Dengan beralihnya ke digital maka jumlah kanal siaran akan semakin membludak lantas seperti apa acuan dan standar siarnya?Â
Tentu tidak bisa sekedar mengaplikasikan SOP yang digunakan pada tv analog. Infrastruktur pun harus diperhitungkan secara matang, bukan saja bicara angka tetapi penyelesaian-penyelesaian di balik kendala yang ada di era tv analog.Â
Infrastruktur di sini berarti menyoal jalur distribusi hingga perangkat penerima secara merata di seluruh wilayah, tanpa lagi bersembunyi di balik letak geografis suatu daerah.Â
Kedua, program acara yang kreatif dan berkualitas. Jika berbicara tingkat kreativitas maka masyarakat Indonesia adalah gudangnya.Â
Namun berbicara kualitas, sepertinya perlu dikaji lebih dalam. Jika sekedar laku dengan tolak ukur banyak peminatnya, apa bedanya dengan konten-konten yang tersebar di jagad media. Karena tidak semua yang ditonton dan banyak peminat berkualitas, begitu pula sebaliknya.Â
Ketiga, penontonnya harus lebih bijaksana dan mempunyai literasi yang baik, cukup saja masih kurang.Â
Dunia digital membuat penonton memiliki kuasa penuh akan apa yang ia lihat maka pintu terakhir masuknya akses informasi ada padanya.Â
Tidak bisa kemudian, penonton menuntut agar industri televisi menyajikan seperti apa yang dia inginkan.Â
Pada saat penonton berada di depan TV dengan remote control di tangannya sesungguhnya bukan berarti dia mampu mengendalikan suatu program acara atau layar kaca, justru saat itulah ia membuka akses intervensi luar ke dalam dirinya.Â
Oleh karenanya, migrasi TV Analog ke Televisi Digital bukan sekedar memindah jalur distribusi atau penataan frekuensi melainkan merubah budaya menonton dan mempersiapkan masyarakat untuk benar-benar menempatkan dirinya sebagai subjek bukan lagi objek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H