum-oknum penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan.
Agenda reformasi dan proses pembentukan karakter anak bangsa merupakan bagian yang tidak mungkin terpisah satu sama lain. Berjalannya reformasi di Indonesia berarti akan memberikan sebuah pembelajaran dan secara langsung akan mempengaruhi karakter budaya generasi penerus bangsa. Namun sebaliknya, lambannya agenda reformasi akan membentuk mentalitas korup dan mentalitas sebagai bangsa yang lemah dan tidak bisa berbenah diri.
Memang tantangan untuk meluruskan arah reformasi budaya, hukum dan politik memang pasti menemui jalan terjal dan berliku. Bahkan, boleh jadi, beban tantangannya bertambah berat, sebab upaya pelurusan proses reformasi itu memaksa rakyat Indonesia berhadap-hadapan langsung dengan akumulasi kepentingan yang sangat besar. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain. Demi kepentingan generasi penerus dan masa depan bangsa yang lebih baik, generasi terkini Indonesia memang harus dan wajib meluruskan arah reformasi. Jangan sampai di kemudian hari masih terdengar ungkapan sinis ‘orang miskin dilarangsakit dan dilarang bersekolah’. Diyakini bahwa beban atau tantangan itu akan terasa ringan jika pemimpin bangsa ini dapat memberikan tauladan yang baik, pemimpin yang mampu menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan, pemimpin yang selalu berada di depan dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, dan pemimpin yang memiliki jiwa negarawan.
Oleh: La Ode Ahmadil, Direktur Sosial Politik The Jakarta Institute
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H