Mohon tunggu...
ghaisani ahna
ghaisani ahna Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswa

saya seorang mahasiswa di universitas negeri yang berada di kota solo.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pelegalan Seks Komersial: Solusi Human Trafficking?

2 Mei 2024   11:37 Diperbarui: 2 Mei 2024   12:09 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

          Akhir-akhir ini, media sosial, khususnya aplikasi X, cukup dihebohkan oleh pernyataan kontroversial salah satu influencer Indonesian Indah G. Pasalnya, ia membuat narasi bahwa pekerja seks komersial perlu di dekriminalisasi untuk dapat mengurangi human trafficking. Tentu saja pernyataan ini memicu perdebatan di kalangan beberapa pengguna media sosial. Ada yang setuju bahwa dengan pelegalan pekerja seks komersial dapat membantu dalam menurunkan angka kasus human trafficking, ada pula yang berpendapat sebaliknya. Namun sebelum itu, apa yang dimaksud dengan human trafficking? apa hubungan keduanya? Apa benar dengan adanya dekriminalisasi pekerja seks komersial dapat membantu menurunkan kasus human trafficking?

           Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan human trafficking sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Perdagangan manusia dapat ditunjukkan dalam cara-cara eksploitasi seperti: pekerja atau penyedia layanan seksual, pekerja yang dipaksa, donasi organ tanpa persetujuan pemilik, wajib militer dan pernikahan yang dinegosiasi. Faktor yang mempengaruhi perdagangan manusia dibagi menjadi dua kelompok besar: faktor pendorong dan faktor daya Tarik. Faktor pendorong termasuk di dalamnya kemiskinan, pengangguran, kurangnya pengetahuan dan informasi tentang bahaya perdagangan manusia. Sedangkan faktor daya tarik salah satunya yaitu harapan untuk dapat hidup lebih baik dan pasar kerja yang andal di negara tujuan.

             Berdasarkan Journal of Ethics “Decreasing Human Trafficking through Sex Work Decriminalization”, kriminalisasi pekerja seks akan meningkatkan peluang terjadinya kekerasan dan eksploitasi (termasuk perdagangan manusia) karena para pekerja seks dianggap sebagai aktivis kriminal. Pertama, ketakutan akan penangkapan dan konsekuensi lainnya bagi mereka yang terlibat dalam pekerja seks cenderung tidak melaporkan kejadian tersebut. Kedua, kriminalisasi juga mendorong adanya ketakutan akan penilaian, diskriminasi dan perbedaan pelayanan sistem Kesehatan. Konsekuensi hukum juga menghambat beberapa orang untuk mengungkapkan bahwa mereka terlibat dalam pekerja seks, terlepas dari apakah mereka terlibat karena pilihan, keadaan, atau paksaan.

             Berdasarkan penelitian dalam jurnal, sebesar 70 persen dari 783 pekerja seks enggan untuk memberitahukan pekerjaan mereka yang sebenarnya karena takut akan dihakimi oleh pihak rumah sakit dan dilaporkan ke polisi. Ketiga, kriminalisasi akan semakin memperkuat pengucilan terhadap para pekerja seks. Menurut jurnal, para pekerja seks seringkali diabaikan dan bahkan dibungkam secara aktif ketika menyuarakan mengenai kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Para pekerja seks tidak diberikan ruang untuk menyuarakan aspirasinya sehingga hak hak dasar kehidupan mereka pun kurang dalam penegakannya. Pada akhirnya, dekriminalisasi pekerja seks diharapkan dapat membuat mereka dapat bekerja dengan lebih aman dan kerentanan para pekerja seks sebagai korban perdagangan manusia dapat menurun karena mereka tidak akan takut lagi untuk melapor kepada pihak berwajib.

            Di sisi lain, menurut Academic Journal of Interdisciplinary Studies “The Impact of Legalized Prostitution on Human Trafficking”, pelegalan prostitusi justru akan meningkatkan jumlah penyedia layanan seksual dan kasus perdagangan orang hingga berkali lipat dari sebelum dilegalkannya prostitusi tersebut. Argumen “legalisasi akan mengurangi jumlah perempuan yang diperdagangkan untuk prostitusi, mengusir pelacur dari jalanan dan akan melindungi perempuan di bawah umur dari eksploitasi seksual” berbanding terbalik dengan hasil penelitian. Sebagai contoh, pasca legalisasi prostitusi di Belanda, jumlah orang yang diperdagangkan meningkat beberapa kali lipat dibandingkan sebelum prostitusi dilegalkan. Khususnya, jumlah anak di bawah umur yang terlibat dalam prostitusi meningkat tiga kali lipat dibandingkan sebelumnya. Bahkan pada tahun 2000, industri seks meningkat hingga 25 persen.

          Sebuah laporan yang dibuat untuk Governmental Budapest Group menunjukkan bahwa 80 persen perempuan-perempuan yang membuka praktik prostitusi di rumah-rumah umum Belanda, justru diperdagangkan dari negara lain, yang mana menunjukkan sindikat perdagangan manusia. Setelah legalisasi prostitusi jumlah anak dibawah umur yang melakukan praktik meningkat tiga kali lipat. Hal ini berbanding terbalik dengan argumen yang dikemukakan oleh Belanda bahwa dengan legalisasi prostitusi dapat membantu mengurangi prostitusi anak di bawah umur. Bahkan menurut sebuah organisasi perlindungan hak-hak anak di Amsterdam, kebanyakan di antara anak di bawah umur ini merupakan anak perempuan dari Nigeria.

          Sedangkan pada tahun 1999, Swedia justru mengadopsi undang-undang pembelian layanan seksual, dimana para pembeli jasa layanan seksual akan dianggap sebagai pelaku tindak kejahatan, namun tidak untuk penawar jasa layanan seksual.  Undang-undang Swedia menetapkan hukuman berat terhadap pembeli layanan seksual, yaitu denda yang mencapai 5.000 euro dan pidana penjara. Perundang-undangan ini justru memberikan hasil yang lebih baik. Di mana awalnya pada tahun 1995 terdapat 650 orang pelacur, pada tahun 2013 menurun hingga hanya sekitaran 10 orang saja. Sedangkan untuk kasus perdagangan manusia, swedia masih lebih baik jika dibandingkan dengan kasus perdagangan manusia di Denmark yaitu sebesar 2.250 orang, sedangkan di swedia hanya sekitaran 500 orang saja.

          Seperti yang kita ketahui, bahwa dasar hukum perundang-undangan Indonesia adalah Pancasila. Di mana sila pertamanya adalah ketuhanan yang maha Esa, yang berarti bahwa Indonesia merupakan negara beragama. Tidak ada satupun agama legal di Indonesia yang mendukung praktik prostitusi maupun pekerja seks komersial. Selain pertimbangan agama, pandangan mengenai pelegalan praktik prostitusi di Indonesia juga dapat didasarkan pada perlindungan hak dan martabat serta moral manusia. pelegalan praktik prostitusi atau pekerja seks komersial dapat meningkatkan kasus eksploitasi terhadap anak dan perempuan. Selain itu, budaya Indonesia yang kaya akan nilai kesopanan dan kehormatan juga menjadi landasan kuat bagi penolakan praktik seks komersial yang dianggap melanggar norma-norma sosial yang telah lama ada. 

Bagaimana menurut anda? Apakah sepantasnya pekerja seks komersial dilegalkan di Indonesia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun