Salah satu cabang teologi tertua dalam Islam adalah Qodariya, yang berasal dari kata Qodaro, yang berarti "kemampuan" dan "kekuatan". Tidak hanya perbedaan pendapat tentang ajaran Islam yang menyebabkan munculnya aliran qodariyah, tetapi juga pergeseran politik selama Dinasti Umayyah pertama, yang berlangsung dari tahun 661 hingga 750 M.
Dua orang, Ma'bad Al Jauhani, yang tinggal di Bashrah, dan Ghailan Al Dimasyqi, muridnya, menyebarkan aliran ini pada tahun 70 H selama pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Selain itu, Imam Muslim memeriwayatkan dari Yahya bin Ya'mar, "Yang pertama kali memelopori (menyebarkan) paham ingkar takdir di Bashrah adalah Ma'bad al-Juhani," dan "Penduduk Bashrah banyak yang mempengaruhi dengan anggapan yang salah setelah melihat "Amr bin "Ubaid mengikutinya"
Menurut imam nawawi, ini juga disebut sebagai aliran qodariyah karena para pengikutnya menolak takdir dan percaya bahwa orang telah melakukannya sendiri. Dari perspektif politik, mazhab Qadariyah dianggap sebagai sinyal yang menentang politik Bani Umayyah, dan oleh karena itu, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan, pengaruh mereka tetap berada di bawah tekanan. Ini hanya terjadi sementara karena ajaran mereka masuk ke dalam aliran Muktazilah.
Penganut qodariyah sediri berpendapat bahwa mereka tidak terpengaruh oleh kehendak Allah dan memiliki kemampuan dan kebebasan untuk memilih apa yang mereka lakukan sendiri. Teori Mu'tazilah, yang muncul pada tahun 723 M, dipengaruhi oleh gagasan bahwa akal, atau rasio, adalah elemen penting dalam laku beragama di masa depan. Menurut Qadariyah, mengingkari takdir adalah salah. Mereka percaya bahwa takdir tidak ada; semua yang ada adalah sesuatu yang baru (terjadi seketika), di luar takdir dan ilmu Allah; Allah mengetahui baru setelah kejadian itu terjadi.
Meskipun pemahaman Qadariyah secara keseluruhan mungkin telah punah, cabang-cabangnya masih dapat ditemukan di zaman sekarang. Salah satu cabangnya adalah keyakinan bahwa perbuatan makhluk adalah hasil dari kemampuan dan ciptaan makhluk itu sendiri, sementara yang lain berpendapat bahwa Allah telah mengetahui semua tindakan hamba itu sebelum hal itu terjadi.
Semua orang setuju bahwa Allah Maha Mengetahui semua perbuatan hamba sebelum mereka terjadi, seperti yang dikatakan Imam Al-Qurthubi, "Ideologi ini telah hilang, dan kami tidak mengetahui salah satu dari muta'akhirin (orang sekarang) yang berpaham dengannya." Namun, mereka menyelisihi As-Salafush Shalih dengan mengatakan bahwa perbuatan hamba adalah hasil dari kemampuan dan ciptaan hamba itu sendiri. Sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an dan Sunnah ditolak oleh generasi pertama Qadariyah. Pengingkaran ini berkaitan dengan keyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat. Selain itu, mereka percaya bahwa Al-Qur'an diciptakan oleh makhluk.
Al-Jubba'i mengatakan bahwa manusia menentukan tindakannya; mereka melakukan yang baik dan yang buruk, tunduk atau tidak tunduk kepada Tuhan sesuai dengan keinginan dan keinginan mereka sendiri. Sebelum tindakan Abdul Jabbar, kekuatan untuk mewujudkan kehendak itu telah ada dalam diri manusia. Untuk memperkuat pendapatnya, Abdul Jabbar mengemukakan beberapa argumen rasional dan nash. Salah satu argumentasinya adalah bahwa perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kemauannya: jika seseorang ingin melakukan sesuatu, hal itu tidak akan terjadi; jika itu adalah perbuatan Tuhan, itu tidak akan terjadi, karena dia menginginkannya; tetapi jika itu adalah perbuatan manusia, itu akan terjadi, karena dia menginginkannya.
Salah satu tabrakan tambahan mengenai fakta bahwa ilmu Allah telah ada sebelum segala sesuatu yang baru terjadi. Golongan kedua dari Qadariyah, di sisi lain, menetapkan keilmuan, namun menolak tingkat penciptaan perbuatan manusia. Mereka berpendapat bahwa Allah bukanlah pencipta dari tindakan manusia . Penulis percaya bahwa dua faktor eksternal berkontribusi pada munculnya paham Al Qadariyah. Yang pertama adalah agama Nasrani yang mereka bahas jauh sebelum tulisan mereka tentang Qadar Tuhan. Yang kedua adalah reaksi terhadap paham Al Jabariyah dan upaya untuk menentang tindakan penguasa Bani Umayyah yang bertindak atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan.
Berdasarkan pemahaman ini, dapat dipahami bahwa istilah " qodariyah" digunakan untuk menggambarkan suatu gaya pemikiran yang menekankan pada kemandirian individu dan hak mereka untuk memilih dan melakukan apa yang mereka inginkan. Harun Nasution menyatakan bahwa nama "qodariyah" tidak berasal dari gagasan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang mereka inginkan, tetapi lebih dari gagasan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang mereka inginkan
sumber dari :Â
* https://tirto.id/sejarah-aliran-qadariyah-pokok-pemikiran-doktrin-tokoh-pendiri-gie7