Mohon tunggu...
Ghalif Putra Sadewa
Ghalif Putra Sadewa Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta

Sehari-hari menjadi staf pengajar di Prodi Fotografi, FSMR, ISI Yogyakarta. Sisanya, bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Film

Mewujudkan Film Pendidikan di Era Digital

15 Februari 2022   18:56 Diperbarui: 15 Februari 2022   18:57 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Panitia FFPJ XII - 2021

Film sebagai bentuk seni modern memiliki hal yang barangkali tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk seni lama seperti lukisan, patung, dan sandiwara yaitu inovatif. Jika hanya berhenti dalam kata "inovatif" tentu saja sejumlah orang kurang setuju bahkan tidak sependapat, karena seni lama juga melakukan hal serupa. Lantas apa yang menjadikan film sebagai sebuah seni sekaligus inovatif? Tentu saja kreasi baru yang ditawarkan oleh film terletak pada komponen teknisnya. Teknik yang melekat pada teknologi kamera misalnya, menyuguhkan kedalaman realitas dimana sesuatu yang sebelumnya kabur bahkan tidak tampil menjadi tampil secara utuh beserta situasi sekitarnya. Sehingga, dalam arti tertentu, teknologi film melalui kamera memperlihatkan kepada kita gambaran realitas yang lebih benar atau paling tidak tepat.

Melalui pemanfaatan teknologi serta kelihaian memainkan imaji inilah film menjelma seni yang sangat krusial, di mana ia secara efektif mampu membentuk ulang sekaligus menggugat suatu pengertian realitas komunal di waktu yang bersamaan. Kini, film diproduksi bukan saja memenuhi kebutuhan hiburan, tetapi komunikasi sosial, transaksi bisnis, politik, ritus, seminar, iklan, aktivitas pendidikan, dan seni itu sendiri. Menyoal aktivitas pendidikan, film disinyalir berperan aktif dalam pembentukan perilaku apalagi di era pandemik seperti sekarang, saat semua harus visual dan daring. Jauh sebelum badai covid datang, film sudah menjadi media belajar, wadah alternatif lain untuk bertukar informasi, budaya, dan sosial. Tak heran jika banyak film bermuara pada tema pendidikan didukung pula berbagai bentuk ruang pemutaran yang menjamur (festival film, apresiasi karya, media streaming, dan pameran) membuat ekosistem film tumbuh subur.

Berkaitan hal tersebut, realitas bahwa film memasuki babak baru dalam kebutuhan manusia sekarang, perlu diimbangi pula dengan melek digital serta kesadaran kolektif. Tidak bisa kita terus -- menerus mengkambing hitamkan kemajuan teknologi dan kesalahan individu (penontonnya). Kesadaran dan peran orang tua sungguh diperlukan. Setelah kita bersama mengetahui kekuatan film dalam merekonstruksi realitas maka wajar saja diperlukan unsur pendamping dalam memilah suatu tontonan.

Penalaran

Memahami bahwa film adalah media komunikasi yang terbentuk oleh naratif maka perlu ditinjau apakah ceritanya logis, kalaupun imajinasi seutuhnya (misal: animasi, teknologi CGI, atau gabungan keduanya) apakah kita masih mampu menjangkaunya dengan daya pikir. Hal ini berkaitan dengan pembangunan dramatik atas dasar realitas sosial, alur cerita yang mudah dicerna, penokohan yang sesuai dengan dialog dan karakteristiknya, hingga bahasa yang dipilih sebuah film sebagai salah satu unsur yang paling mudah dicerna penonton. Cara seperti ini setidaknya bisa menyaring jenis film yang akan kita tawarkan untuk ditonton. Film anak-anak atau film bertema anak, misalnya. Sekilas tampak serupa, sejatinya jauh berbeda. Film anak-anak tentu saja seluruh elemen visualnya ya berbicara dunia anak-anak. Sedangkan film tema anak bisa saja konflik utamanya, penokohannya, dan bahasa dialognya tidak dunia anak-anak, yang penting isu globalnya masih seputar anak.

Rasa

Pada tahapan ini, penonton dituntut untuk mampu menangkap esensi atau makna hakiki dari suatu film yang menggugah jaringan emosi tertentu. Proses identifikasi ini mempermudah dalam rangka pengelompokan jenis film. Apakah itu membuat kita menjadi mual, sedih, marah, atau senang. Rasa juga erat dengan pengalam subjektif penonton. Kecenderungan penonton untuk menempatkan persoalan pribadinya dengan persoalan tokoh utama kemudian melakukan memesis atas tindakan tokoh ke kehidupan nyata juga didasari atas perasaan penonton. Ketika penonton merasakan efek perilaku film, barulah kita dapat menemukan makna film itu.

Pemaknaan

Mengapa penonton harus mengetahui persoalan dalam film? Seberapa penting isu atau gagasan itu perlu diketahui? Pertanyaan semacam ini menjadi hal wajar untuk dilontarkan. Makna yang disampaikan oleh film akan memproyeksikan cara penonton menyikapinya. Adegan kekerasan dalam film kartun misalnya, digunakan untuk meningkatkan ketegangan dan kejutan atas hukum kausalitas antar tokoh atau pilihan tokoh utama untuk balas dendam kepada orang-orang yang merusak rumah serta membunuh anjing peliharaannya dengan memburu dan membunuh mereka adalah sikap-sikap yang perlu dicerna dan dimaknai. Perlu pemahaman yang jernih, bukan kemudian mengamini bahwa itulah karma, itu hanya cerita rekaan, dan sejenisnya. Lagi-lagi, film adalah potongan kecil atas realitas. Pemaknaan di sini lebih kepada sarana pembentuk dan penyampai substansi isi (maksud) secara global.

Ketiga kerangka sederhana di atas barangkali cukup ideal diaplikasikan sebagai alat penyaring atas apa yang akan kita tonton. Tentu saja bisa berubah atau belum mampu menjawab semua perihal tentang masalah film pendidik. Namun, justru itu pulalah arti penting pemikiran ini hadir sebagai langkah awal atau pemantik untuk mewujudkan film sebagai tuntunan dan didikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun