Pesananku datang. Seorang pelayan menghampiriku membawa menu yang tadi kupesan. Satu per satu pesananku diletaknya di meja depanku.
"Sudah semua pesannya ya", ujar pelayan itu kepadaku.
"Mmm... Iya mbak sudah semuanya", jawabku.
Pelayan itu meninggalkanku berdua dengan pria di depanku.
"Makan yuk udah laper aku", ajakku sembari menyentuh jemari pria di depanku.
"Eh, iya ayok deh makan", kata pria itu sedikit terkejut sembari menatapku. Tatapan yang meruntuhkan hatiku hingga mau menerima lamarannya beberapa waktu lalu.
"Kamu kenapa, mas? Kok keliatan khawatir gitu sih", tanyaku sembari menggengam tangan pria itu.
"Enggak kok gapapa, dek", jawabnya sembari menatap keluar jendela restoran tempat kami tengah duduk.
"Yakin gapapa, mas?", tanyaku ulang.
"Iya gapapa kok sayang", katanya sembari mengalihkan pandangannya ke wajahku sembari tersenyum kembali.
"Ya udah deh, ayok makan. Keburu dingin ntar nih makanan", kataku.
"Iya ayok", jawabnya.
Kami pun mulai menikmati hidangan yang kami pesan beberapa menit lalu. Kulihat pria yang beberapa bulan lagi akan menjadi suamiku makan dengan lahapnya, meskipun beberapa kali kulihat dia cemas ketika menatap keluar jendela.
"Enak ya makanan makanannya", ujarku berusaha mencari perhatiannya.
"Mmmm... Iya jelas dong, rekomendasi siapa dulu", jawabnya sembari bercanda.
Entah kurasa ada yang berbeda dari pria di depanku ini. Tak seperti dia yang biasa aku kenal.
Detik berikutnya, ponsel miliknya yang diletakkan di meja berdering. Sepertinya sebuah panggilan telepon. Dengan cepat diangkatnya ponsel itu.
"Halo. Assalamu'alaikum. Selamat malam", ujarnya sembari menghabiskan makanan di mulutnya.
Aku hanya bisa mendengar jawaban darinya, tanpa tahu apa yang dikatakan lawan bicaranya.
"Sekarang juga? Siap. Saya merapat", ujarnya dengan singkat.
"Sekarang saya sedang di Resto Purnama . Baik saya tunggu", ujarnya lagi.
"Selamat malam", katanya mengakhiri panggilan ponselnya.
"Dari siapa, mas?", tanyaku mulai khawatir.
"Dari komandan. Ada kejadian. Mas diminta merapat buat briefing tim sekarang", katanya sembari memasukkan ponsel ke dalam tas kecilnya.
"Mas, diluar hujan deres banget lho, nanti aku pulangnya gimana coba?", tanyaku dengan nada agak sebal.
"Adek pulang bawa mobil mas aja ya. Bisa kan? Bawa pulang dulu ke rumah adek. Besok kalau mas udah pulang mas ambil ke rumahnya adek", katanya sambil meletakkan kunci mobil miliknya di sebelah ponselku.
"Diluar hujan deres banget mas. Banyak petir juga...", belum selesai aku berkata.
"Mas jalan dulu. Adek hati - hati bawa mobilnya. Jangan ngebut - ngebut, jalanan licin. Sampein maafnya mas ke bapak sama ibu karena mas nggak bisa nganter adek pulang", kata pria itu. Dikecupnya keningku sebelum kemudian dia berjalan terburu - buru ke pintu keluar resto, sembari mengenakan penutup kepala jaketnya.
Kulihat diluar berhenti sebuah mobil berwarna mencolok yang sudah sangat akrab denganku. Kulihat pria yang tadi duduk di depanku berjalan cepat dan masuk ke dalam mobil itu. Sedetik kemudian, mobil itu melaju dengan cepat membelah deras hujan kota ini.
Semenjak hari itu, takku dengar lagi kabar dari pria itu. Janjinya untuk mengambil mobilnya di rumahku pun belum juga terpenuhi. Dan rencana pernikahan kita....
Masih mengambang diantara langit dan bumi.
THE END
Semarang,10 Juli 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H