Mohon tunggu...
Ghaliah IzzatiAl
Ghaliah IzzatiAl Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

Saya seorang pelajar SMA dengan minat di bidang sejarah, kuliner, dan filateli. Mengunjungi museum, memasak, serta mengoleksi perangko menjadi hobi yang saya gemari. Selain itu, saya juga aktif berolahraga, khususnya lari. Saya memiliki ketertarikan pada dunia hiburan dan cukup mengikuti perkembangan politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penetapan Presiden Seumur Hidup pada Masa Demokrasi Terpimpin

3 Februari 2025   08:04 Diperbarui: 3 Februari 2025   08:04 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 5 Juli 1959, Dekrit Presiden dikeluarkan, menandai dimulainya Masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia yang berlangsung dari tahun 1959 hingga 1966. Era Demokrasi Liberal, yang menurut Soekarno dianggap tidak mampu memberikan stabilitas politik dan sering menghadapi krisis kabinet, berakhir dengan dikeluarkannya dekrit ini. Untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efisien dan terarah, Soekarno menerapkan sistem pemerintahan yang memusatkan wewenang di tangan presiden.

Di tengah gejolak politik yang melanda Indonesia pada awal 1960-an, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Anggota kelompok Angkatan 45, termasuk tokoh-tokoh seperti AM Hanafie dan Chaerul Saleh, mengusulkan pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup pada waktu itu karena kekhawatirannya terhadap meluasnya kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka berpendapat bahwa langkah ini diperlukan untuk menjaga stabilitas negara dan mencegah kemungkinan perang saudara yang bisa terjadi jika PKI memenangkan pemilu.

Usulan tersebut diterima dalam sidang MPRS di Bandung pada Mei 1963 dengan alasan bahwa Soekarno, sebagai pemimpin besar Revolusi Indonesia, dapat menyatukan berbagai elemen masyarakat yang terpecah akibat persaingan politik yang tajam. Keputusan ini, bagaimanapun, juga mendapat kritik karena bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 7, yang menyatakan bahwa presiden memiliki masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali. Namun, Soekarno akhirnya menyetujui keputusan tersebut setelah diyakinkan oleh Chaerul Saleh. Hal ini menunjukkan bahwa pengangkatan presiden seumur hidup bukan hanya pilihan politik, tetapi juga langkah strategis untuk menjaga kohesi nasional di tengah gejolak politik.

Meskipun langkah ini dilakukan dengan niat terbaik untuk menjaga persatuan nasional dan mencegah Partai Komunis Indonesia menjadi terlalu kuat, keputusan tersebut memiliki dampak negatif terhadap norma-norma demokrasi, yang berujung pada otoritarianisme dan penyimpangan terhadap UUD 1945. Pengalaman ini menjadi pelajaran penting bagi perkembangan demokrasi Indonesia, menekankan perlunya keseimbangan antara kebebasan politik dan stabilitas agar sistem pemerintahan dapat terus beroperasi secara efisien.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun