Dipta, begitu mereka memanggilku. Aku adalah ketiga dari empat bersaudara. Aku dilahirkan dari perut seorang perempuan yang kesehariannya bekerja sebagai tukang cuci pakaian karyawan disebuah perusahaan milik asing. Aku dibesarkan dari uang upah bapakku yang bekerja sebagai kuli bangunan. Bapakku sudah meninggal empat tahun lalu. Kini hanya ada mamaku yang sudah tua. Pontang panting mencari nafkah untuk adikku yang masih sekolah. Saudara-saudaraku yang lain entah kemana. Tiada kabar dari merek. Aku sendiri, hanya bisa duduk lesu disini, dibalik jeruji besi yang mengunciku. Penjara, begitulah sebutannya. Sebuah rumah kecil untukku, sejak hari itu. Sejak aku divonis dua tahun penjara lantaran mencuri sekarung beras di sebuah toko milik seorang haji yang sekaligus adalah rentenir tempat mamaku berutang untuk biaya sekolah adikku, utang yang membuatku terpaksa mencuri beras di toko itu untuk aku jual agar bisa membayar utang yang begitu banyaknya, bunga yang terus berbunga. Dari ruang pengap penuh bau busuk dari air kencingku sendiri, di penjara ini, aku selalu bertanya, pada tembok, pada lalat. Mempertanyakan tentang sebuah aturan apa yang mensahkan seseorang menghisap keringat dan darah orang yang lainnya melalui bunga-bunga utang yang melampaui batas. Tapi, sudahlah, mereka tidak mau tahu soal kenapa aku mencuri. Yang selalu mereka perbincangkan adalah aku seorang pencuri. Mana mau mereka berdebat soal seorang haji yang melupakan perintah agama tentang halalnya jual beli dan haramnya riba. Dan, aku rindu mamaku, entah bagaimana dirinya hari ini. Aku rindu mamaku, aku ingin pulang. (Pebruari 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H