Mohon tunggu...
ghaitsa zahira
ghaitsa zahira Mohon Tunggu... Mahasiswa - universitas airlangga

seorang mahasiswa dari Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pluralisme, Wujud Nyata Konsep 'Justice as Fairness' John Rawls dalam konteks Toleransi di Indonesia dan Kritik dari Kasus Antimuslim di Inggris

26 November 2024   09:08 Diperbarui: 26 November 2024   09:25 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pluralisme merupakan prinsip mendasar yang mendukung kehidupan masyarakat yang damai di tengah keberagaman. Dalam konteks filsafat politik, John Rawls melalui teorinya justice as fairness menegaskan pentingnya keadilan yang merata bagi semua individu tanpa memandang perbedaan identitas, baik agama, budaya, maupun keyakinan lainnya. Konsep ini mendorong terciptanya masyarakat yang adil, di mana setiap individu dihormati dan diberikan hak yang setara dalam ruang publik.

Indonesia baru-baru ini menunjukkan wujud nyata pluralisme tersebut melalui sambutan hangat terhadap kunjungan Paus Fransiskus. Sebagai pemimpin Gereja Katolik yang mewakili umat Kristiani global, Paus Fransiskus diterima dengan penuh penghormatan oleh masyarakat Indonesia, baik oleh pejabat pemerintahan maupun berbagai lapisan masyarakat. Hal ini memperlihatkan bagaimana negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia tetap menjunjung tinggi toleransi lintas agama.

Indonesia: Kiblat Toleransi Berbasis Lokalitas

Toleransi di Indonesia memiliki ciri khas yang berakar pada budaya lokal. Konsep gotong royong dan nilai kebersamaan yang hidup dalam masyarakat adat menciptakan landasan kuat bagi pluralisme sejati. Masyarakat Indonesia cenderung tidak memandang perbedaan agama sebagai alasan untuk mendiskriminasi. Sambutan baik terhadap Paus Fransiskus menjadi simbol bagaimana masyarakat Indonesia mampu menjunjung harmoni dalam keberagaman. Hal ini sejalan dengan konsep Rawls, di mana keadilan menuntut setiap orang mendapatkan penghormatan yang sama, terlepas dari identitas mereka.

Namun, toleransi ini bukan tanpa tantangan. Di balik potret harmoni tersebut, masih ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba memecah belah masyarakat dengan narasi kebencian terhadap agama atau etnis tertentu. Respons positif masyarakat terhadap kunjungan tokoh agama dunia seperti Paus Fransiskus menjadi bukti bahwa akar toleransi di Indonesia lebih kuat dibandingkan upaya-upaya segregasi.

Kritik: Anti-Muslim di Inggris sebagai Kontras

Di sisi lain, pluralisme sebagai cerminan justice as fairness John Rawls belum sepenuhnya terwujud di negara-negara Barat. Inggris, sebagai contoh, masih menghadapi tantangan serius terkait kebencian terhadap Muslim. Insiden Islamofobia, seperti serangan verbal dan fisik terhadap perempuan berhijab atau diskriminasi di tempat kerja, menunjukkan bahwa konsep keadilan sebagai kesetaraan belum diimplementasikan secara merata.

Kasus kebencian anti-Muslim di Inggris menjadi ironi dalam masyarakat yang mengklaim diri sebagai pelopor demokrasi dan keadilan. Hal ini menunjukkan bahwa keberagaman tanpa komitmen terhadap toleransi hanya akan menciptakan konflik. Berbeda dengan Indonesia yang menempatkan pluralisme dalam bingkai budaya lokal, Inggris sering kali memandang keberagaman sebagai tantangan terhadap identitas nasional mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun